ADRIAN'S
Setiap anak diciptakan istimewa dengan kehebatan dan keunikannya masing-masing, Juga dengan sifat dan karakter yang berbeda. Tapi setiap anak juga memiliki beban tersendiri, entah anak pertama, kedua atau ketiga, anak terakhir, anak tengah dan lainnya. Di keluarga Adrian, Lauren adalah anak perempuan pertama, cucu perempuan pertama.
Kedua adiknya memang bukan kembar secara kandung, banyak cerita di belakangnya. Tapi cinta Lauren sebagai seorang kakak adalah tulus adanya. Malam ini terasa dingin bagi Lauren meski ia masih mendengar hangatnya petikan gitar dari kedua adiknya. Jevin dan Mevin memang belum terlelap malam itu. Keduanya menghabiskan malam di halaman belakang rumah mereka sembari bermain gitar. Tapi, Lauren tak menunjukkan kehadirannya.
Bahkan saat makan malam pun Lauren hanya mengambil makan lalu masuk ke dalam kamarnya. Jevin dan Mevin merasa ada sesuatu yang aneh dan tidak berani bertanya kepada Lauren. Jika Lauren sudah diam, saudara kembar ini tidak ada yang berani menunjukkan tingkah aneh-anehnya. Terlebih, terakhir kali di sekolah, Jevin dan Mevin terlibat perkelahian dan Lauren yang melihatnya harus ikut ke ruangan BK juga sebelum Jeremy datang.
Sejak saat itu, Lauren lebih banyak diam, biasanya Lauren berangkat entah berboncengan dengan Mevin atau Jevin, tapi sudah beberapa hari ini Lauren memilih untuk naik ojek online, Lauren juga menolak diantar oleh Jeremy, papanya.
“Jev, Cici kenapa, sih?” tanya Mevin saat menaruh gitarnya lalu bersandar di sofa. Jevin yang masih sibuk memetik gitar hanya mengedikkan bahu.
“Coba gue lihat ke dalem bentar,” kata Mevin lalu beranjak. Jevin masih tetap di sana bersenandung lirih sementara Mevin beranjak ke dalam rumah mengecek keadaan Lauren. Mevin coba ketuk pintu kamar Lauren tapi tak ada jawaban, mata Mevin juga mengarah ke meja makan, makanan yang diambil Lauren hanya dimakan sedikit bahkan sangat sedikit tidak sampai separuh. Mevin mencoba berjalan mendekat ke arah kamar Lauren, Mevin menempelkan telinganya di pintu kamar kakaknya itu, Mevin tidak mendengar apa-apa hingga ia mendengar isakan pelan dari dalam sana. Mevin kaget, tapi ia langsung berlari ke halaman belakang dan menghampiri Jevin.
“Jev, Jev... Cici ...” kata Mevin sambil menepuk-nepuk pundak Jevin yang membuat jevin menaruh gitar dan berbalik badan menatap Mevin.
“Cici kenapa?”
“Kayaknya nangis deh, makanannya nggak dimakan, Jev. Coba lu ketuk pintunya deh, gue takut,” ucap Mevin.
“Aduh gue kok jadi takut juga, bareng aja deh, ya?” tanya Jevin yang akhirnya diiyakan oleh Mevin. Langkah demi langkah terpijak, meski dengan sedikit keraguan di dalam hati Jevin dan Mevin tapi keduanya yakinkan langkah sampai tiba di depan kamar Lauren. Jevin langsung menempelkan telinga di pintu, tapi ia tidak mendengar apa-apa.
“Kok sepi?” tanya Jevin dengan nada berbisik, Mevin pun mendekat, ia juga mendengarkan dengan saksama tidak ia dengar apapun dari dalam kamar kakaknya itu. Tapi tiba-tiba, kenop pintu kamar Lauren terbuka, Jevin dan Mevin kaget bukan main, mereka tersentak dan langsung salah tingkah saat Lauren keluar dari kamar, tapi Lauren tidak menggubris kedua adiknya itu, Lauren berjalan tanpa melirik Jevin ataupun Mevin. Lauren menuju halaman belakang, sedangkan Jevin dan Mevin masih di ambang pintu kamar lauren.
“Lo lihat muka Cici?” tanya jevin mendekat ke arah Mevin.
