awnyaii

Letta pulang ke rumah dengan keadaan mata sembab. Jelas dalam keadaan tidak baik-baik saja.

“Mama?” Eugene kaget. Michelle dan Yoel pun langsung menghampiri Letta.

“Mama kenapa?” tanya Michelle.

“Udah pada makan?” tanya Letta mengalihkan.

“Udah, tapi mama kenapa?” tanya Yoel.

“Eugene udah makan?” tanya Letta yang memandangi Eugene yang kini mendekat juga ke arahnya.

“Mama jawab pertanyaan kita dulu, Mama kenapa?” tanya Eugene dengan penuh penekanan. Letta bergantian menatap Michelle, Yoel dan Eugene. Matanya mengerjap-ngerjap, ia menoleh kesana kemari.

Tapi Michelle bergerak memeluk Letta melingkarkan tangan di pinggang mamanya itu. Sesekali tangan Michelle menepuk punggung Letta. Hal itu membuat Letta menunduk, tas jinjing dan paper bag di tangan kanan dan kirinya terjatuh ke lantai begitu saja, ia tersedu-sedu seketika. Kedua telapak tangannya ia gunakan untuk menutupi wajahnya.

“Mama..” lirih Yoel. Letta pun memeluk Michelle, ia memandang Yoel dan Eugene bergantian.

“Kalian janji ya temenin Mama, kalian janji ya jadi anak yang kuat? Ya?” pinta Letta dengan suara yang parau.

“Ma, ada apa?” tanya Yoel yang mendekat juga ke arah Letta dan ikut memeluk mamanya itu.

“Untuk sementara ini Mama nggak punya pekerjaan, management mama sementara me-nonaktifkan mama disana karena kasus yang menyeret Papa. Jadi mama mohon kalian jadi anak yang kuat, ya? Maafin mama karena mama bikin keadaan makin sulit. Mama minta maaf sama Eugene, Yoel sama Michelle. Mama min..ta… ma…af…” Letta terisak hebat, tangisan Letta mengiris hati Eugene, Yoel dan Michelle.

Eugene terpaku di tempatnya sementara Yoel dan Michelle memeluk Letta yang menangis. Satu tangan Eugene mengepal menahan emosi dan kesedihannya. Cobaan apa lagi kali ini? bahkan ini bukan kesalahan Mamanya, mengapa harus sejauh ini? Rasanya hancur, rasanya semakin sakit. Tapi siapa lagi yang mereka punya selain keluarga? Yang Letta harus lakukan adalah jadi ibu yang kuat, yang harus ketiga anak itu lakukan adalah jadi kuat agar Letta pun juga kuat menghadapi semuanya. Meski kita tidak pernah tahu sehancur apa hati Letta ataupun Eugene, Yoel dan Michelle sekalipun.

—-

“Lett, gue minta maaf nggak bisa perjuangin lo. Tapi gue nggak akan nyerah, gue akan terus berjuang dan berdoa biar nama Jevin dan nama lo kembali bersih dan lo bisa kerja lagi. Yang sabar ya, Lett.” Cleo, manager Letta menelepon Letta sambil menangis karena Letta sementara diberhentikan dan tidak bisa menerima job apapun.

“Iya, nggak apa-apa. Doain gue ya biar kuat.” Letta menjawab telepon itu dengan nada setenang mungkin lalu menutupnya sepihak.

Di kamar ini Letta biasa tidur dan berbagi rengkuh bersama Jevin tapi kali ini ia sendiri. Ia bahkan tidak tahu apakah Jevin tidur dengan nyenyak, apakah Jevin makan teratur, apa yang sedang Jevin lakukan. Tangan Letta gemetar menutup telepon, ia berbohong kepada Cleo kalau semua baik baik saja, ia juga berbohong kepada dirinya sendiri. Kalau boleh menyerah rasanya ia ingin menyerah saja, tapi melihat binar mata ketiga anaknya, rasanya tidak mungkin bagi Letta untuk menyerah.

Tiba-tiba bayangan tentang bagaimana Jevin dibawa polisi, bagaimana keadaan Eugene di rumah sakit bahkan perdebatannya dengan beberapa perwakilan management yang terjadi hari ini, lewat di pikirannya lagi. Bagaimana Letta memohon agar ia tidak diberhentikan sementara masih terbayang, tangannya dingin, detak jantungnya tak beraturan, Letta menyerakkan barang yang ada di nakasnya, napasnya memburu, sreekk… bruuakk.. suara itu muncul dari buku-buku yang berserakan. Letta mengerjapkan matanya berkali-kali tapi air matanya tumpah lagi, bahkan napasnya tersengal sengal karena susah payah menahan tangis yang akhirnya meledak juga, ia merasa sesak karena harus menahan air mata sedari tadi.

Jantungnya berdegup kencang, seakan cemas dan ketakutan serta sedikit mual bak diserang kepanikan berlebih saat ini, itu yang Letta rasakan. Letta pun jatuh terduduk di lantai. Tangannya terkepal memukul-mukul lantai, ia yang bersandar di tembok juga beberapa kali menghantamkan kepalanya dengan sengaja ke tembok.

Ternyata suara itu mengundang seseorang untuk memeriksa keadaan Letta, sampai akhirnya ia merasakan ada yang menahan tangannya. Letta langsung menoleh.

“Mama jangan kayak gini, Eugene sama adik-adik butuh Mama. Kita semua udah janji bakalan kuat buat satu sama lain.” Eugene sudah ada di sana tangannya menahan tangan Letta yang terkepal lalu bergerak lagi menahan bagian belakang kepala Letta agar Letta tidak lagi menjedukkan kepalanya ke tembok.

“Stop, Ma.” Eugene berkata dengan menatap Letta nanar.

“Nak…” Letta buru-buru menghapus air matanya, satu tangan Eugene masih mengenakan armsling dan satu tangannya ia gunakan lagi untuk menahan tangan mamanya itu.

“Nangis aja, nggak apa-apa. Beban Mama udah berat banget. Mama juga pasti nggak bisa leluasa nangis luapin semuanya kan? Biasanya mama yang peluk eugene dan adik-adik, sekarang biar Eugene yang nemenin dan peluk Mama, please, mama boleh luapin semuanya ke Eugene.” Ucapan Eugene itu sontak membuat Letta tertegun, netra keduanya beradu dan Letta pun memeluk anaknya itu. Seketika tangisan Letta pecah, isak tangis tersedu-sedu itu keluar begitu saja, sudah terlalu lama Letta menahannya sendiri.

“Mama nggak ngerti lagi harus gimana, maafin Mama… maafin Mama… Mama diblacklist sementara, diberhentikan dari semua project kerjaan mama, maaf….” kalimat itu diucapkan Letta terbata-bata. Eugene hanya bisa mengusap punggung Letta dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja meski ia sendiri juga merasa hancur.

“Maafin mama… nak…” tangis Letta lagi.

“Mama nggak perlu minta maaf. Kita bisa lewatin ini semua, Ma.” Untuk pertama kalinya, tangis Letta pecah di depan anak sulungnya, semua beban ia keluarkan dalam wujud air mata, tapi yang Letta harus lakukan setelah ini, rise up and smile again, through the storm and believe that God will show His way.

Setelahnya, Yoel dan Michelle ikut menghampiri dan menyusul masuk ke sana. “Mama… Koko…” ujar Michelle dan Yoel bergantian. Letta dan Eugene pun merenggangkan pelukan.

Letta hendak menghapus air matanya tapi kini Yoel sudah ikut berlutut di lantai dan memeluk Mamanya itu. “Mama… jangan marahin Koko, tadi beneran bukan karena Koko, bahkan Koko yang selalu jagain dan hibur kita padahal Koko sendiri juga pasti nggak baik-baik aja.” Yoel berkata dengan suaranya yang parau.

Letta pun memeluk Yoel dan menatap Michelle dan Eugene juga yang ada di sana, Michelle ada di rangkulan Eugene. Letta mencium pipi Yoel lalu berkata, “maafin mama juga ya, maafin mama,” ucap Letta.

“Mama nggak perlu minta maaf. Kita harus sama-sama kuat,” ujar Yoel. Letta pun merentangkan tangannya lagi. Ia memeluk ketiga anaknya itu.

“Kita semua kangen Papa, kita juga sayang Mama,” bisik Michelle lirih. Malam itu diakhiri dengan mereka berempat yang duduk di atas kasur bersama dan melipat tangan memanjatkan doa untuk keutuhan dan keadaan keluarga mereka kali ini. semua datang bertubi-tubi tapi mereka yakin dan percaya kalau semua bisa terlewati dan semua ada masanya.

Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan Calvin masih dengan kesendiriannya menyusuri jalanan sepi. Di tubuhnya hanya menempel pakaian yang ia kenakan, ditambah dengan hoodie hitamnya, ponsel yang ia genggam sedari tadi berdering tapi tidak ia gubris sama sekali. Panggilan dari Jeremy, Lea, kedua orang tuanya yang sangat khawatir sampai ke Willy, Jevin dan Mevin pun tidak Calvin hiraukan.

Calvin pun memilih berhenti di sebuah halte, ia duduk di sana sendirian memandangi kendaraan yang berlalu lalang. Kalimat demi kalimat yang tadi ia baca di sosial media masih jelas teringat di kepalanya, memang fakta yang ia baca tapi entah mengapa hatinya sangat sakit saat membaca semua itu. Calvin tahu kalau yang dikatakan semua orang itu benar adanya, tapi tetap saja hal itu membuatnya sedih.

Memandangi langit malam dan hiruk pikuk kendaraan di jalanan membawa Calvin berkelana kepada pikiran masa lalunya saat ia bertemu Jeremy dan Lea untuk pertama kali dan ia diberi pekerjaan. Rasanya sangat mustahil dan masih sulit untuk dipercaya, Calvin yang tadinya hanya sebagai asisten Jeremy kini diangkat menjadi anak angkat keluarga Adrian dan ia menemukan arti rumah yang sesungguhnya disana. Bintang malam dan rembulan menggantung menyaksikan Calvin yang masih terdiam seorang diri di sana.

Kepala Calvin menunduk saat melihat ponselnya, sebuah pesan dikirimkan Lea, Mamanya. Calvin sayang, pulang ya nak. Calvin dimana? Mama khawatir sama Calvin.

Sungguh, mungkin ini pesan ke sekian yang Lea kirimkan kepada Calvin tapi Calvin hanya menghela napas lalu memasukkan lagi ponselnya ke dalam hoodienya. Calvin tertunduk, orang yang berlalu lalang di sana mengabaikan kehadiran Calvin. Sampai akhirnya Calvin merasakan ada yang duduk di sebelahnya, diam tidak berkutik sama sekali. Sampai akhirnya sudah beberapa menit hening, Calvin merasakan orang di sebelahnya mengusap punggung Calvin.

Sontak Calvin menoleh, “Ko Mevin?” Calvin terkejut bukan main.

Mevin menoleh, tersenyum kepada adiknya itu, topi hoodie Calvin dilepas Mevin lalu Mevin mengacak rambut adiknya itu, “ngapain pergi sendirian? Nggak ngajakin koko?” tanya Mevin.

