Mimpi?
Sudah 3 hari Litha belum membuka matanya, masker oksigen dan selang infus masih terpasang rapih di tubuhnya. Karena kajadian hari itu Nahen mengundur tanggal pernikahannya hingga Litha siuman dan sehat kembali.
Kalian yang penasaran dengan kabar Kainan, kini dia sedang proses pemeriksaan oleh kepolisian. Pada hari itu ia tenggelam bersama Litha dan sempat hilang kesadaran juga, tapi Tuhan benar-benar pilih kasih. Kainan sadar sedangkan Litha masih terbaring lemah tak sadarkan diri. Nahen benar-benar tidak akan melepaskan Kainan, ia akan memastikan orang ini membusuk dalam penjara.
Di ruangan 32m² Nahen duduk di samping ranjang tempat Litha berbaring, ia memegang tangan Litha dengan harapan memberikan kehangatan dan kekuatan agar ia segera terbangun dari tidur panjangnya.
“Tha, cepet bangun dong, kamu gak kangen sama aku?”
“Tha, harusnya kita udah nikah, terus harusnya lagi bulan madu, cantiknya Nahen ayo bangun,” lirihnya sembari mengelus pipi Litha dengan lembut.
“Aku gak bisa kehilangan seseorang untuk kedua kalinya, Tha, aku takut,”
Kreeek suara pintu terbuka, memperlihatkan perawakan lelaki berpakaian jas yang rapih dan perempuan yang memakai pakaian casual. Mereka adalah Jovan dan Shane. Akhir-akhir ini mereka sering terlihat bersama.
Jovan dan Shane menghampiri Nahen yang tengah duduk disamping ranjang.
“Na,” panggil Jovan.
Nahen hanya menengok kearah Jovan tanpa sepatah kata apapun.
“Gimana?” tanya Shane.
Nahen hanya menggelengkan kepalanya menandakan belum ada kabar baik dari Litha. Shane mengerti jawaban Nahen, ia langsung mengelus punggung Nahen untuk memberikan semangat.
“Lo belum makan kan? Ini gue bawain makan, udah makan lo tidur. Udah dua hari lo begadang sama mogok makan, Na,” ucap Jovan.
Nahen mengabaikan perkataan Jovan dan tidak memberi jawaban. Ia hanya fokus melihat wajah Litha.
Jovan menghela napas. “Na, kalo lo gini terus, lo bisa sakit!”
“Jov, gue gak mau ninggalin Litha, gue takut Litha bangun tapi gue gak ada di samping dia. Gue mau mantau Litha biar gue tau perkembangannya,” jelas Nahen.
“Sekarang kan ada gue sama Shane, biar kita yang jaga Litha, ya?”
“Iya, lo mending bersihin diri dulu, makan terus tidur, peduliin kesehatan lo juga. Kalau pun Litha bangun tapi keadaan lo acak-acakan kaya gini yang ada dia bakalan sedih, Nahen,” pinta Shane sembari memegang bahu Nahen.
“Ya sudah, gue nitip Litha ya sama kalian.”
Nahen pun dengan berat hati akhirnya menuruti permintaan Jovan dan Shane, ia memesan kamar hotel di dekat rumah sakit sekedar untuk beristirahat, karena ia merasa sedikit tidak nyaman tidur di rumah sakit, terlebih lagi ada Jovan dan Shane. Sebenarnya ia tidak mau meninggalkan Litha, tapi perkataan Shane ada benarnya juga. Ia tidak mau disaat Litha terbangun melihat keadaannya tak karuan seperti saat ini, bukannya mendapat pelukan yang ada ia akan mendapat pukulan maut dari Litha.
Drttt drrttt suara ponsel bergetar menandakan ada panggilan masuk. Baru saja 1 jam Nahen tertidur, ada saja yang mengganggunya.
“Kenapa?” ucapnya dengan suara serak khas orang bangun tidur.
Nahen tersentak kaget dan bangun dari tidurnya. “Gue kesana.”
Bergegas ia mengambil jaketnya dan segera menuju ke rumah sakit, untungnya rumah sakit dan hotel tempat ia menginap hanya berjarak kurang lebih 1 km, bisa ditempuh dengan perkiraan waktu 5 menit berjalan.
Setelah sampai di ruangan Litha dirawat, ia melihat Jovan dan Shane yang berada di luar ruangan. Terlihat dari jendela Litha di kelilingi oleh Dokter dan Perawat.
“Jelasin ke gue, gue udah nitip Litha ke lo, Jov!” bentak Nahen.
“Tadi tiba-tiba alat patient monitor bunyi, Na. Tanda-tanda vital Litha menurun,” jelas Jovan dengan sangat pelan.
Nahen emosi. “Lo, bisa di percaya gak sih? Argghhh!!”
Nahen melihat para Perawat membawa alat defibrillator.
“120 Joule,”
“Shoot!”
Nahen yang mendengar itu hanya bisa mondar mandir di depan ruangan Litha, tentu saja ia sangat khawatir. Ia khawatir Litha akan meninggalkannya.
“Kak Nathan?”
“KAKAK!” panggil Litha.
Terlihat Nathan yang sedang memetik bunga lily berwarna putih.
Nathan melambaikan tangannya kearah Litha. “Litha!”
Litha berlari ke arah Nathan dan segera memeluknya dengan erat. “Kak, kangen tau.”
