Makan Bersama

tw // kekerasan, kematian

Nahen POV

“Nahen, turun makan dulu ayo,”

Terdengar teriakan Tante memanggilku. Sungguh aku sangat malas terlebih lagi moodku sudah hancur semenjak melihat Kainan. Terpaksa aku harus turun dari pada aku mendengar ocehan Papah, padahal aku ingin tidur karena begadang semalaman.

Aku pun turun dan terlihat di meja makan sudah tertata makanan diatasnya. Dengan malas aku duduk di samping Kainan karena tinggal kursi itu yang tersisa. Kami mulai menikmati makanan dengan suasana hening hanya terdengar suara dentingan sendok dan garpu yang saling bersahutan sampai akhirnya Papah mencairkan suasana.

“Kamu semalam dari mana Na?”

Aku menjawabnya dengan nada datar. “UGD,”

Sepertinya Papah kaget mendengar jawabanku, “Ngapain di UGD?” “Nemenin Litha, Pah.”

Papah hanya mengangguk mendengar jawabku, tidak ada reaksi lain.

“Oh iya, selamat datang Kainan, sebetulnya umur kalian tidak beda jauh hanya beda beberapa bulan. Hanya saja Kainan yang lebih dulu lahir, jadi tidak apa-apa kan Nahen kalau Kainan menjadi kakakmu?” Aku hanya diam fokus terhadap makananku dan tidak memberikan respon apapun.

“Mamah denger juga kalian satu sekolah ya?”

“Iya Mah, Cuma beda kelas. Kalau tahu Nahen adik aku pasti udah aku sapa dari dulu,” jawab Kainan.

“Iya salah kami juga karena tidak memberi tahu soal ini, Papah minta maaf ya Kainan, Nahen,”

“Iya karena kalau dikasih tau di awal Kainan juga gak akan setuju kali sama kaya aku, gak setuju kalian berdua nikah, apalagi nikahnya diem-diem.” Paparku.

“Nahen!” bentak Papah.

“Eh lo tau gak, Papah tiri lo ini meninggalkan tanggung jawabnya sebagai suami loh, masa istrinya lagi sakit gak diurusin dan pas istrinya meninggal dia malah pergi sama Mamah lo, kelakuan bejat Papah tiri lo.”

Semua orang di meja makan memandangiku, terutama Papah. Ia melihatku dengan sorotan mata yang tajam. Tante berusaha menenangkan Papah dengan mengelus pundak Papah.

“Udah, udah sabar Mas,” ucap Tante.

“Nahen, kamu masih belum bisa berdamai ya? Kita lupain kejadian yang lalu ya? Kita mulai hidup baru.” lanjutnya sembari tersenyum ke arahku.

“Tante juga gak tahu malu sekali ya, godain suami orang buat dapetin hartanya sampai menghasut Papah saya buat gak peduliin Bunda saya. Tante juga..”

“Jaga omongan lo Nahen, berani banget lo ngomong gitu ke nyokap gue!” potong Kainan.

Brakk. Papah menggebrak meja makan. Kami semua terdiam.

“Cukup, makanlah dengan tenang. Papah tidak pernah mengajarkan kamu ribut di meja makan Nahen,”

Aku menghela napas kasar, beranjak dari dudukku dan berlalu meninggalkan mereka tanpa sepatah kata apapun. Aku menaiki tangga dengan kesal, mengapa ini harus terjadi pada keluargaku?

Aku merebahkan diri di kasur, memakai airpods dan mendengarkan lagu kesukaanku sambil menatap langit-langit kamar. Kembali teringat kenangan yang tidak ingin ku ingat.

-Flashback on–

2 Tahun lalu

Author POV

Nahen duduk di samping ranjang Nadien. Menggenggam dan mengecup punggung tangan Nadien mengalirkan kekuatan serta pengharapan agar Bundanya segera membuka matanya. Sudah 1 bulan Nadien terbaring di rumah sakit semenjak kecelakaan yang menyebabkan dirinya koma karena mengalami pendarahan di otak.

“Bunda, maaf Nahen belum bisa bawa Papah kesini hari ini.”