Calvin terdiam. “Kenapa pergi dari rumah?” tanya Mevin lagi.

Calvin mengalihkan pandangannya enggan menatap Mevin.

“Kenapa nggak angkat telepon?” tukas Mevin.

Calvin masih belum berani menatap Mevin.

“Calvin,” panggil Mevin lagi yang akhirnya membuat Calvin menoleh.

“Kenapa?” tanya Mevin lembut.

“Takut.”

“Takut sama siapa?”

“Sama omongan orang, padahal itu fakta.”

Mevin menghela napas panjang, “Calvin, listen, nggak akan ada yang bisa nyakitin kamu lagi, semua yang di sosial media biarin aja. Koko udah makan pahit manisnya kayak gitu sejak dulu, koko tahu ini hal yang nggak biasa buat kamu bahkan baru pertama kali, tapi please inget masih ada Koko, Ko Jevin sama Ko Willy sama Papa dan Mama. Kita bakalan lindungin kamu dari apapun dan dari siapapun. Fakta emang kalau kita bukan anak kandung keluarga Adrian. Tapi apa kita keluarga Adrian peduli hal itu? Yang kita semua tahu kita keluarga, koko sama kamu anak Papa Jeremy sama Mama Lea, titik. Nggak ada embel-embel anak angkat lagi, ataupun anak pungut. Kita anak Papa sama Mama, udah.”

Calvin melongok menatap Mevin, “tapi sakit bacanya.”

“Pasti, tapi kita nggak bisa bungkam mulut dan ketikan orang di luar sana, Calvin. Yang kita bisa lakuin Cuma buktiin kalau keluarga kita baik-baik aja, nggak peduli siapa lahir dari rahim Mama Lea atau bukan. Kamu sendiri yang tahu, kita sendiri yang tahu gimana kasih sayang dan kehangatan keluarga Adrian, right?” Mevin berkata dengan mengangkat alisnya. Calvin mengangguk perlahan.

“Senyum dulu baru kita pulang,” kata Mevin.

Calvin terkekeh, kedua sudut bibirnya ia tarik membentuk simpul tipis.

“Good then, that’s my bro,” kata Mevin sambil merangkul Calvin.

“Koko sendirian nyusulin Calvin?” tanya Calvin. Mevin menggeleng, ia pun menoleh ke sebelah kiri, Mevin memundurkan badannya sedikit sehingga Calvin bisa melihat sebuah mobil terparkir disana dengan dua orang tengah bersandar di badan mobil sambil melipat tangan mereka di depan dada dan memandangi Calvin juga Mevin.

Sesuai dugaan, Jevin dan Willy ada di sana. Mereka pun berjalan mendekat ke arah Mevin dan Calvin.

“K-ko Jevin? Ko Willy?” Calvin kaget karena kedua kakak laki-lakinya juga ada di sana. Jevin duduk di sebelah kanan Calvin mengisi space kosong dan Willy berlutut di depan Calvin.

“Ngopi dulu berempat mau nggak?” tanya Willy.

“Papa sama Mama khawatir sama kamu, tapi kita semua juga khawatir sama kamu, pasti baru pertama kali kan ngalamin kayak gini? Mevin mah udah tahan banting itu,” kata Jevin sambil menunjuk Mevin dengan dagunya.

“Jadi gimana? Ngopi nggak nih?” Willy bangkit berdiri dan mengeluarkan dompetnya bergaya melihat stok uang di dalamnya.

“Gaya lu, anjir,” Jevin menepuk lengan Willy, Calvin dan Mevin hanya terkekeh.

“Banyak nih duitnya bau-baunya,” celetuk Mevin.

“Habis ngeprint,” balas Willy sambil memasukkan lagi dompetnya ke celananya.

“Kita semua belum makan nih nyariin kamu, kalau kamu nggak terima ajakan Willy buat nongkrong dulu sebelum pulang, kita nggak boleh makan sama dia,” bisik Jevin.

“Gue denger, jangan menyebar hal yang iya-iya,” kekeh Willy.

“Ayo Vin, tentukan pilihanmu sekarang, mau tirai tiga atau nongkrong sama makan dulu?” kata Mevin bergurau. Calvin terkekeh, ia tidak menjawab tapi malah memeluk Jevin, Mevin dan Willy bergantian barang beberapa detik.

“Ko Willy, Ko Jevin, Ko Mevin makasih banyak ya.” Calvin menatap mereka satu per satu dengan tatapan sendu.

“No need to say thanks, lah. Nggak akan ada yang bisa jatuhin kamu, apapun yang orang bilang, kamu sendiri yang udah tahu gimana keluarga kita, jangan ngerasa nggak berharga, nggak pantas atau apalah itu.” Willy berkata dengan penuh penekanan.

“Mau orang bilang nggak pantas jadi bagian keluarga ini atau apapun itu, buat kita kamu tetap Calvin anak Papa sama Mama, adik kita semua. Bagian keluarga Adrian, anak di keluarga Adrian. Oke?” Jevin kini merangkul adiknya itu.

Perlahan Calvin tersenyum lalu ia mengangguk, tidak tahu lagi harus berkata apa untuk mengungkapkan rasa syukurnya terhadap keluarga ini.

“Mereka yang sirik itu nggak bisa join keluarga kita, biarin aja.” Mevin menambahkan.

Calvin pun bisa tersenyum lebar dan mengangguk mendengar kata-kata dari ketiga kakak laki-lakinya itu.

Akhirnya malam itu, Calvin bisa merasa tenang, ketiga kakak laki-lakinya memang yang selalu ada dan membuat semua perasaan dan pikiran buruk itu pergi. Syukur tiada terhingga Calvin panjatkan kepada Tuhan yang memegang hidupnya, diberikan keluarga seperti keluarga Adrian adalah salah satu hal yang sangat Calvin syukuri sampai saat ini, karena dulu Calvin sempat berpikir apakah sampai akhir hidupnya ia harus merasakan penderitaan dan merasa diabaikan? Tapi nyatanya Tuhan jawab doa Calvin, diberikanNya keluarga yang menjadi rumah Calvin untuk pulang, keluarga Adrian akan jadi rumah bagi Calvin selamanya. Meski perjuangan untuk menemukan rumah ini harus mempertaruhkan keselamatan dan nyawa Calvin.

Hari ini adalah hari dimana keluarga Jeremy bertemu dengan Jovian. Memang, tidak banyak waktu Jovian di Indonesia kali ini. hanya beberapa hari dan seperti biasa, Jovian selalu menyempatkan untuk bertemu Mevin, anak kandungnya yang diasuh oleh Jeremy dan Lea.

Malam ini Jeremy mengundang Jovian untuk makan bersama di kediamannya. Suasana terjalin hangat, Jovian sudah menyatu juga dengan keluarga ini. Jovian juga hanyut dalam canda tawa dengan Lauren dan Jevin. Suasana penuh sukacita sangat terasa meskipun esok hari Jovian harus kembali ke Australia.

“Jo, kalau kesini lagi kabarin aja, oke?” kata Jeremy usai menyantap makanannya.

“Siap. Tapi belum tahu kapan libur lagi, rencana ajak Mikayla sama Auryn juga, ini nggak diajak karena Cuma beberapa hari aja.” Jovian menjawab usai menyilangkan sendok dan garpunya.

“Iya Om Jovian, ajak Mikayla biar Lauren ada temennya, bosen nih sama kembar berisik ini terus,” kekeh Lauren.

“Ya udah gue ikut ke Aussie aja,” ledek Mevin sambil menjulurkan lidah.

“Aaaaa… jangannnn!” seru Lauren dan Jevin hampir bersamaan.

Jovian yang ada di sebelah Mevin pun hanya mengacak rambut Mevin pelan sambil terkekeh.

“Tuh, pada nggak mau pisah sebenernya tapi kalau jadi satu ribut terus.” Lea menatap ketiga anaknya itu sambil menggelengkan kepala pelan.

“Kalau belum kayak gitu kayak ada yang kurang, Jov. Kalau jadi satu di rumah, ribut non-stop. Kalau ada satu yang nggak ada dicariin sampai ke lubang semut dicari, ditungguin,” tambah Jeremy.

Jovian tersenyum tipis lalu menatap Jevin dan Lauren, “tadinya Om mau ajak Mevin ke Aussie, tapi jangan deh, nanti Om yang liburan kesini lagi aja sama Mikayla sama Tante Auryn, ya? Biar Adrian Fams formasinya tetap lengkap. Oke?”

“Om Jovian makasih banyak, kita tunggu Mikayla sama Tante Auryn kesini pokoknya,” kata Lauren bersemangat.

“Iya, Om, nanti Mevin kangen sama Jevin kalau jauh-jauhan, hehe,” balas Jevin.

Mevin membulatkan matanya, “apaan? Lo kali kangen sama gue,” balasnya.

“Lo lah, video call gue mulu,” Jevin tidak mau kalah.

“Yang waktu itu nyusul ke Aussie siapa?” kata Mevin.

“G-gue.. hehe…” Jevin kalah telak.

Semuanya terkekeh, Jovian pun menatap Jevin lagi, “apa Jevin Mevin ikut ke Aussie?” katanya.

“Lauren sendiriaaannnnnn…” rengek Lauren sambil memanyunkan bibirnya.

“Hahaha, bye gue diajak Om Jo,” ledek Jevin sambil menjulurkan lidah.

“Jangaaannn,” rengek Lauren lagi.

“Iya iya, nggak ada yang ke Aussie, orang Om Jo sekeluarga yang mau kesini kok,” sela Lea.

Akhirnya obrolan malam itu terjalin lagi sampai saat Jovian hendak berpamitan untuk kembali ke hotel. Ketiga anak itu tak lupa memberi salam kepada Jovian dan mencium tangan Jovian. “Om Jo, hati-hati di jalan, sehat selalu ya Om, salam buat Tante Auryn sama Mikayla, God bless you, Om.” Lauren berkata sambil tersenyum manis usai mencium tangan Jovian.

“Om Jo, take care, ditunggu lagi kesini sama Mikayla sama Tante Auryn, jaga kesehatan, Om.” Jevin juga memberi salam kepada Jovian dan Jovian pun merangkul Jevin.

“Yang akur ya sama Cicinya sama kembar, oke?” kata Jovian yang dibalas anggukan kepala oleh Jevin.

Tiba saat Jovian juga berpamitan kepada Jeremy dan Lea.

“Pintu rumah ini selalu terbuka lebar untuk kamu sekeluarga, Jo.” Lea tersenyum tipis.

God bless you, Jovian. Kabar-kabarin terus, ya,” kata Jeremy usai merangkul Jovian.

“Siap.”

“Hati-hati, Jo.” Lea juga bersalaman dengan Jovian kala itu.

“Makasih semuanya,” balas Jovian. Rasanya berat meninggalkan rumah ini, lebih tepatnya meninggalkan Mevin. Maka Jovian pun memeluk anak kandungnya itu dan mencium puncak kepala Mevin. Untuk beberapa saat Mevin juga memeluk Jovian. Lauren sudah ada di dalam rangkulan Jevin dan Lea di rangkulan Jeremy melihat suasana haru kala itu.