Nathan menerima pelukan tersebut, ia pun membalas pelukan Litha dan mengelus pelan rambutnya. “Kakak tahu, sama kakak juga kangen sama kamu.”
“Tapi Kakak gak bisa lama, kakak harus pergi,” ucap Nathan.
“Mau ikut boleh?”
“Kamu mau ikut?” tanya Nathan.
Litha menganggukan kepalanya.
“Ayo, tujuan kakak kesini juga mau jemput kamu,”
Nathan memegang erat tangan adiknya, menuntunnya jalan perlahan seperti tidak mau kehilangan Litha untuk kedua kali. “Ayo.”
Mereka berdua berjalan menyusuri taman bunga lily tersebut hingga akhirnya muncul cahaya putih yang terang diujung sana. Litha terus mengikuti langkah Nathan hingga akhirnya ia terhenti karena menemukan sebuah bunga lily berwarna orange, padahal taman ini hanya berisi lily berwarna putih. Litha hendak memetiknya namun ia mengurungkan niatnya karena ia menyadari kalau Nathan sudah melangkah jauh darinya. Ia berlari untuk menyusul Nathan hingga akhirnya mereka menembus cahaya putih terang itu, saking terangnya Litha menutup matanya.
Litha membuka matanya, hanya tembok berwarna putih yang ia lihat dan ia merasakan sedang terbaring saat ini dan seperti ada yang memegang tangannya. Ia melihat dengan perlahan, penasaran siapa yang memegang tangannya saat ini.
Litha sedikit syok. “Kakak, pasti ini mimpi,” batinnya.
Terlihat Nathan sedang menggenggam tangannya sembari menundukan kepalanya. Litha memberanikan diri untuk memanggilnya untuk memastikan kalau ini bukanlah mimpi.
“Kak,”
Nathan terkejut dan menganggahkan kepalanya, melihat adiknya yang akhirnya terbangun dari tidur panjangnya.
“Adek? Adek udah bangun? Sebentar, kakak panggilkan dokter dulu,” ucap Nathan kegirangan.
Nathan segera keluar untuk memanggil dokter. Tak lama dokter pun datang. Dokter memeriksa segala keadaan Litha, sisi lain Nathan sedang menelepon orang tuanya memberitahukan kalau adiknya ini sudah siuman.
“Jadi ini bukan mimpi? Kakak nyata? Kakak belum meninggal? Lalu aku ini dimana? Surga kah?” seribu pertanyaan di otak Litha.
Litha menggelengkan kepalanya, “Ah, ga mungkin paling bentar lagi gue bangun.” gumamnya.
Tak lama kemudian Dokter pun datang. “Halo, Litha, bagaimana keadaanmu? Apa yang kamu rasakan?” tanya Dokter.
“Baik saja, Dok, hanya saja tangan dan kaki saya agak kaku untuk digerakkan,” jawab Litha.
“Wajar saja, kamu tertidur sudah sekitar satu tahun lamanya,”
Mata Litha terbelak, ia tak percaya. “Satu tahun, Dok?”
“Iya, kamu masih ingat dengan saya? Saya Dokter Ryhan yang dulu menolong kamu untuk replantasi tangan karena kamu tidak sadar hampir memotong tanganmu dengan pisau, dan kemarin kamu tenggelam karena menyelamatkan anak kecil di tengah danau, sangat berani kamu ya.”
“Hah?” Litha merasa de javu dengan ucapan Dokter Ryhan. Ia memegang kepalanya karena merasa sakit. “Aduh,” rengeknya.
“Kenapa? Kamu sakit kepala?” tanya Dokter Ryhan.
Nathan segera menghampirinya khawatir. “Kenapa, Dek?”
“Sepertinya Litha membutuhkan istirahat, Nath, efek koma memang seperti ini. Jika ia kesakitan lebih parah nanti panggil saya lagi ya,”
Dokter pun meninggalkan ruangan tersebut.
Litha terus memegang kepalanya, rasa sakitnya seperti ia membawa beban 80kg. Tiba-tiba berputar memori seorang lelaki yang tidak ia kenali.
“Kainan brengsek,”
“Mau peluk,”
“Permisi, Nahen,”
“Calon pacar asli,”
“Litha, aku mencintaimu tanpa syarat,“
“Maukah kamu menikah denganku?”
Ingatan itu membuat Litha tidak sadar meneteskan air matanya.
“Nahen,” ucap Litha.
“Kenapa, Dek?”
“Nahen mana, Kak?”
Nathan tersentak kaget dengan ucapan adiknya. “Nahen?”
Litha mulai menangis. “Nahen mana, Kak? Kak, aku kangen Nahen.”
Nathan memeluk adiknya. “Dek,”
“Nahen, calon aku Kak,” ucapnya sesenggukan.
“Kamu pasti mimpi ya? Nahen gak ada, Tha, temen-temen kamu juga gak ada yang namanya Nahen”
“Bohong! Ponselku mana?”
Nathan memberikan ponsel violet milik adiknya. Litha segera mencari nama Nahen pada kontaknya dan nihil tidak ada nama Nahen pada kontaknya.
“Jadi selama ini Nahen itu hanya mimpi?” lirih Litha sambil menangis. Nathan hanya bisa menenangkannya karena ia tahu rasanya, Nathan pernah berada diposisi tersebut.