Mengungkap

Setelah Nahen pergi dari rumah Lalitha. Lalitha hanya berdiam diri dibalik pagar rumahnya. Tiba-tiba saja ia memikirkan ucapan Nahen di cafe tadi, tangannya bergetar karena mengingat kejadian saat Kakaknya pergi.

Lalitha akhirnya memberanikan diri untuk masuk ke rumah. Baru saja ia membuka pintu, sudah terlihat Haris dan Gloria yang tengah duduk di sofa.

“Enak sekali ya kamu pulang pergi se-enaknya,” cetus Gloria.

“Kamu keluyuran terus bukannya belajar!” sentak Haris.

“Sejak kapan kalian peduli sama aku? Kalian, terutama Mamah cuma peduli dengan nilai-nilaiku kan?”

“Kamu ini jadi anak attitude nya kurang sekali, gak seperti Kakak kamu. Kamu itu harus seperti kakak kamu karena gara-gara kamu dia sekarang gak ada Litha!”

Nada Lalitha meninggi. “Kakak, kakak, kakak terus. Aku beda sama kakak, aku ya aku, kakak ya kakak. Dan kakak bukan meninggal gara-gara aku, tapi gara-gara kalian!”

“Salah, gara-gara Mama tepatnya,” lanjut Lalitha.

Gloria dengan refleks menapar Lalitha. Lalitha menerima tamparan itu dan tersenyum sinis, sudah biasa ia diperlakukan seperti ini oleh ibunya.

Melihat Lalitha tersenyum sinis, Gloria sangat geram. Gloria bersiap melayangkan tamparan ke dua untuk Lalitha, tapi Lalitha dengan sigap menahannya.

“Mama masih ga percaya kalau Kak Nathan bunuh diri karena Mama? Oh... atau sebenernya Mama udah tau cuma diem aja?” tanya Lalitha.

Gloria semakin geram, wajahnya memerah karena menahan amarah.

“Lalitha jaga bicara kamu!”

Haris yang melihatnya pun berusaha melepaskan Gloria dari dari cengraman tangan Lalitha.

“Tunggu sebentar disini,” ucap Lalitha.

Lalitha pergi menuju kamarnya, membuka laci meja dan mengambil barang yang selama ini dia simpan. Ya, itu adalah tablet Nathan.

Lalitha membawa tablet itu untuk diberikan kepada orang tuanya.

“Nih, lihat semua catatan Kak Nathan disini.”

Haris mengambil tablet itu dari tangan Lalitha, membuka aplikasi catatan dan membaca catatan itu.

“Halah paling ini kamu yang nulis kan? Saya gak percaya Litha,” tuduh Gloria.

“Masih gak percaya? Itu ada tanggal catatan dibuatnya kapan,” jelas Lalitha.

“Halah, kamu berani berbohong kepada kami?”

“KENAPA KALIAN GAK PERNAH PERCAYA SAMA AKU HAH? SELALU AJA, AKU CAPEK MA, PAH. KALIAN PIKIR AKU GAK SEDIH KAKAK PERGI? KALIAN PIKIR AKU GAK TERTEKAN KALIAN MEMPERLAKUKAN AKU SEPERTI INI? HARUS MENDAPAT NILAI SEMPURNA, HARUS SEPERTI KAKAK, MENGGANTIKAN POSISI KAKAK?! AKU HARUS PERSIS SEPERTI KAKAK AGAR KALIAN MERASA KAKAK MASIH HIDUP?! KALIAN LIHAT INI!”

Lalitha berlari ke dapur mengambil pisau.

“Kalian tau aku capek? Terkadang Aku berfikir untuk lompat dari balkon rumah atau nabrakin diri di jalan raya, bahkan Aku berfikir melakukan cara yang sama waktu Kakak pergi.”

Haris panik melihat anaknya memegang pisau, sebisa mungkin ia membujuk Lalitha agar meletakan pisau tersebut.

“Litha, Litha anak Papah, Papah percaya sama kamu. Tolong letakan itu ya? Papah sama Mama minta maaf, kita bicarakan baik-baik ya?” bujuk Haris.

“BOHONG, KALIAN EGOIS!”

Dengan sadar Lalitha menyayat pergelangan tangan kirinya dengan pisau yang ia pegang.

“LALITHA!” Gloria dan Haris histeris melihat kejadian yang baru saja mereka lihat.

Haris langsung berlari dan merobek baju yang sedang ia pakai untuk menghentikan pendarahan pada tangan Lalitha. Sedangkan Gloria hanya berdiri mematung, tangannya sangat gemetar melihat anaknya berlumuran darah.

“Pah... Papah percaya sama aku?” ucap Lalitha lirih.

“Iya sayang, iya Papah percaya sama kamu. Ke rumah sakit dulu ya?,”

Lalitha hanya mengangguk pelan, setelah itu ia kehilangan kesadaran karena ia merasa lemas.