“Papa baik-baik di sana, Mevin selalu tunggu kedatangan Papa lagi disini. Gonna miss you, Pa.” Mevin berbisik lirih di sela pelukannya.

Jovian memeluk erat anaknya itu sekali lagi lalu merenggangkannya dan menangkup kedua pipi Mevin, “Gonna miss you too, boy. baik-baik disini sama Papa Jeremy sama Mama Lea, sama Ci Lauren sama Jevin. Oke?” katanya yang dibalas anggukan oleh Mevin.

“Jovian, Mevin, lihat sini!” kata Lea yang membuat Jovian dan Mevin menoleh. Lea sudah siap dengan kamera polaroidnya, dua kali pose berbeda diabadikan oleh Lea. Sebelum memberikan satu lembar foto itu kepada Mevin dan satu lagi kepada Jovian, Lea mengambil penanya dan menuliskan sesuatu di sana tanpa sepengetahuan Jovian ataupun Mevin karena Jovian dan Mevin masih nampak mengobrol dengan Jeremy, Lauren dan Jevin.

Akhirnya Lea mendekati Jovian lalu memberikan polaroid itu, “buat kamu satu, Jo,” katanya.

Thank you so much, wah, lucu banget!” kata Jovian sambil menunjukkan foto itu kepada semuanya.

“Dilaminating, Om, jangan sampai rusak,” gurau Lauren.

“Siap, Ren.” Jovian berkata sambil memberi pose hormat yang mengundang tawa semuanya. Akhirnya Jovian benar-benar pamit dari sana, sekali lagi ia memeluk Mevin sebelum keluar dari rumah Jeremy kala itu, “I believe that God will protect Mevin and bless this family, papa sayang Mevin.” Jovian berbisik lirih pada Mevin, ia bisa merasakan Mevin mengangguk di pelukannya.

Mobil yang menjemput Jovian sudah tiba, Jovian benar-benar hengkang dari sana. Lambaian tangan keluarga Adrian mengiringi sampai mobil Jovian benar-benar keluar dari pekarangan rumah mereka.


Mevin yang tengah memainkan ponselnya di kamar, dihampiri Lea yang membawa satu lembar polaroid.

“Mevin belum tidur?” tanya Lea saat memasuki kamar anaknya itu.

“Eh, Mama. Belum, Ma.” Mevin menaruh ponselnya. Lalu Lea pun duduk di sebelah Mevin dan memberikan polaroid itu.

Mevin menerima dan melihat polaroid itu, di baliknya, Lea menuliskan sesuatu, “Kesayangan Mama Petra” tulisan itu ditulis tangan oleh Lea dan sempat membuat Mevin terdiam beberapa saat.

“Ma…” lirih Mevin sambil menatap Lea.

“Papa Jo nya Mevin, sama Mevinnya Mama Petra dan Papa Jo. Mama Petra dari surga pasti senyum lihat kalian,” kata Lea sambil mengusap pipi Mevin.

Tanpa kata, Mevin memeluk Lea dan mengucapkan terima kasih. Lea memeluk anak yang ia besarkan sejak lahir itu. Petra, ibu kandung Mevin harus merelakan nyawanya saat melahirkan Mevin dan ada banyak kejadian yang membuat Jovian menyerahkan Mevin kepada Jeremy dan Lea.

“Mama Lea, makasih banyak.” Mevin berkata lirih.

“Sampai kapanpun Mevin anak Mama Lea, Papa Jeremy juga Papa Jo dan Mama Petra,” balas Lea lalu mencium kening Mevin.

Lea menangkup pipi Mevin dan melihat mata anaknya itu berkaca-kaca, “Mevin..” kata Lea.

“Ma, makasih buat semuanya. Dari lahir, Mevin nggak pernah tahu wajah Mama Petra. Setiap ditanya sosok Mama, yang ada di pikiran Mevin ya nama Mama Lea sama Mama Petra. Tapi, paras yang Mevin lihat Cuma Mama Lea aja. Panjang umur Mama, Mevin sayang banget sama Mama Lea.” Butiran kristal bening mulai jatuh membasahi pipi Mevin, bohong kalau Lea juga tidak tersentuh, bohong kalau Lea tidak merasakan hatinya berdesir.

“Mama juga sayang Mevin, sayang banget.” Lea memeluk anaknya itu, kalau mau bertaruh pun sekarang Lea dan Mevin sama sama meneteskan air mata. Tanpa mereka sadari, ada Jevin yang melihat dari balik pintu kamar Mevin. Tangan Jevin sempat meremas ujung kaosnya sendiri, menahan air mata juga yang mengantre. Tapi, Jevin pun meyakinkan dirinya untuk melangkah masuk ke sana.

“Mama.. Mevin..” kata Jevin saat mendekat.

Lea pun membuka satu lengannya, “sini, Mama mau peluk kembar. Anak kembar Mama, Jevin sama Mevin.”

Tanpa babibu lagi Jevin langsung bergabung dan ikut memeluk Lea dan juga Mevin. “Mama sayang kembar.” Ucapan Lea dibalas Jevin, “I love you too.

Tidak peduli lahir dari rahim siapa, bagi Lea, Jevin dan Mevin adalah anugerah untuknya, juga Lauren tentu saja. Keluarga ini terbentuk dan bertahan karena berbagai badai dan cobaan yang silih berganti. Dan keluarga ini masih bertahan sampai sekarang karena mereka berjanji untuk saling menolong dan mengasihi. Mevin tahu, Mevin mengerti definisi RUMAH yang sesungguhnya ia dapatkan di keluarga ini. kasih yang Lea dan Jeremy berikan untuk anak-anaknya tidak akan pernah habis dan tergantikan oleh apapun juga. Begitu juga yang dirasakan Mevin dan Jevin. Sejauh apapun mereka dipisahkan, yang Jevin dan Mevin tahu, mereka adalah saudara kembar satu sama lain, sampai kapanpun, selamanya.

Cathrine yang mendapat pesan tidak mengenakkan dari Eugene beberapa hari ini pun memutuskan untuk menemui Eugene. Persetan apakah Eugene ada di rumah atau tidak, yang Cathrine mau sekarang ia harus ada menemui Eugene dan saling bicara empat mata perihal hubungan mereka.

Cathrine pun memesan taksi online dan menuju ke rumah Eugene. Benar saja sampai di kediaman kekasihnya itu, suasana nampak sepi, mobil orang tua Eugene memang tidak ada tapi Cathrine melihat ada motor Eugene di sana.

Cathrine pun mencoba menekan bel, tidak ada jawaban, gerbang itu terkunci dari dalam. Cathrine beberapa kali menyerukan nama Eugene tapi hasilnya juga nihil. Sementara itu di dalam rumah, Eugene ada di sana, Eugene ada di dalam, Eugene sedang berada di rumah itu seorang diri.

Eugene melihat dari balik jendela kekasihnya itu memekikkan namanya berulang kali, tapi Eugene memilih pergi dari sana dan masuk ke kamarnya. Eugene merebahkan dirinya di atas tempat tidur lalu meraih ponselnya yang sedari tadi berdering, beberapa pesan dan panggilan tidak terjawab ia dapat dari Cathrine tapi Eugene mengabaikannya, ia memejamkan mata dan bergelut dengan pikirannya sendiri.

Eugene tidak ingin hal buruk menimpa Cathrine karena ulahnya. Eugene paham berapa banyak ujaran kebencian dan cibiran yang Cathrine terima selama ini, bagaimana tidak, yang Eugene lakukan pernah terjun ke dunia gelap sampai harus menjalani rehabilitasi juga berdampak pada Cathrine yang sering direndahkan orang sekitarnya, dan Eugene tidak bisa mengontrol itu semua.

Gemuruh di langit mulai terdengar dan perlahan rinai hujan turun dan mulai deras. Eugene melirik ponselnya lagi, tidak ada lagi pesan atau panggilan dari Cathrine. Pikiran Eugene berkata mungkin Cathrine sudah tidak ada di depan gerbang rumahnya lagi, Eugene pun bangkit berdiri dan melihat dari jendela kamarnya, Cathrine masih tetap di sana, mata Eugene membulat melihat kekasihnya itu belum beranjak dari sana dan membiarkan tubuhnya diguyur hujan deras. Eugene pun langsung mencari payung dan keluar dari rumahnya itu. Mendengar suara pintu yang dibuka, Cathrine tersenyum lega apalagi melihat Eugene keluar dari rumah itu, air mata Cathrine luntur dibarengi air hujan tapi tidak dengan senyumannya, senyum pedih yang ia paksakan saat Eugene tiba di hadapannya.

“Kamu ngapain hujan-hujanan kayak gini?!” bentak Eugene saat sudah ada di depan Cathrine sambil memayungi Cathrine.

Tangan Cathrine yang sudah kedinginan dan sedikit bergetar pun meraih pipi Eugene perlahan dan menangkup pipi kekasihnya itu, “you okay?” tanya Cathrine lembut. Eugene menggigit bibirnya dan menahan napasnya yang mulai memburu. Bagaimana bisa Cathrine menghawatirkannya disaat ia sendiri mengabaikan Cathrine? Akhirnya Eugene pun menarik tangan Cathrine, ia mengajak Cathrine masuk ke rumahnya, tapi tanpa sepatah kata pun. Sampai di teras rumah Eugene, Cathrine melepaskan genggaman tangan Eugene lalu menghentikan langkahnya yang membuat Eugene juga berhenti dan berbalik badan menatap Cathrine sehingga keduanya kini saling berhadapan.

“Kenapa?” tanya Eugene datar. Cathrine hanya diam dengan tubuh yang sudah basah kuyup menatap Eugene dengan nanar, matanya sembab dan air matanya masih mengalir.

“Ayo kamu keringin badan kamu dulu, ganti baju di dalem.” Eugene hendak menarik tangan Cathrine lagi tapi Cathrine menghempaskan tangan Eugene kasar.

“Kamu kenapa?” tanya Cathrine dengan suara berat.

“Ganti baju dulu, Cathrine.”

“Kamu kenapa, Eugene?”

“Cathrine, kamu udah basah gini!”

“KAMU KENAPA SELALU NGAJAK UDAHAN?! KAMU TUH KENAPAAA!!” Jerit Cathrine sampai tenggorokannya tercekat, dadanya naik turun karena menangis di hadapan Eugene.

“Kenapa selalu nyerah sama keadaan? Kenapa selalu minta udahan? Kenapa?!! Bahkan sekalipun aku nggak pernah minta untuk udahan! Selama kamu rehab aku selalu ada, bahkan sampai kamu selesai aku masih disini!” Cathrine memukul dada Eugene dan menangis.

“Justru karena itu! KARENA ITU!” balasan Eugene membuat Cathrine sedikit memicingkan matanya.

“Karena kamu terlalu baik sama aku tapi banyak hal nggak baik dateng ke kamu setelah aku rehab! Komentar negatif dan juga cibiran itu dateng ke kamu kan? Udah lah, aku yang lihat aja capek gimana kamu! Lepasin aku, Cathrine!” lanjut Eugene.