“Pucet, matanya sembab, hidungnya merah.“Mevin berkata dengan lesu.
“Samperin jangan?” tanya Mevin, keduanya saling bertatapan dan saling berpikir sejenak hingga akhirnya keduanya sepakat mengangguk, mereka pun berjalan mengendap menuju ke halaman belakang, tapi betapa terkejutnya Jevin dan Mevin saat melihat apa yang dilakukan Lauren di sana.
Suara tangisan seketika menggema, Lauren berjongkok sambil melipat tangannya di lututnya, Lauren menangis sampai punggungnya bergetar hebat. Jevin dan Mevin membeku di tempat, akhirnya setelah sekian detik, Jevin mengambil langkah dan mendekat ke arah Lauren diikuti Mevin. Jevin dan Mevin duduk di rumput sambil tangannya menyentuh pundak Lauren,, hal itu malah menambah kencang isakan Lauren.
“Ci, kenapa? Cici kenapa?” tanya mevin pelan.
“Ci, jangan nangis ...” Jevin kini angkat bicara, Lauren masih terisak hingga beberapa saat kemudian, Lauren mengangkat wajahnya, melihat kedua adiknya sudah duduk di sisi kanan dan kirinya.
“Ci ... kenapa?” tanya mevin lagi.
“Capek, gue capek!” Lauren berkata dengan penuh penekanan. Jevin dan Mevin langsung tertunduk.
“Kalian yang berulah gue yang kena marah kadang tuh, tapi gue juga sadar kadang gue kurang baik, kurang care sebagai kakak. Gue sendiri harus merhatiin lo berdua, tapi gue kadang lupa sama diri gue sendiri. Papa sering nanya ke gue tentang kalian, tapi Papa lebih sering nanyain tentang kalian daripada nanya keadaan gue. Kalau kalian bikin ribut yang ditanya pertama tuh gue, yang denger keluhan papa itu gue duluan bukan kalian yang bikin onar. GUE BOLEH CAPEK NGGAK SIH?!” Hal itu dikatakan Lauren dengan linangan air mata tanpa henti, Meski terbata-bata karena tangisan, tapi Lauren tetap selesaikan kalimatnya.
Mevin dan Jevin merasakan jantung mereka dihuns pedang bermata dua.
“yang nanya gue kadang cuma Mama, yang dipanggil guru pertama kalau kalian berulah di sekolah ya gue, BARU PAPA SAMA MAMA! YANG PEDULI SAMA GUE SIAPA? SIAPA?!” Lauren tertunduk lagi, Mevin dan Jevin merasakan mata mereka panas.
“Cici maafin gue maafin kita, ci... maaf, maaf kalau kita lalai, maaf kalau kita bikin cici capek.” Jeviin mencoba meraih tangan Lauren.
“Ci, maaf kalau kita bandel, maaf kalau kita nggak pernah peduli sama lo, ci ...” Mevin mengucapkan kalimatnya lalu memeluk sosok kakaknya itu. Lauren tambah menangis saat merasakan Jevin juga ikut memeluk dari sisi satunya. Tak bisa berbohong, Jevin dan Mevin juga menangis di sana. Akhirnya ketiganya saling memeluk,s aling mengcapkan kata maaf juga saling mencurahkan perasaan yang tulus bagi satu sama lain.
Tanpa disangka ternyata malam itu bersamaan dengan kedua orang tua mereka yang baru saja pulang. Kepulangan Jeremy dan Lea dipercepat karena semua urusan sudah selesai. Maka saat mereka memasuki rumah suasana terasa sepi, Jeremy dan Lea juga sempat heran. Biasanya ketiga anaknya berkumpul di ruang tengah. Tapi kali ini Jeremy dan Lea melihat ke setiap ruangan hingga mereka melihat ketiga anaknya sedang berada di halaman belakang, dengan posisi saling memeluk bertiga. Jeremy dan Lea dibuat kebingungan.
“Kenapa?” tanya Lea berbisik. Jeremy menggeleng pertanda tidak tahu hingga akhirnya kedua orang tua Lauren dan kembar itu pun mendekat ke arah anak mereka.
“Cici, Jevin, Mevin …” suara Jeremy langsung membuat ketiganya bangkit berdiri dan mengusap air mata mereka.