“Bunda, kapan bangun? Gak capek tidur terus? Nahen kangen masakan Bunda. Oh iya Bun, Nahen hari ini dapat juara kelas lagi loh, Nahen kalahin Litha. Bunda pernah bilang mau kasih Nahen hadiah kalau berhasil melampaui Litha.” Tanpa sadar air mata membasahi pipi Nahen.

“Bun, aku lihat Papah jalan sama wanta lain. Aku tahu kenapa Papah gak mau kesini, pasti karena wanita itu kan Bun? Bun, kalau Bunda bangun Nahen janji bakal jagain Bunda. Nahen gak akan kaya Papah Bun janji,” ucapnya sambil menangis hingga akhirnya tertidur dengan posisi duduk di samping Nadine.

Sampai pada akhirnya ada seseorang yang memasuki ruang perawatan Nadine, ia mencabut selang oksigen Nadine dan menyebabkan monitor di sebelah ranjang Nadine berbunyi. Nahen bangun dari tidurnya karena kaget dengan suara monitor Bundanya berbunyi. Bergegas ia memencet bel di dekat ranjang yang berfungsi untuk memanggil perawat dan tak lama perawat pun datang.

“Dokter, Dokter! Saturasi pasien menurun,” teriak perawat.

Tiiiiiit suara monitor menunjukan garis lurus sempurna sebelum Dokter datang ke ruangan Nadine.

“Bunda, Suster tolong Bunda, Dokter tolong Bunda!” histeris Nahen.

Tak lama Dokter pun datang dengan dua suster lainnya dan kaget melihat monitor Nadine menunjukan garis lurus.

“Suster, siapkan Defibrilator! Dan tolong Nahen minggir dulu sebentar ya, Suster tolong”

Suster membantu menyampingkan Nahen. Terlihat dokter sedang berusaha menolong Nadine di bantu oleh suster yang lain, Dokter sibuk melalukan CPR selagi menunggu Defibrilator siap digunakan.

“Kantong Ambu,” ucap Dokter.

Suster dengan sigap mengambil kantong ambu untuk memberikan oksigen sementara kepada Nadine.

“Sudah siap Dok,” ucap Suster yang mengurus defibrilator.

“Isi 200 joule!”

“Sudah terisi,”

“Baik, mundur semua!”

“Shoot!”

Nihil, Nadine tidak memberi respon bahkan alat monitornya masih sama. Dokter melakukan CPR kembali.

“Isi 200 joule!”

“Sudah terisi dok,”

“Baik, mundur semua!”

“Shoot!”

Hasilnya tetap sama, nihil.

“Nadine, kumohon bertahanlah,” gumam Dokter pelan.

Nahen yang melihat itu histeris, ia ketakutan kalau Bundanya tidak bisa diselamatkan. Sudah 20 menit Dokter melakukan kegiatan tersebut tapi tetap Nadine tidak merespon apapun dan monitornya masih menunjukan garis lurus yang sama.

“Nadine,” lirih Dokter itu. “Kumohon,”

“Dok,” panggil suster sambil menggeleng kepalanya menandakan tidak ada perkembangan.

“Dok, anda harus umumkan waktu kematian pasien,”

Dokter menghela napas tak percaya kalau ia gagal menyelamatkan Nadine. Dengan sangat berat hati ia mengumumkan waktu kematian tersebut.

“Waktu kematian…”

“ENGGAK! BUNDA GAK MENINGGAL KAN DOK?!” sela Nahen.

Ucapan Dokter terhenti karena Nahen memotong ucapannya.

“Jam tujuh belas lebih lima belas menit,”

Nahen menangis sejadi-jadinya, ia tak percaya kalau Bundanya kini telah tiada.

Dokter membisikan sesuatu di telinga Nadine. “Selamat tidur ratuku, maafkan aku yang tidak bisa menjagamu.”

Jasad Nadien diurus oleh Perawat, sedangakan Dokter membawa Nahen yang masih menangis keluar dari ruangan.

“Nahen, tunggu sebentar ya, nanti pasti Papah jemput kamu,”

Dokter itu pun merogoh ponsel dari kantung jasnya dan menghubungi seseorang.

“Rel, Nadine udah gak ada, ini anak lo sama gue dulu ya?”

“Gue sibuk, bisa tolong urusin pemakaman Nadine gak Han?”