“Kamu gila ya? Cuma karena itu? Mau apapun yang terjadi juga aku nggak akan korbanin hubungan kita! Atau kamu emang mau pisah? Udah nemu yang lain? Iya? Atau kenapa!!” Cathrine kepalang emosi dan mencengkeram kerah baju Eugene. Eugene terdiam dan hanya saling menatap tajam dengan Cathrine.

“Jawab aku! Bilang sama aku kalau kamu nggak cinta lagi sama aku! Bilang sama aku sekarang, tatap mata aku, bilang gitu!” Eugene gemetar, tenggorokannya tercekat, bagaimana bisa ia mengatakan itu saat ini?

Cathrine semakin gemetar, sedikit menggigil menahan dinginnya hujan yang menusuk tulang-tulangnya, tangannya yang mencengkeram baju Eugene perlahan terlepas namun ia masih memegang baju Eugene dan tertunduk, Cathrine terisak sampai punggungnya bergetar hebat.

“Kalau kamu nggak di samping aku lagi siapa yang nemenin aku? Kalau kamu minta udahan nanti siapa yang bikin aku lupa sama perilaku Ayah ke aku? Kalau Ayah mau sakitin dan kasarin aku lagi siapa yang bakalan…” ucapan Cathrine menggantung karena kini ia mendongakkan kepalanya dengan matanya yang sudah merah itu, pandangannya menembus hati Eugene, “siapa yang bikin aku ngerasa masih pantas hidup?”

Hati Eugene sangat sakit seketika mendengar penuturan Cathrine itu, ia tersadar bagaimana ia berulang kali melihat Cathrine disakiti oleh Ayahnya dan berapa kali Cathrine menangis hebat di pelukannya. Akhirnya Eugene sadar, sikapnya salah besar. Ia hanya menambah luka baru di hati Cathrine, Eugene pun langsung memeluk Cathrine erat.

“Aku nggak akan pergi, maaf. Maafin aku, aku janji nggak akan pergi.” Eugene berbisik lirih dan memeluk tubuh Cathrine erat. Cathrine menangis hebat seketika di pelukan Eugene, “aku sayang kamu… aku sayang kamu, Eugene.” Eugene mengangguk dan mencium pipi kekasihnya itu.

“Jangan pergi.” Cathrine memohon.

“Nggak akan pernah. Nggak akan, aku janji.” Tangan Cathrine pun perlahan mendekap Eugene erat, Eugene sadar bahwa ia membutuhkan Cathrine dan ia harus melindungi Cathrine karena banyak hal yang sudah Cathrine korbankan untuknya juga.

“I love you,” bisik Eugene di telinga Cathrine. Keduanya meneteskan air mata dan saling merengkuh, saling berjanji tidak akan pergi dan bertahan sekuat tenaga sampai akhirnya karena keduanya masih saling mencinta.

Eugene yang sedari tadi ada di depan sekolah Michelle mulai resah karena guru kelasnya berkata bahwa Michelle sejak pagi tidak terlihat. Hari ini adalah hari dimana orang tua murid mengambil hasil belajar atau rapot anak mereka. Sedangkan sejak pagi sebenarnya ada acara untuk anak murid sendiri yang sudah disusun oleh OSIS sekolah tersebut. Pagi tadi, jelas Eugene mengantar Yoel dan Michelle sampai di depan gerbang sekolah. Tapi, wali kelas Michelle berkata kepada Eugene saat Eugene tiba di kelas Michelle sekitar pukul sembilan untuk mengambil rapot bahwa sejak pagi tadi Michelle tidak muncul.

Hal itu membuat Eugene pusing bukan kepalang. Tidak mungkin ia menelepon Mamanya yang sedang mengambil rapot Yoel saat ini. Ponsel Michelle bisa ia hubungi, bisa dilakukan panggilan tapi Michelle tidak mengangkatnya. Puluhan kali Eugene menelepon Michelle tapi tidak ada jawaban.

Eugene pun melangkahkan kakinya ke sekitaran parkiran sekolah bahkan ke sekitaran luaran sekolah untuk mencari adiknya itu. Rapot tidak bisa dibagikan kalau murid yang bersangkutan tidak ikut hadir karena ada beberapa hal yang harus dibicarakan langsung kepada sang anak dan di depan orang tua atau wali murid.

Eugene berlari kecil mencari di sekitar sekolah Michelle, “dek, kamu kemana?” gumam Eugene cemas. Akhirnya Eugene coba untuk menenangkan dirinya sendiri dahulu. Ia membuka ponselnya, mencari kontak Papanya lalu ia menekan tombol panggilan tanpa pikir panjang.

“Pa, ini Eugene, sekarang Eugene di sekolah Michelle tapi Michelle nggak ada padahal dari pagi udah Eugene anter. Ini sekarang rapot Michelle nggak bisa diambil kalau anaknya nggak ikut. Gimana ya, Pa? Mama lagi ambil rapot Yoel.” Eugene nerocos di panggilan itu. Sampai akhirnya panggilan dimatikan dengan keputusan Jevin akan turun tangan mencari Michelle.

sekitar tiga puluh menit kemudian…

Sebuah mobil berhenti tepat di depan Eugene yang masih ada di depan sekolah Michelle. Jevin turun dari mobil itu dan mobil itu langsung melaju lagi, Eugene kaget bukan main sudah ada Papanya disana.

“Papa!” seru Eugene. Jevin pun langsung memeluk anak sulungnya itu, sebongkah besar kerinduan di hati Eugene ataupun Jevin lebur seketika. Kalau boleh jujur entah Eugene ataupun Jevin hampir menangis saat memeluk satu sama lain.

“Papa… Eugene kangen Papa…” bisik Eugene lirih. Jevin pun merenggangkan pelukan lalu memegangi kedua pundak anaknya itu.

“Michelle mana? Belum ketemu?” tanya Jevin. Eugene menggelengkan kepalanya. Pandangan Eugene sebenarnya sempat tertuju kepada punggung tangan Papanya itu ada plester di punggung tangan Papanya. Tapi belum sempat Eugene bertanya, Jevin sudah sedikit berlari untuk mencari keberadaan anak bungsunya itu. Eugene pun mengurungkan niatnya terlebih dahulu.

Beberapa pesan juga dikirimkan Letta kepada anak sulungnya itu menanyakan apakah rapot Michelle sudah diambil atau belum. Eugene memilih untuk tidak membalasnya dulu, ia tidak ingin Mamanya juga ikut panik.

Tapi satu hal membuat Eugene benar-benar kaget, ia melihat Papanya berjalan sambil menggandeng Michelle. Eugene melihat Michelle dengan mata sembab dan hidung merah. Eugene pun langsung menghampiri dan menghalangi jalan Papa dan adiknya itu.

“Cel, dari mana?!” tanya Eugene panik sambil mencengkeram pundak adiknya itu.

Michelle memalingkan wajahnya enggan menatap kakak laki-lakinya itu dan hanya memeluk lengan Papanya. “Tadi ada di minimarket deket sini, biar Papa aja yang ambil rapot Michelle. Eugene tunggu ya, oke?” kata Jevin lembut sambil mengusap pundak Eugene. Anak sulungnya itu pun menurut saja. Sedikit kelegaan bisa Eugene rasakan kali ini.

Tidak lama kemudian, Jevin sudah kembali menghampiri Eugene bersama Michelle dan menenteng rapot milik Michelle. Raut wajah Michelle juga sudah berbeda, terlihat lebih sumringah.

“Udah ambil rapotnya?” tanya Eugene sambil mengacak poni adiknya itu dengan gemas. Michelle mengangguk antusias dan tersenyum. Eugene pun tersenyum lega, ia memberikan kunci mobil kepada Michelle, “ke mobil duluan, gih,” katanya.

Michelle hanya menatap bingung.

“Koko mau ngomong sama Papa dulu.”

“Ya.” Michelle menjawab dengan singkat lalu menuruti apa yang kakak laki-lakinya itu katakan.

“Pa,” panggil Eugene lirih.

“Ya?”

“Papa sakit?”

Jevin menggeleng.

“Papa habis diinfus? Papa sakit apa? Jangan bohong sama Eugene, wajah Papa juga masih pucat.”

Jevin tidak bisa mengelak.

“Papa nggak apa-apa.” Jevin mencoba tersenyum lalu merangkul anaknya itu untuk kembali ke mobil Eugene.

“Papa jangan sakit, makasih Papa udah datang kesini ambil rapot Michelle. Tapi Papa jangan sakit lagi.” Eugene berkata dengan suara yang bergetar. Tangan Jevin bergerak mengusap punggung anak sulungnya itu tapi saat sudah sampai di samping mobil, Eugene malah menghentikan langkahnya lalu menyeka air matanya.

“Pa, kenapa Papa nggak bilang kalau lagi sakit? Eugene tahu kalau Papa udah kayak gitu pasti habis diinfus kan?” tanya Eugene.

“Nak..”

“Apa susahnya jujur sih, Pa?”

“Papa baik-baik aja.”

Eugene mendecih, “bahkan sekarang Papa jelas-jelas lagi bohong.”

“Papa nggak kenapa-kenapa.” Jevin tersenyum.

Eugene menunduk dan mendesis pedih, “kita anak-anak Papa nggak berhak tahu apa gimana kalau Papa sakit?” lantas Eugene mendongak perlahan menatap Jevin dengan nanar.

“Bukan gitu,” sanggah Jevin.

Ternyata suara keduanya didengar Michelle, anak perempuan itu keluar dari mobil lalu langsung menghampiri Jevin, Michelle memeluk Papanya itu. Seketika, Eugene pun hanya bisa terdiam.

“Tadi Michelle pergi nggak ikut kegiatan sekolah karena Michelle nggak mau koko terus yang ambil rapot Michelle. Semua anak diambil orang tuanya. Tapi tadi Michelle juga lihat tangan Papa kayak bekas infus. Maafin Michelle kalau Michelle ngerepotin Papa. Maafin Michelle ya, Pa. maafin Michelle ya, Ko Eugene…” anak perempuan itu berkata dengan linangan air mata yang tidak bisa lagi dibendung. Jevin pun hanya bisa memeluk anaknya itu, sedangkan Eugene sibuk mengerjapkan mata ke sembarang arah agar ia tidak menangis juga.

Tapi yang Jevin lakukan malah membuka satu lengannya lagi menawarkan dekap bagi anak sulungnya juga. Maka saling memeluklah mereka bertiga saat itu. Pelukan seorang ayah yang mereka rindukan sejak perpisahan Jevin dan Letta kini kembali lagi. Bertahun-tahun silam, Jevin dan Letta berpisah, tapi tidak bercerai, tidak tinggal satu atap lagi, karena kesepakatan mereka berdua dan ada hal-hal yang Jevin lakukan yang menyakiti hati Letta.


Akhirnya, Eugene tiba di rumah tentu saja masih bersama Michelle dan Papanya. Sementara Letta dan Yoel sudah ada di rumah usai mengambil rapot milik Yoel. Saat Eugene, Michelle dan Jevin keluar dari mobil, langkah Jevin terhenti, seperti ragu hendak masuk ke rumah yang pernah ia tinggali itu, rumah dimana ia membesarkan ketiga anaknya dan membina rumah tangga bersama Letta. Langkah Jevin terasa berat karena seketika semua kenangan masa lalu lewat begitu saja di pikirannya.

