SATU

Ada harap yang tersirat pada setiap tatapan mata Jeffrey kepada Jena, anak bungsunya. Harap agar sang anak bisa menerimanya sebagai sosok ayah. Sejak kepergian Theo, ayah kandung Jena, memang dunia seakan berhenti bagi Jena, Dave dan Eilene. Tapi, Theo janji titipkan keluarganya kepada Jeffrey. Karena memang Jeffrey juga adalah sebenar-benarnya rumah bagi Eilene.

Terkadang Jeffrey menangis sendiri saat Jena menolaknya mentah-mentah atau tidak menganggapnya ada.

“Selamat, ya, Jena buat graduationnya. Papa bangga sama Jena, terima kasih udah jadi anak yang hebat.” Jeffrey menyambut Jena di depan pintu rumah sambil mengulungkan sebuah bouquet bunga untuk anaknya itu.

Jena hanya memberikan tatapan sinis kepada ayah tirinya itu. Memutar bola matanya dengan malas lalu meraih bouquet bunga itu lalu berjalan masuk ke rumah dengan sedikit menghentakkan kaki.

Jeffrey hanya menghela napas panjang sambil memejamkan mata, hingga selanjutnya pekikan Eilene terdengar nyaring, “Jena! Yang sopan sama Papa!”

Jena berbalik badan, mengangkat bouquet bunga itu lalu tersenyum sambil mengangkat alisnya, “Makasih,” katanya dengan nada datar dan senyum yang dipaksakan lalu melanjutkan langkahnya masuk ke dalam rumah.

“Jena!” teriak Eilene kesal dan hendak menghampiri Jena, namun, dengan sigap Jeffrey menahan lengan Eilene dan langsung menarik Eilene ke dalam pelukannya.

“Jangan dimarahin, udah. Tugasku buat bikin Jena terima aku, bukan dengan selalu dimarahin. Aku sadar kepergian Theo ada campur tanganku juga. Maafin aku, Eilene.” ucapan Jeffrey menusuk rungu Eilene dan membuat sang puan dalam pelukan Jeffrey itu memejamkan mata dan membenamkan wajahnya di dada bidang Jeffrey, membalas pelukan Jeffrey erat. Untuk kesekian kalinya dalam hidup Jeffrey, ia doakan dan titipkan harap agar Jena bisa membuka hati untuk menerima kehadirannya.