“Kenapa?” tanya Jeremy sambil memegang pundak Lauren dan sedikit menunduk menyejajarkan pandangannya. Sementara Lea ada di tengah Jevin dan Mevin.
“Anak-anak Mama kenapa?” tanya Lea tapi Mevin dan Jevin hanya menggeleng.
“Lauren kadang capek, Lauren mau ditanya juga keadaanya, mau diperhatiin juga kayak kembar. Apa lauren gagal jadi kakak?” kata Lauren dengan terbata-bata sambil menatap Jeremy.
“Maaf Lauren childish..” sambung Lauren lagi, tapi setelahnya Lauren menangis di hadapan papanya. Hal itu membuat Jeremy memeluk anaknya itu sigap.
“Maafin Papa, maaf kalau Papa kadang nggak perhatiin Lauren. Maafin Papa kalau kesannya cuma perhatiin kembar. Sayangnya Papa ke kalian itu sama. Sama, nak … Cici udah jadi kakak yang baik, terima kasih ya, nak, ya … Papa juga sayang banget sama Lauren.” Jeremy melafalkan kalimatnya yang membuat Lauren semakin menangis di pelukannya.
“Cici itu kakak terbaik, Ma,” ujar Mevin sambil memeluk Mamanya dari sisi kanan.
“Jevin yang kadang bandel bikin Cici capek,” ujar Jevin dan memeluk Lea dari sisi kiri. Lea pun memeluk kedua anaknya itu. Kepala Mevin dan Jevin diusap lembut, pipi Jevin dan Mevin dikecup lembut.
“Anak Mama baik semua, anak mama adalah anak anak terbaik yang Tuhan titipkan.” Lea berbisik sambil masih memeluk Jevin dan Mevin.
Pagi harinya, saat Lauren bangun, di meja belajarnya sudah terseda sepiring nasi goreng, segelas susu dan dua lembar kertas. Lauren beranjak untuk melihatnya.
Untuk Cici Ci, makasih udah jadi kakak terbaik. Ci, makasih udah peduli sama gue sama Mevin dan makasih udah mengesampingkan kepentingan dan kebahagiaan lo demi kita. Ci, gue selalu berdoa buat lo di setiap malem, buat keluarga kita, tapi khusus buat lo gue minta sama Tuhan lo nanti dikasih pasangan hidup yang seiman, sepadan, sejalan dan bisa atreat you like a queen, karena lo berhak atas itu semua. Semoga Tuhan kasih kebahagiaan berlimpah buat lo Ci. Semoga Tuhan juga ubah hati gue biar bisa kuat dan sebijak lo ya ci.. panjang umur, sukses terus, ci.. gue sayang lo hehe. With love, Jevin
For Cici Lauren
Ci, pernah denger nggak kalau pendidikan pertama yang kita dapet itu dari orang tua? Pendidikan yang utama kita dapetin di rumah. And i get it here, di keluarga ini, bukan cuma dari Papa sama Mama tapi dari lo. Ci, makasih udah ngajarin banyak hal ya, ci makasih udah jadi garda terdepan kalau gue sama Jevin berulah di sekolah. Ci, capek ya? Cici mau ngeluh nggak papa, ngeluh ke gue gapapa ci.... gue janji bakalan lebih baik ke depannya, jangan bose jadi kakak gue. Jangan pernah mikir gue ga apeduli sama lo, Ci.. gue takut kalau lo sakit atau lo kenapa-kenapa. Kalau lo udah kunci kamar, udah diem aja gue suka overthinking. maksi udah lahir dan jadi cici gue. Ci hehe gimana ya ngomongnya, sounds weird maybe for you but i love you so much cilau. God loves you so do I. Best sister!! From your bro, Mevin
Saat Lauren hendak menaruh surat itu, tiba-tiba Jevin dan Mevin masuk karena pintu kamar yang memang terbuka. Keduanya langsung menghampiri Lauren dan memberi pelukan untuk kakaknya itu.
“We love you, Ci!” Jevin dan Mevin berkata dengan kompak. Lauren tersenyum haru lalu mengusap lengan Jevin dan Mevin dan membalas pelukan kedua adiknya itu.
“Gue juga sayang kalian, sayang banget!”