“Pa, ayo.” Michelle menarik tangan Papanya itu. Akhirnya Jevin hanya bisa pasrah, langkah kaki mulai memasuki rumah itu. Letta dan Yoel yang ada di ruang tamu sontak kaget bukan main melihat Jevin ada di sana bersama Eugene dan Michelle. Letta sempat terdiam di tempat sementara Yoel langsung bangkit berdiri dan berlari menghampiri Jevin dan langsung memeluk Papanya itu.

“Papa… papaa!” Yoel antara senang dan terharu, matanya berkaca-kaca saat memeluk Papanya itu. Jevin juga membalas pelukan anak tengahnya itu. Dalam hitungan detik kini ketiga anak Jevin itu memeluk Jevin di depan mata Letta. Sedangkan Letta masih berdiri membeku di tempatnya, kakinya terasa lemas saat sempat beradu tatap dengan mata Jevin yang juga berkaca-kaca saat menatapnya. Letta meremas ujung bajunya dan perlahan berjalan mendekat.

Saat pelukan sudah direnggangkan, Jevin mencium puncak kepala ketiga anaknya bergantian. “Papa, Yoel kangen Papa.” Yoel berkata dengan raut wajah terharu. Jevin mengusap pipi Yoel dan mengangguk.

“Papa sakit, habis dari IGD diinfus tapi langsung ke sekolah Michelle tadi.” Eugene menyeletuk yang membuat Yoel dan Letta membulatkan matanya.

“Papa sakit apa?” tanya Yoel panik.

“Nggak apa-apa. Cuma lagi rendah aja tensinya terus sering pusing kayak mau pingsan, but it’s okay papa baik-baik aja.” Jevin menjawab dengan membubuhi senyum tipis.

“Aku udah bilang kamu jaga kesehatan dulu.” Letta berkata sambil berbalik badan hendak kembali duduk di sofa.

“Ini buat anak-anak. Anak aku, anak kita.” Ucapan Jevin seketika membuat Letta seakan ingin meledak dalam tangis saat itu juga.

“Icel mau sama Papa, tapi Icel mau sama Mama juga. Icel mau sama Papa, Mama, Ko Eugene sama Ko Yoel,” ucap Michelle lirih.

“Michelle.” Letta berbalik badan sambil menatap tajam anaknya itu.

“Libur sekolah kali ini, biarin Icel sama Papa boleh, Ma?” tanya Michelle dengan sedikit perasaan takut.

“Yoel juga.” Anak tengah Jevin dan Letta itu menambahkan.

“Eugene juga, Eugene temenin adik-adik.” Eugene angkat bicara.

Letta tidak tahu harus berkata apa, sementara Michelle hanya memeluk Jevin terus sedari tadi.

“Kalian tetap disini aja temenin Mama, biar Papa yang sering-sering dateng kesini, ya?” ucap Jevin kepada ketiga anaknya itu.

“Bohong, bulan kemarin Papa bilang gitu juga tapi sekalipun Papa nggak pernah kesini,” sanggah Yoel.

“Ma, kali ini bolehin kita ikut Papa. Selama liburan aja, katanya Mama sama Papa tetap jadi orang tua kita semua? Selama ini kita udah sama Mama, nggak salah kan kalau sekarang mau sama Papa? Papa sendirian selama ini, Papa sakit nggak ada kita yang nemenin. Boleh ya, Ma?” Yoel memohon kepada Mamanya itu sambil meraih tangan Mamanya.

“Tiga hari,” ucap Letta singkat.

“Maaa….” Ketiga anak Letta itu menggerutu.

“Udah nggak apa-apa biar Papa aja yang kesini, udah Eugene, Yoel sama Michelle tetap disini aja sama Mama.” Jevin memotong pembicaraan.

“Ma, kita udah nemenin Mama terus selama ini. Papa sampai sakit pun nggak ada yang nemenin, kita juga mau ngerasain disayang Papa. Kita mau ngerasain kasih sayang Papa. Kita anak-anak Papa. Eugene, Yoel sama Michelle itu anak kandung Papa Jevin!” Nada bicara Eugene meninggi seketika.

“Eugene!” bentak Letta. Jevin berjalan mendekat ke arah Eugene lalu mencoba menengahi dan menenangkan anak sulungnya itu.

“Bisa kurangi ego Mama sedikit? Kita tahu Papa pernah lakuin kesalahan ke Mama, tapi sampai kapanpun hubungan anak dan orang tua nggak akan pernah hilang. Kita selalu nemenin Mama tapi kita nggak pernah bisa nemenin Papa. Kali ini aja… Eugene mohon… kali ini aja biarin Eugene sama Yoel sama Michelle ikut Papa selama libur.” Suara Eugene bergetar hebat bahkan air mata sudah jatuh di pipi Eugene. Jevin yang ada di depan Eugene hanya bisa tertunduk lesu.

“Yoel kangen Papa. Nggak boleh ya, Ma?” Yoel kini juga menangis saat melafalkan kalimatnya. Michelle hanya bisa bersembunyi di belakang tubuh Eugene sambil memegangi baju Eugene. Tangan Eugene pun bergerak perlahan merangkul dan memeluk Michelle di sebelahnya.

Jevin berbalik badan menatap Letta, “Letta, boleh ya kali ini? Nggak akan lama, aku juga mau tanggung jawabku sebagai ayah mereka nggak hilang gitu aja. Aku mohon,” katanya.

“Jev, kamu ngerti alasan aku nggak bolehin kali ini? Karena kamu lagi sakit! Bukan aku egois, aku mikirin kamu juga, aku mikirin kamu! Aku nggak mau sakit kamu makin parah apalagi harus urus anak-anak.” Letta mengucapkan kalimatnya dengan suara yang parau. Hati Jevin berdesir mendengar hal itu karena ia merasa Letta masih peduli terhadapnya. Ketiga anak mereka diam di tempat sibuk menyeka air mata masing-masing kali ini.

“Aku baik-baik aja, Letta. Kalau ada anak-anak aku malah bakalan baik-baik aja, sakitku salah satu penyebabnya karena aku kangen kalian. Aku butuh kalian.” Jevin mencoba tersenyum diatas air matanya. Sedangkan bibir Letta bergetar dan ia menggigit bibirnya saat beradu tatap dengan iris gelap Jevin. Tak lama, Letta pun mengangguk. Ketiga anak mereka itu pun memeluk Letta.

“Makasih Mama,” ucap Eugene, Yoel dan Michelle hampir bersamaan. Letta mencium pipi ketiga anaknya itu bergantian. Michelle pun sempat melepaskan pelukan lalu menarik tangan Jevin, mengajak Jevin bergabung untuk saling memeluk. Saat itu juga pecahlah tangisan Jevin, sosok ayah bagi Eugene, Yoel dan Michelle. Tidak ada kata cerai diantara Jevin dan Letta tapi keadaan tidak lagi sama. Jevin, Letta, Eugene, Yoel dan Michelle saling memeluk dan menumpahkan perasaan.

“Papa sayang kalian, maafin Papa nggak bisa kasih keadaan keluarga yang sempurna. Maaf…” ucapan lirih Jevin saat itu membuat derai air mata semakin deras diantara mereka. Walaupun perasaan Jevin dan Letta tidak lagi sama seperti dahulu kala, tapi tidak ada yang bisa memisahkan hubungan anak dan orang tua sampai kapanpun.

Letta yang baru saja keluar dari kamar sudah melihat Yoel duduk di sofa ruang keluarga sambil memainkan ponselnya. Tapi, saat Lea datang, Yoel langsung menyimpan ponselnya dan Letta duduk di sebelah Yoel.

“Mama mau ngomong apa sama Yoel? Mau marahin Yoel ya?” tanya Yoel.

“Emangnya Yoel bikin salah?” tanya Letta.

Yoel mengedikkan bahunya, “siapa tahu Yoel bikin salah tapi Yoel nggak sadar kalau itu salah.”

Letta tersenyum dan mengusap pundak anak tengahnya itu lalu berkata, “Mama cuma pengen denger kayak gimana sih cewek yang udah bikin Yoel jadi anak kalem ini?”

Perkataan Letta jelas membuat Yoel terbelalak dan terkejut untuk sesaat.

“Yoel nggak ganggu belajarnya dia dan sebaliknya kan?” tanya Letta lagi.

Yoel pun menjawab, “she is beautiful, kind and never give me any judgement, she has a bright smile and soft voice, like Mama.

Letta mengacak rambut Yoel sejenak, “bisa aja gombalnya anak mama ini!” katanya.

“Yoel, jangan pacaran dulu ya nak. Dia kelas dua belas, Yoel juga masih kelas sebelas, berteman deket aja dulu, mama nggak larang. Saling menyemangati buat belajar setiap hari, jangan diajarin aneh-aneh, Yoel juga jangan jadi lupa belajar atau jauh sama Tuhan. Ya?”

“Ma, we share about our daily life, we share laugh and even what’s pastor said at church haha,” kata Yoel sambil terkekeh.

Really?” tanya Letta tak percaya. Yoel mengangguk antusias.

She is a good person, bahkan setelah dia tahu kita sebenernya satu angkatan dia nggak malu dan nggak ngejauh. Yoel juga seneng deket sama dia as a close friend, she shared about her passion juga karena dia mau kuliah, walaupun Yoel belum kuliah kita bisa saling kasih advice satu sama lain,” kata Yoel dan ia tersenyum setelahnya.

Letta sedikit melongok menatap dan mendengarkan penuturan Yoel. ia tidak percaya bahwa anaknya bisa sesoft ini. Yoel yang penuh gebrakan dan banyak tingkah kini bisa sedewasa ini saat memiliki teman dekat.

“Yoel kalau punya pacar masih sayang mama nggak?” tanya Letta sambil sedikit cemberut.

“Masih lah, Mama jangan kayak gitu.” Yoel pun bergelayut manja memeluk Letta.

“Kalau Yoel udah nikah Yoel masih sayang Mama nggak?”

“Masih lah, Ma. Selamanya Yoel sayang Mama, Papa, Koko, Icel.”

Letta memeluk Yoel dan mencium puncak kepala Yoel beberapa kali, “anak Mama udah besar. Pokoknya tugas Yoel sekarang belajar dulu kan mau jadi calon Menpora, mau menang lomba-lomba lagi, kan?”

Yoel mengangguk.

“Perjalanan Yoel masih panjang, nggak papa buat jadi temen deket buat saling semangati belajarnya, asal jangan lupa belajar, jangan jadi jauh sama Tuhan, jangan jadi main mulu dan harus sama-sama jadi dampak baik. Ya? Promise?” kata Letta.

Yoel mendongak dan mengangguk lalu memeluk Mamanya lagi.

“Anak pinter,” kata Letta lalu menepuk pelan punggung Yoel.

“Yoel hari ini nggak berulah kan?” tanya Letta sambil merenggangkan pelukan. Yoel menggeleng.

“Yoel hari ini nggak bikin masalah di sekolah kan?” tanya Letta lagi.

