Propose You

Disepanjang perjalanan menuju pantai Lalitha dan Nahen mengisinya dengan mendengarkan lagu kesukaan mereka, bernyanyi, bercerita, bercanda bersama. Perjalanan yang sangat menyenangkan, walau sedikit macet. Wajar saja karena Nahen dan Litha pergi saat weekend, dimana orang-orang pun ingin berlibur melepas penat.

Kurang lebih 4 jam perjalanan Bandung – Garut, akhirnya mereka sampai di tempat tujuan yaitu Pantai Santolo. Sesuai dengan target Nahen mereka sampai di waktu sore. Keadaan pantai sudah agak sepi dikarenakan pengunjung mulai pulang satu persatu, pantai ini cenderung ramai pengunjung dari pagi ke siang.

Sore itu, mereka melakukan aktivitas layaknya pasangan yang sedang berlibur. Berfoto, berlari-lari di bibir pantai, bermain air dan pasir, tidak lupa juga mereka minum air kelapa muda yang di jual di warung pinggir pantai, karena tidak lengkap jika berkunjung ke pantai tapi tidak minum air kelapa muda.

Setelah puas beristirahat di warung pinggir pantai, Litha bangun dari duduknya dan berjalan menyusuri bibir pantai, Nahen hanya mengikuti langkah Litha. Mereka berdua berjalan dengan tenang dan terdiam menikmati suasana sunyi dan sepi. Hanya terdengar deburan ombak pantai yang bersahutan dan menyapu kaki mereka hangat, diiringi angin sepoi-sepoi yang menghembus ke arah mereka. Nahen sesekali melihat Litha yang sedang melihat matahari terbenam, rambut panjangnya yang terikat tertiup angin dan senyum manis terukir di bibirnya. Beberapa menit terdiam akhirnya Nahen membuka pembicaraan.

“Tha, seneng gak?”

“Seneng lah, kamu?”

“Ya, jelas seneng, kan sama kamu,”

“Tha, aku boleh nanya?” lanjut Nahen.

“Boleh,”

“Kamu kenapa suka menghindar kalau aku ajak nikah?”

Litha tertegun. “Santai, jawab dengan santai,” batinnya.

“Oh itu, karena aku belum siap, aku takut akan pernikahan, takut gak bisa ngurus kamu, takut gak bisa mandiri, takut kekerasan dalam rumah tangga, kamu selingkuh, dan masih banyak lagi,” jelas Litha.

“Tapi, aku udah ngeyakinin diri sendiri. Aku gak boleh setakut itu, aku juga paham semua rumah tangga juga pasti ada permasalahan, cuma tergantung kitanya aja menghadapi permasalahan itu seperti apa,” lanjutnya.

Nahen mengerti penjelasan Litha, ia sangat mengerti kalau Litha memang setakut itu.

“Litha, tenang, aku gak mungkin mukul kamu, menyentuhmu disaat aku marah saja aku gak bisa, dan aku juga gak mungkin selingkuh, Tha.”

Nahen menyusul langkah Litha sehingga Litha berhenti, dan kini ia berada di depan Litha. Nahen memegang bahu Litha menurunkan pandangannya agar sejajar dengan pandangan Litha saat ini.

“Litha, aku mencintaimu tanpa syarat. Aku mencintai segala yang ada dalam diri kamu, aku tahu kalau kamu bukanlah bidadari, tapi kamu telah menjadi bidadari dalam hidupku. Sudah bertahun-tahun kita bersama, aku menyaksikan kamu bersama beberapa lelaki lain, mereka datang dan pergi, menyakitimu dan meninggalkan kamu. Kini,” ucapan Nahen terhenti, ia mengeluarkan kotak kecil berwarna merah dari saku celananya, Nahen membuka kotak tersebut memperlihatkan cincin putih bertahtakan berlian yang sangat cantik.

Nahen bertekuk lutut di depan Litha, menarik napas gugup padahal ia sudah mengatakan ini berkali-kali kepada Litha. “Tha, aku tahu aku bukan lelaki sempurna, tapi bersamamu aku merasa sempurna. Kamu adalah orang kedua yang sangat kucintai selepas Bunda. Aku berjanji akan selalu mencintaimu dan sampai kapanpun aku akan melindungimu. Aku gak tahu ini ucapan yang keberapa, tapi, Litha maukah kamu menikah denganku?”

Litha mematung. Ia menutup mulutnya, air mata mulai membasahi pipinya, bukan air mata kesedihan melainkan air mata kebahagiaan. Ia masih tidak percaya bahwa lelaki di depannya ini masih belum menyerah meminta ia untuk menjadi pendamping hidupnya.

Dengan latar suara desiran ombak beserta langit senja, Litha menganggukan kepalanya. Nahen yang melihatnya tersenyum bahagia, ia menggapai tangan kanan Litha dan memasangkan cincin itu di jari manisnya sebelum akhirnya ia bangkit dan memberikan pelukan terhangatnya.

“Nahen, terima kasih sudah hadir dan tidak menyerah,” lirih Litha, ia mengeratkan pelukannya dan tidak mau melepaskannya.

“Tha, aku yang berterimakasih. Terima kasih sudah lahir, terima kasih sudah menerima aku,”