“LO SIBUK SAMA WANITA ITU KAN? INI ISTRI LO MENINGGAL DAN LO MASIH SIBUK DENGAN WANITA ITU?! SAKIT LO?!”

“Ryhan, tolong sekali ini aja. Gue titip Nahen juga sama lo. Acha lagi sakit dan gak mau ditinggal soalnya,”

“Brengsek lo jadi suami!”

Ryhan memutus panggilan itu. Muka Ryhan memerah karena menahan amarah, demi apapun apakah benar yang tadi ia telpon adalah Farrel yang ia kenal? Farrel yang baik hati berubah menjadi bajingan hanya karena 1 wanita.

“Nahen, sekarang ikut om dulu ya?”

“Papah gimana, Om?”

“Papah sibuk,”

“Bohong! Pasti Papah sedang sibuk dengan wanita jalang itu!”

“Sttt, kamu ini masih kecil kok sudah kasar? Bukan karena itu kok, percaya sama Om Reyhan ya?”

“Nahen udah besar, udah enam belas tahun Om,”

“Masa? Kamu masih sebelas tahun ini mah,”

Nahen berdecak kesal. “Ih Om, masih mau terus anggep aku anak kecil?”

Ryhan terkekeh sambil mengelus kepala Nahen. “Haha, ponakan Om sudah besar ya. Berarti udah bisa ikhlas ya soal Bunda? Gak boleh terlalu sedih oke?”

Nahen kembali menunduk, ia kembali terisak. “Bunda udah sehat berarti ya Om, udah gak sakit lagi.”

Ryhan yang melihat Nahen pun ikut sedih. Tanpa aba-aba ia membawa Nahen ke pelukannya. “Iya sayang, Bunda udah sehat sekarang ya,” tanpa disadari, Ryhan pun menitikkan air matanya tanpa terisak.

-Flashback off-

Mengingat itu membuat Nahen terpejam dan menitikkan air mata.

Brakkk. Suara pintu terbuka keras.

“Bisa ketok dulu gak sih?” ucap Nahen.

“Lo bisa kan gak usah kasar sama nyokap gue?”

Nahen tidak memberikan respon apapun.

“Bangun lo!” ucap Kainan sembari menarik tangan Nahen.

Nahen terduduk kesal. “Mau apa lagi sih lo? Ganggu gue tidur aja,”

“Asal lo tau Na, lo boleh kasar sama gue tapi engga sama nyokap gue. Emang gue juga setuju sama pernikahan mereka? Gue juga gak tau kalau nyokap selama di Bandung deket sama Papah lo. Tiba-tiba nyokap balik ke Jakarta minta cerai sama bokap gue, oh dan ternyata nyokap minta cerai buat nikah sama bokap lo. Gue di bawa kesini juga semata-mata buat duit Na, gue di Jakarta gak di urus sama bokap gue.” Jelas Kainan.

“Oh, pantesan buah gak akan jatuh jauh dari pohonnya ya, udah gila harta brengsek lagi”

Kainan mengepal tangannya bersiap meluncurkan pukulan kepada Nahen. “Anjing lo!” Satu pukulan mendarat di pipi mulus Nahen. Nahen merasakan bibirnya luka, ia memegang ujung bibir itu dengan jempol tangannya.

Shit,”

Nahen beranjak dari duduknya dan menghampiri Kainan, ia menarik kerah baju Kainan dan menatapnya tajam.

Nahen tersenyum miring. “Jangan macem-macem lo sama gue,” ancam nya.

“Lo salah Na, harusnya lo yang gak macem-macem sama gue. Gue bisa ganggu temen lo, atau temen Lalitha,” timpal Kainan. “Oh, atau bahkan gue bisa ganggu Lalitha,”

Nahen melotot. “Jangan berani-berani lo sentuh Lalitha atau lo habis sama gue,”

“Gue tahu lo lemah Nahen,”

Nahen menendang perut Kainan. Ia masih memegang kerah baju itu dan menyeret Kainan agar keluar dari kamarnya.

“Gue gak selemah yang lo pikir. Bahkan gue rela mati demi Lalitha!” tegasnya.

Nahen melepaskan kerah baju itu dan Kainan jatuh tersungkur.