“Yoel udah nggak pernah bikin onar di sekolah, Ma.” Anak lelaki itu tersenyum.

“Aduhhh ini anak Mama beneran kan ya, jadi kalem banget gini, Yoelllll….” Kata Letta sambil mencubit kedua pipi Yoel.

Yoel hanya pasrah lalu berkata, “tapi bolehin naik motor lagi ya?”

Letta melepaskan cubitannya lalu bangkit berdiri, “nggak, kamu harus dianter jemput dulu.”

“Mama….” Yoel merengek sambil mengikuti langkah Letta dan menggoyangkan lengan Mamanya itu. Letta hanya menggeleng.

“Mama… Please…

No, Yoel.”

“Mamaaaa…”

“Yoel.” Letta menghentikan langkah lalu berkacak pinggang.

“Iya… iyaa… tapi Mama atau Koko aja yang jemput jangan Papa.”

“Lah kenapa?”

“Buku pelajaran Yoel sama worksheet selalu diperiksa setiap jemput, dilihat nilainya satu-satu, males bangett…” kata Yoel sambil menghentakkan satu kakinya dan membuat kesan sedikit gemas.

Letta mengacak rambut Yoel lagi, “ya udah besok Mama atau Koko deh yang jemput.”

“Yess!!!!” Yoel girang.

“Tapi kasih lihat yang mana cewek itu, hehe,” kata Letta sambil mencolek hidung mancung Yoel.

“Mamaaaaa…..”

Beverly yang sudah tahu dimana Yoel mengikuti bimbel dan kapan jadwal Yoel pun sengaja menunggu di dekat tempat bimbel itu. Menurut jadwal yang Beverly simpan, Yoel akan selesai sekitar sepuluh menit lagi. Anak laki-laki itu biasanya akan keluar lalu menaiki sepedanya untuk pulang ke rumah. Beverly bolak balik mengecek ponselnya namun pesannya belum juga dibalas oleh Yoel.

Akhirnya saat itu benar saja, beberapa anak nampak keluar dari tempat bimbel itu, Beverly berjalan ke sana dengan sedikit terburu-buru karena sudah melihat Yoel keluar dari sana.

“Yoel!” pekikan Beverly didengar Yoel yang sedang berjalan hendak ke area parkir sepedanya. Yoel sadar betul bahwa itu adalah suara Beverly tapi Yoel tidak menoleh ia tetap berjalan.

Sampai akhirnya, “aww!” rintihan seseorang didengarnya dan membuat Yoel berbalik badan, Yoel melihat Beverly terjatuh di tanah maka dengan cepat Yoel menghampiri gadis itu lalu berlutut di depannya.

“Astaga, pelan-pelan lain kali,” kata Yoel sambil membantu Beverly berdiri dan membantu Beverly berjalan dan duduk di bangku yang ada di sana. Yoel masih belum menatap Beverly tapi tangannya sibuk merogoh tasnya mencari plester yang selalu ia sediakan di tas.

“Yoel,” kata Beverly sambil menahan tangan Yoel.

Yoel melongok menatap Beverly, “Apa?” tanya Yoel.

“Tadi ngomong apa, kamu kalau ngomong sama lihat lawan bicara, aku nggak denger.” Beverly sedikit berbohong, sebenarnya ia mendengar apa yang Yoel katakan tapi Beverly hanya ingin Yoel menatapnya.

Yoel menoleh ke kanan kiri sebelum menatap Beverly sejenak dan berkata, “lain kali hati-hati.”

Beverly pun membiarkan Yoel menempelkan plester luka di lututnya sampai akhirnya Yoel duduk di sebelah Beverly dan bertanya, “ngapain kesini?”

“Ngapain cuekin aku?” kata Beverly.

“Kenapa nggak balas chatku? Kenapa kalau di sekolah kayak orang nggak kenal?” tanya Beverly lagi.

“You already know kan kalau aku nggak naik kelas?”

“Ya and then why?”

Yoel mengernyit, “terus nggak malu atau gimana?”

Beverly menggeleng, “ngapain malu? Itu kan udah lewat, and now kamu udah jadi ranking paralel, terus juga juara satu menpora cup cabang olahraga taekwondo, ikut aktif di lomba olahraga, apa yang harus bikin malu, yo?” Yoel terdiam sejenak, entah dari mana Beverly mengetahui itu semua.

“Tahu dari mana?” tanya Yoel.

“Yoyo kepo!” ledek Beverly.

Yoyo, Beverly masih memanggil Yoel dengan nama panggilan itu.

“Aku salah apa sama kamu, Yo? Kenapa diemin aku?” tanya Beverly.

“Aku malu waktu kamu tahu semua tentang aku yang nggak naik itu.”

“Tapi kan itu udah lewat, kamu udah ganti dengan prestasi kamu yang sekarang. Kamu tuh harus pede kalau kamu yang sekarang beda sama yang dulu, Yoyo yang sekarang itu membanggakan!” kata Beverly dengan penuh senyum.

“Kamu beneran nggak malu temenan sama aku even udah tahu tentang semua ini kan?” tanya Yoel.

Beverly menggeleng.

Yoel bangkit berdiri, ia mengulurkan tangan kepada Beverly.

“Aku anterin pulang dulu kamunya, bisa jalan kan?”

Beverly menggenggam tangan Yoel dan berdiri, “sepeda kamu gimana?” tanya Beverly. Yoel menoleh ke kanan dan kiri dan melihat salah satu temannya, ia berlari ke sana dan nampak berbicara sebentar sementara Beverly menunggu Yoel di sana.

Yoel kembali lagi dengan senyum cerah, “sepedaku aku suruh bawa temenku, kebetulan rumahnya di gang rumahku juga jadi biar dia bawa ke rumahku sekalian. Aku anterin kamu.”

“Kamu nanti pulangnya?”

“Gampang, bisa naik ojol,” balas Yoel. Beverly dan Yoel pun akhirnya berjalan beriringan, obrolan kecil mulai terjalin lagi, senyum dan tawa di wajah Yoel kembali bisa Beverly lihat.

“Yo, jangan cuek lagi ya? Nggak ada yang salah sama kamu. Okay?” kata Beverly sambil berjalan dan sesekali menatap Yoel. anak lelaki itu mengangguk, Beverly pun menghentikan langkah, mengacungkan jari kelingking kepada Yoel, “promise?” tanya Beverly, Yoel menghentikan langkahnya juga lalu menautkan jari kelingkingnya dengan Beverly dan mengangguk. Tawa dan senyum di wajah keduanya terulas sangat cerah, “iya, janji,” kata Yoel.

“Tapi kaki kamu masih sakit nggak?” tanya Yoel lagi. Beverly menggeleng.

“Lain kali jangan lari-lari, jangan sampai jatuh lagi, jang⎯” belum selesai Yoel mengatakan kalimatnya Beverly sudah mengangguk cepat , “iya, Yoyo.. iyaaa.” Kalau boleh jujur di dunia ini yang memanggil Yoel dengan sebutan “YOYO” mungkin hanya Beverly. Hal kecil itu kembali mengundang senyum di wajah Yoel lagi.

Jevin yang panik keluar dari mobil mengambil langkah cepat dan langsung mencari keberadaan Yoel di rumah. Jevin melihat di kamar, di ruang makan dan di ruang tamu tapi ia tidak menjumpai Yoel sama sekali. Akhirnya Jevin mendengar lantunan petikan gitar di halaman belakang, benar saja Yoel ada di sana sedang memainkan gitar. Jevin pun berdiri di dekat Yoel dan berkacak pinggang di sana.

“Papa?” Yoel kaget.

“Kok tiba-tiba udah disini?” lanjut Yoel sambil menaruh gitarnya.

Tapi Jevin tidak menjawab, tangan Jevin langsung menarik satu lengan Yoel dan melihat benar saja ada tatto di sana. “Siapa yang ngajarin tattoan?!” bentak Jevin. Yoel kaget bukan main.

“Siapa yang nyuruh tattoan?!” bentak Jevin lagi. Yoel bangkit berdiri dan menghela napas panjang meski sedikit banyak ketakutan bermukim di dalam hatinya.

“Pa, bercanda. Ini nggak permanen,” kata Yoel sambil tersenyum.

“Bohong!”

Yoel memutar bola matanya, “beneran, ini digosok kenceng tunggu berapa hari deh ini udah ilang,” Yoel mencoba meyakinkan Papanya itu.

“Papa gundulin kamu kalau nggak ilang, Papa sita motor kamu sama Papa nggak kasih uang jajan pokoknya!”

Yoel menggerutu, “banyak amat hukumannya...”

Jevin menunjuk Yoel dengan telunjuk sambil berkata, “biar kamu nggak berulah.”

“Ini tattonya temporer aja karena lagi libur, beneran, kalau minggu depan ini nggak hilang semua hukuman itu boleh dilaksanakan,” ujar Yoel pasrah. Jevin menghela napas kasar dan menggelengkan kepalanya.

“Papa panik lagi makan siang sampai papa tinggal cuma mau jewer kamu kalau beneran ini tatto permanen tau nggak?!”

“Maaf, Pa…” Yoel sedikit cemberut setelahnya.

Yoel menunjukkan tatto di lengannya, “walaupun nggak permanen ini ada artinya tattonya, Papa mau tahu nggak?” katanya.

Jevin pun duduk di kursi yang ada di sana diikuti Yoel, Jevin menyandarkan tubuhnya, jantungnya sudah hampir copot dan hampir saja ia akan menjewer anaknya itu tapi fakta yang didapat adalah bahwa itu tatto temporer. Jevin hanya berdeham malas, masih sedikit kesal dengan tingkah iseng Yoel yang mengerjainya tapi pada akhirnya ia juga tetap mendengarkan penuturan Yoel itu.

“Ini gambar Papa, Mama, Ko Eugene, Yoel sama Icel.” Tutur Yoel, saat nama Eugene disebut maka berdesir pedihlah hati Jevin sebagai seorang ayah. Mata Jevin mengarah ke tatto di lengan bagian atas Yoel itu, Jevin menelan ludah saat melihat karakter keluarganya tertuang dalam bentuk kartun di sana. Terlihat menggemaskan dan bagus.

“Yoel…” Jevin menyela.

“Yoel kangen Ko Eugene. Yoel mau ketemu Ko Eugene tapi nggak bisa.” Nada bicara Yoel melemah setelahnya.

“Yoel…”

“Yoel mau ketemu Ko Eugene, nggak bisa, ya?” mata Yoel berkaca-kaca setelahnya. Tangan Jevin mengepal dan ia menahan dadanya yang terasa sesak.

“Tatto ini nggak permanen, bukan untuk seterusnya. Tapi Yoel nggak tahu sampai kapan lagi Yoel bisa ketemu Ko Eugene…. Sakit, Pa… sakit.” Air mata Yoel jatuh mengiringi kalimat yang ia ucapkan. Jevin pun langsung memeluk anaknya itu. Tidak perlu menunggu beberapa detik, saat Jevin memeluk Yoel, tangisan keras langsung menggema di sana, terlebih saat Jevin menepuk-nepuk punggung Yoel. Anak lelaki itu menangis terisak hebat bahkan untuk mengucapkan kalimat saja ia terbata-bata.

“Jangan nangis, nggak boleh nangis.” Jevin berbisik lirih meski matanya juga sudah panas kali ini.

“Harusnya waktu itu Yoel cegah Ko Eugene pergi, harusnya waktu itu Yoel nggak marah sama Ko Eugene, harusnya waktu itu Yoel temenin Ko Eugene.” Yoel masih menangis dan meremas baju Papanya itu.

“Udah nak, udah. Yoel yang tenang nggak boleh kayak gini terus.” Jevin mencoba tenangkan anak tengahnya itu.

Yoel memberontak tapi Jevin tetap menjaga Yoel di pelukannya, Yoel masih meronta sampai akhirnya Yoel jatuh terduduk ke lantai, Jevin ikut berlutut di depan anaknya itu, mata dan hidung Yoel memerah, bibirnya masih bergetar.

“Yoel,” lirih Jevin.

Yoel mengarahkan matanya menatap Papanya kali ini, Yoel menatap Jevin tajam, “harusnya waktu itu Yoel nggak bolehin Ko Eugene pergi, harusnya Yoel tahu Koko kenapa, Pa!” jerit Yoel sampai tenggorokannya tercekat.

“Nak, Papa juga sama, banyak hal yang Papa sesali banyak sekali hal yang Papa sayangkan selama ini. Papa juga nggak pernah nyangka Ko Eugene akan coba hal-hal gelap itu dan nyimpen semua sendiri, Papa nggak bisa maafin diri Papa sendiri yang lalai.” Jevin mencoba sedikit lebih tegar meskipun hatinya masih babak belur pasca kepergian Eugene.

Tangisan Yoel sedikit reda setelahnya, Yoel menatap Papanya itu lalu berkata, “Papa.. maaf…” katanya pelan.

Jevin pun langsung memeluk Yoel lagi, mata Jevin memejam, air matanya mengalir, “Papa juga sedih. Papa juga sedih, nak… Papa juga hancur, Papa juga mau ketemu semua kembali seperti semula lagi.”

Mendengar tangisan lirih Papanya itu, Yoel tidak bisa bendung kesedihan yang tiada terukur itu. “Yoel janji sama Papa nggak coba-coba hal yang gelap, ya? Janji ya nak? Kalau ada apa-apa bilang ke Papa. Kejadian Eugene bikin Papa nggak bisa maafin diri Papa sendiri. Papa nggak mau semua terulang.”

Yoel mengangguk dan mempererat pelukannya itu. “Ko Eugene bakalan pulang kan, Pa?” tanya Yoel lagi.

“Iya, pasti pulang. Ko Eugene pasti pulang.”

END Nahloh Eugene kenapa wkwkwk jawabannya Cuma ada di novel Broken Vessel nanti yang bakalan rilis tanggal 25 Agustus 2023 so stay tune terus sama keluarga huru hara ini ya <3

Langkah kaki para tamu undangan beradu saat mereka semua keluar dari hall tempat wisuda dilakukan. Hari ini, Raymond, Xander dan Jacob diwisuda dan resmi lulus dari kampus ini tentu dengan nilai yang memuaskan. Vanessa dan Shannon sudah berada di luar menunggu kekasih mereka datang. Benar saja, tidak lama Raymond, Jacob dan Xander muncul dengan toga kebanggaan mereka. Raymond langsung menghampiri Shannon, Jacob menghampiri Vanessa dan semua mata tertuju pada Xander.

“Kering amat gue nggak ada yang nyamperin.” Xander menggerutu.

“Haha, bohong banget. Katanya tadi nunggu seseorang?” timpal Jacob sambil merangkul Vanessa.

Tiba-tiba, “Xander!” pekik seseorang dari arah belakang mereka, semua yang ada di sana menoleh melihat seorang perempuan dengan tinggi yang hampir menyamai Xander berjalan dengan rok lilit batik dan atasan bermodel off shoulder membawa sebuah bouquet bunga dan rambutnya terurai panjang dengan poni yang menghias.

“Akhirnya dateng,” kata Xander. Semua menganga melihat wajah yang tak asing itu.

“Hai Raymond, hai Jacob hai pasangan Raymond sama Jacob!” sapa perempuan cantik itu lalu tangan Xander melingkar di pinggangnya.

“Salam kenal, aku Clarice,” perempuan itu tersenyum ramah dan menjabat tangan semua teman Xander itu.

“Ini Clarice yang artis itu?!” Jacob kaget bukan main mulutnya menganga sampai Vanessa mengatupkan dagunya.

Xander dan Clarice hanya tersenyum dan tersipu malu-malu. Benar, kekasih Xander adalah seorang artis yang wajahnya muncul di beberapa iklan, maupun video klip.

“Xander peletnya kenceng banget anjir!” seru Raymond yang langsung mendapat jitakan di kepala dari Shannon.

“Kaga pake pelet blegug!” Xander menepuk keras pundak Raymond.

“Kok nggak pernah ngomong kalau punya gebetan?” tanya Vanessa.

“Iya, gue diumpetin, katanya Xander nanti aja kalau udah lulus, gitu. Padahal kan pengin kenalan sama kalian,” kata Clarice.

“Gue Shannon!” kata Shannon sambil berjabat tangan dengan Clarice, “Gue Vanessa!” kata Vanessa setelahnya.

“Nice to know you Vanessa and Shannon!” Clarice nampak sumringah.

“Berarti kita bisa triple date dong habis ini?” kata Jacob.

“Why not?” Xander mengangkat alis. Akhirnya hari itu ditutup dengan mereka yang menikmati makan bersama untuk merayakan kelulusan. Sampai setelahnya mereka kembali dengan pasangan mereka masing-masing.

Hal itu berlaku juga bagi Shannon dan Raymond, mereka kembali ke apartemen Raymond tapi sebenarnya ada satu kejutan yang sudah Shannon siapkan bagi Raymond tanpa sepengetahuannya. Shannon bekerja sama dengan Justin tentu saja. Raymond masih menggenggam tangan Shannon dan masuk ke apartemennya, baru selangkah Raymond melangkahkan kaki, “CONGRATS!!” riuh suara tepukan tangan dan dekorasi sederhana menghias ruang tamu apartemen Raymond kala itu.

“Papi… Mami… Justin?” Raymond heran bukan main. Genggaman tangan itu terlepas seketika karena kini Raymond memeluk Papi dan Maminya bergantian dan tak lupa juga Justin.

“Selamat anak Mami udah wisuda,” kata Mami Raymond sambil memeluk dan mencium anak sulungnya itu.

“Sukses terus ke depannya semua doa yang baik buat kamu pokoknya!” kata Papi Raymond juga sambil memeluk anaknya itu. Giliran Justin yang memberi selamat, “selamat ya abang! Ikut seneng, semoga dapet kerjaan yang sesuai passion biar bisa ngelamar kak Shannon, hehe,” kekeh Justin lalu dibalas tonjokan pelan di lengannya. Semuanya hanya terkekeh. Sampai akhirnya Mami Raymond buka suara sambil berjalan mendekat ke arah Shannon, “semua ini idenya Shannon, dia yang dekor ini sama Justin, Shannon yang telepon Papi sama Mami pakai handphone Justin biar dateng kesini. Beruntung banget kamu dapet pacar yang pengertian dan baik gini.” Mami Raymond merangkul Shannon yang membuat Shannon tersipu.

“Shan, kalau Raymond aneh-aneh atau bikin kamu nangis jangan segan lapor ke Om, ya?” ucap Papi Raymond sambil terkekeh. Shannon mengangguk-angguk dan membalas senyum. Suasana kala itu sangat hangat. Suasana ini yang Raymond rindukan dan Shannon bisa mewujudkannya tanpa Raymond minta. Kesepian Raymond selama ini terbayar karena ia bisa berjalan beriringan bersama Shannon, dan berkumpul bersama keluarga tercintanya di moment berharga ini.

Kesendirian Shannon juga kini digantikan dengan kehadiran Raymond yang menjadi kekasihnya dan juga ada Justin yang sudah Shannon anggap seperti adiknya sendiri. Shannon diterima keluarga Raymond dan juga sebaliknya. Syukur kepada Tuhan yang tiada terhingga mereka semua panjatkan. Sesaat kemudian mereka hanyut dalam obrolan ringan setelah makan malam bersama, membicarakan satu sama lain, membicarakan rencana libur kali ini, membicarakan tentang Justin yang mulai memilih jurusan kuliahnya dan lain sebagainya.

Shannon yang duduk bersebelahan dengan Raymond hanya tersipu malu, namun perlahan Shannon rasakan Raymond meraih sebelah tangannya di bawah meja, jemarinya diraih lembut dan mesra. Keduanya saling bertatapan sesaat sebelum diam-diam menautkan jemari mereka satu sama lain dan bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa lalu melanjutkan obrolan itu. Raymond semakin erat menggenggam tangan Shannon seiringan dengan semakin eratnya ia menggenggam hati sang puan untuk selamanya.


Dua tahun selanjutnya....

“Selesai pendidikan S2 aku nggak mau nunda, tunangan ya?” sang tuan menawarkan sebuah janji yang langsung dibalas anggukan antusias dari sang puan pemilik hati. Hari penuh rindu akan dilewati entah dipendam sendiri entah akan dibagi. Hari-hari dilewati dengan menunggu dan terus merindu. Kali ini Shannon dan Raymond tengah berada di mobil, satu tangan Raymond ia gunakan untuk menyetir satu tangannya ia biarkan digenggam sang puan.

“Berapa puluh tahun ya kita bisa berdua, Shan?” pertanyaan random dari isi Raymond memang kadang sering muncul tiba-tiba. Raymond merapalkan pertanyaan itu sambil sesekali memandangi Shannon yang masih menggenggam satu tangan Raymond. Tak jarang sesekali Raymond mencium juga punggung tangan kekasihnya itu.

Shannon memutar bola matanya lalu menoleh menatap kekasihnya dan berkata, “Berapa puluh tahun itu kurang, mungkin lebih tepatnya selamanya nggak sih?” Mendengar hal itu Raymond tersenyum lalu melayangkan satu kecupan lagi di punggung tangan kekasihnya dengan lembut. Keduanya saling menatap sesaat sebelum kemudian tertawa kecil dan membuang pandangan ke luar jendela. Raymond memang tidak pernah main-main dengan gadisnya, perihal menunggu selama beberapa tahun pun selalu ia nanti. Cintanya tidak kemana-mana, rasa yang menyekap hatinya selalu diam dan tidak pernah beranjak―tidak akan pernah pergi.

Untuk menjajaki cerita selanjutnya bertukar duka saling merengkuh nestapa meski jatuh untuk kali ke sekian meski dkhianati dan disakiti untuk kali ke sekian karena akan menghantarkan pada satu kebahagiaan. Keluarga, sahabat, pasangan sejatinya titipan untuk menemani jalannya cerita kita agar selaras dengan skenario Tuhan. Terima kasih untuk cinta dan sayang serta waktu yang telah diluangkan untuk cerita Raymond dan Shannon ini yang masih banyak kekurangan, karena ini hanya selingan selama naskahan Broken Vessel dimana aku udah stress banget butuh yang ringan-ringan jadi aku membuat AU ini. Akhirnya cerita yang jauh dari ekspektasi dan kesempurnaan ini berakhir disini. Sampai bertemu di cerita selanjutnya. Akan ada banyak kekurangan nantinya but still i did my best as always. Terima kasih manusia manusia kuat dan hebat! Pelukku untuk kalian!

Cheers, awnyaii

Shannon dan Raymond kini sudah tiba di apartemen yang Raymond huni sendiri ini. Raymond pun memeprsilakan Shannon masuk ke sana. Tapi langkah kaki gadis itu sedikit ragu dan sedikit takut sampai akhirnya Raymond mengunci pintu dan Raymond menyuruh Shannon untuk duduk di sofa yang ada di sana.

“Kenapa? Santai aja.” Raymond berkata sambil membuka pintu kamar lalu menyalakan lampu kamarnya lalu ia menyusul Shannon duduk di sofa.

“Malu hehe,” kata Shannon.

“Malu sama siapa? Aku sendirian disini,” balas Raymond sambil membelai rambut Shannon.

“And what will we do?” tanya Shannon. Raymond mengacungkan jari kelingkingnya, “aku mau benerin laptop dulu.” Shannon mengangguk-angguk.

“Aku mau masakin kamu makanan, aku mau nonton film sama kamu, aku mau nurutin kemauan kamu, kalau kamu udah seneng dan capek baru aku anterin pulang.” Raymond mengatakannya sambil membuka satu per satu jarinya sampai lima jarinya terbuka dan ia tersenyum. Shannon terkekeh lalu mengangguk-angguk, “okay siap, aku temenin kamu deh benerin laptop kamu dulu, sana diambil.”

Raymond pun berjalan ke kamar, mengambil laptopnya lalu kembali lagi, Raymond duduk di karpet dan Shannon di sofa, Raymond duduk di depan Shannon sehingga Shannon bisa merengkuh Raymond dari belakang dengan posisinya yang tetap duduk di sofa.

Raymond mulai mengotak atik laptopnya dan Shannon memperhatikan dengan seksama. Shannon kadang memainkan rambut kekasihnya itu, memeluk Raymond dari belakang dan mengambil foto mereka berdua yang membuat Raymond gemas.

“Shan, bosen nggak nemenin aku gini? Kalau mau delivery makanan nggak papa, kamu pilih aja pakai handphoneku.” Raymond berkata sambil terus fokus ke laptopnya.

“Belum laper, mau masakan kakak aja nanti hehe.”

“Kakak?” Raymond menoleh.

“Mau masakan kamu aja, sayang.” Shannon berkata lembut sambil mengusap pipi Raymond. Demi apapun juga, Raymond yang memancing, Raymond juga yang salah tingkah. Status keduanya sudah berubah memang, sudah menjadi sepasang kekasih.

“Sayang semangat.” Shannon berbisik di telinga Raymond. Bibir Raymond terlipat, ia hanya mengangguk-angguk saja, jangan sampai Shannon melihat wajah salah tingkahnya kali ini, Raymond memohon dalam hati. Shannon juga kadang bersenandung lirih sambil memainkan ponselnya dengan satu tangannya sementara satu tangannya yang lain sibuk mencubit pelan pipi Raymond.

Lelah berkutat dengan laptopnya, Raymond menyandarkan tubuhnya ia memejamkan mata dan memijit keningnya dengan jari tangannya.

“Pacar aku capek ya? Aku ambilin minum dulu,” kata Shannon lalu beranjak ke dapur untuk mengambilkan minum untuk Raymond. Shannon kembali dengan membawa sebotol juice dan gelas yang sudah ia isi dengan juice itu lalu ia memberikannya kepada Raymond, keduanya pun duduk bersandar di sofa.

“Aku punya banyak bahan makanan karena aku kalau nggak beli makan ya aku masak sendiri, kamu mau dimasakin apa?” tanya Raymond. Shannon pun nampak berpikir, “beef?”

Raymond mengangguk, “ada kok.”

Shannon menggeleng cepat, “eh jangan, masak indomie aja!” Raymond menjitak kepala kekasihnya itu, “makan yang sehat! Kamu kemarin habis sakit perut gitu masa mau makan indomie yang bener aja lah.” Raymond sewot sementara Shannon mengerucutkan bibirnya. Tapi tiba-tiba ponsel Shannon berdering, Shannon melihatnya, sebuah pesan dari Papanya yang mengatakan bahwa Shannon tidak diperbolehkan menonton konser.

“Ah, nyebelin!” gerutu Shannon sambil menyimpan ponselnya lagi.

“Heh, kenapa tiba-tiba?” tanya Raymond.

“Papa nggak bolehin aku nonton konser.”

“Dimana?”

“Malaysia.”

“Besok lagi aja sama aku. Aku dukung Papa kamu hehe,” kata Raymond sambil mencubit pelan hidung kekasihnya. Shannon pun bersandar di tubuh Raymond dan merengek di sana, “aku galau nggak bisa ikut temen-temen, galau, pokoknya sedih,” katanya yang mengundang Raymond menjadi gemas.

Next kita ke konser bareng, yang lebih lebih, konser apa selanjutnya? Mau konser atau festival apa?” tanya Raymond.

“Aku galau pokoknya galau,” kata Shannon merengek lalu merenggangkan pelukan. Raymond mengusap pundak Shannon lembut.

“Shannon?” tanya Raymond pelan.

“Apa?”

“I also can make you scream like on the festival, haha,” goda Raymond.

“Jorok pasti pikirannya kesana kesini kesana kemari membawa alamat, huh!” dengus Shannon kesal.

Hal itu dibalas Raymond dengan tertawa lalu menciumi pipi Shannon bertubi-tubi.

“AAAAA!!!” Jerit Shannon.

“Tuh kan udah teriak kayak nonton konser.” Raymond terkekeh. Sempat menolak dan menjauhkan tubuhnya, Shannon didekap Raymond seketika. Membuat Raymond semakin mudah menciumi pipi dan wajah kekasihnya itu. Shannon sempat menahan tubuh Raymond sejenak tapi setelahnya Shannon pun meraih pipi Raymond dengan satu tangannya, dibelainya lembut lalu diarahkannya wajah Raymond kepadanya. Satu kecupan mesra mendarat di dahi Raymond dari Shannon, Raymond membuka matanya, kini ia menatap Shannon dengan tatapan datar.

“Pacar siapa yang genit? Pacar aku!” kata Shannon berbisik.

“Ya biarin kan genit ke kamu, udah jangan sedih-sedih lagi ah, gantinya konser aku ajak jalan-jalan, deh.” Raymond berkata sambil membenarkan posisinya tidak lagi bersandar di sofa, ia menundukkan wajahnya agar sedikit sejajar dengan kekasihnya itu. Shannon langsung mengambil posisi merangkul dan merengkuh pundak Raymond.

Really?” tanya Shannon, Raymond mengangguk dan tersenyum. Raymond merenggangkan pelukan Shannon dan mengisyaratkan Shannon agar duduk di pangkuannya. Shannon mengiyakannya dan duduk di pangkuan Raymond.

“Aku udah kunci pintu,” bisik Shannon manja.

“Emang mau ngapain?” kata Raymond sambil memeluk melingkarkan tangan di pinggang Shannon.

“Katanya setiap masuk kesini langsung kunci pintu, gimana sih?” Shannon bangkit berdiri namun Raymond menahan pergelangan tangan Shannon. Wanita itu menatap Raymond sesaat, pandangannya mengikuti pergerakan Raymond yang saat ini berdiri di hadapan Shannon. Raymond sedikit menunduk, Shannon meraih dagu Raymond dan membuat Shannon sedikit mendongak. Tangan kanan Shannon membelai pipi Raymond lembut, tangan kirinya merapikan rambut Raymond yang sedikit berantakan.

I love you,” ucap Raymond lirih.

Raymond melingkarkan tangannya di perut Shannon. Shannon mengangguk dan langsung membuat Raymond memeluknya. Shannon membenamkan wajahnya di dada bidang Raymond.

“Sekarang aku nggak kesepian lagi karena ada kamu. Makasih udah mau jadi pacarku dan nemenin aku, sekarang aku udah nggak akan ngerasa kesepian dalam hal apapun lagi. Tadinya aku sendiri, apa-apa sendiri, nggak ada tempat berbagi sekarang ada kamu.” Raymond berbisik.

“*I will always be there for you kok.” Balasan dari Shannon itu mengundang ulasan senyum dari Raymond. Mereka yang saling memeluk itu kemudian saling menatap dan Raymond pun langsung menggendong Shannon bak anak kecil dan membawanya ke kamar Raymond.

“Sayang, mau ngapain?!” tanya Shannon panik. Tapi Raymond hanya diam dan membawa Shannon duduk di kursi meja komputernya. Shannon duduk di pangkuan Raymond namun tidak menghadap ke Raymond. Shannon meraih sebuah figura yang terpasang di meja computer Raymond. Foto itu adalah foto keluarga Raymond, Shannon meletakkannya lagi.

“Papi, Mami, Aku sama Justin.” Raymond bergumam, sambil menempelkan wajahnya di lengan kekasihnya.

“Boleh nggak kalau suatu saat ada aku?” kata Shannon, Raymond pun memajukan posisinya lalu menyandarkan kepalanya di punggung Shannon dan memeluk perut Shannon.

“Iya, dong wajib ini hukumnya,” suara Raymond yang berat menusuk rungu Shannon.

“Haha, semoga kita bisa ada di tahap itu.”

“Pasti bisa,” balas Raymond, kini Shannon memutar posisinya ia menghadap ke arah Raymond, bibir Shannon melengkung sedih saat menatap kekasihnya itu.

“Eh, kenapa kok sedih?” tanya Raymond. Kedua tangan Shannon pun menangkup pipi Raymond, lalu Shannon menghela napas panjang dan menggeleng.

“Kenapa cantiknya Raymond kok jadi sedih mendadak?” tanya Raymond lagi.

“Kamu pasti selama ini sedih ya kalau pulang, nggak ada siapa-siapa. Aku aja yang anak tunggal ada Mama sama Papa di rumah tetep ngerasa sepi banget kadang. Gimana kamu yang bener-bener sendiri. Are you okay with that? I mean really okay?” Raymond tersenyum dan mengangguk, ia memegangi kedua pergelangan tangan kekasihnya itu, salah satu punggung tangan Shannon juga Raymond kecup sejenak.

“Yang penting sekarang ada kamu.” Raymond tersenyum. Shannon pun langsung memeluk kekasihnya itu, Raymond membalasnya erat.

“Disini bebas ya peluk kamu nggak kayak di rumahku ada cctv dimana-mana, hehe,” bisik Shannon iseng.

“Dasarrr!” kata Raymond sebelum menghujam pipi Shannon lagi dengan ciuman beberapa kali. Shannon dan Raymond terkekeh bersama saling memeluk dan bercanda, menghabiskan waktu berdua di sana, untuk pertama kalinya di apartemen Raymond, tentu saja dengan status yang sudah jadi milik satu sama lain.