AIR MATA YANG JATUH KARENA KEJUJURAN MEVIN

Hati Grace bak dibilah belati usai melihat video singkat yang Mevin kirimkan itu. Di bawah jingga yang memudar, Grace masuk ke kamar mandi apartemennya, mencuci wajahnya lalu menatap cermin yang ada di sana. Ia belum menangis tapi dadanya sangat sesak. Bagaimana keadaan Mevin sekarang? Sesakit apa yang Mevin rasakan sekarang? Bagaimana mungkin Mevin kehilangan kemampuan menggerakkan bagian tubuhnya? Mengapa harus Mevin?

Pikiran Grace melanglangbuana dalam lamunannya yang membawanya ke antah berantah―jauh. Ia belum menemukan titik untuk dirinya kembali, ia baru saja merangkak hendak mengembalikan dirinya seperti sedia kala, tapi keadaan memaksanya jatuh lagi. Satu kenyataan pahit yang ia terima, berkas senyuman di wajah ayu Grace kini pudar. Sebuah tamparan keras untuk hidup dan dirinya seakan diberikan Sang Kuasa bertubi-tubi. Belum selesai ia dengan urusan batinnya, sekarang ditambah Mevin.

Grace menatap dirinya yang kacau dan kalut di cermin, ia ingin menangis meraung tapi tidak bisa. Sungguh, itu rasanya lebih menyiksa dari apapun. Maka Grace keluar dari kamar mandi lalu menuju tempat tidurnya, ia duduk di lantai dan bersandar pada tempat tidurnya, Grace meraih ponselnya, tangannya masih gemetar tapi ia beranikan diri untuk menelfon Mevin. Beberapa kali percobaan panggilan Mevin abaikan bahkan Mevin putus panggilan itu sepihak. Grace masih mencobanya, hingga akhirnya...

“Apa?” suara Mevin yang berat di seberang sana terdengar. Grace membeku, ia dengar suara kekasihnya sekarang, tunggu―entah keduanya masih bisa disebut sepasang kekasih atau tidak?

“You okay?” tanya Grace dengan suara gemetar. Mevin diam. Grace diam. Grace mengatur napasnya yang mulai berat, sementara Mevin terdengar gusar.

“Mevin ....” Grace sekali lagi memanggil lirih kekasihnya. Tidak ada jawaban beberapa detik hingga akhirnya Grace hanya mendengar suara isakan tangis pedih yang menyayat hati. Awalnya lirih, Grace gigit bibir bawahnya. Isakan di seberang sana terdengar lagi, isakan tangis jiwa Mevin yang rapuh pada akhirnya Grace dengar, Grace mengepalkan tangannya, jantungnya berdegup tak beraturan, sesak dan sakit.

“Aku mau sendiri,” kata Mevin di seberang sana, terdengar ia berpura-pura kuat. Tembok kokoh itu rubuh juga.

“Iya, sendiri dulu. Tapi kalau mau nangis nggak papa, jangan ditahan, jangan sendiri, jangan sakit sendiri―” Belum usai Grace dengan kalimatnya, sebuah raungan histeris dan tangisan keras terdengar jelas di telinga Grace. Maka saat itu juga air mata Grace turun tanpa komando. Dadanya sesak mendengar tangisan keras Mevin di telepon saat itu. Bibir Grace bergetar, tangan dan kakinya dingin seketika. Baru kali ini Grace mendengar Mevin sehancur ini di atas tangisannya, baru kali ini Grace merasakan sakit dan sesaknya Mevin. Sosok kuat dan berhati besar di hidup Grace itu kini juga rapuh, sakit, ada di titik terendahnya.

“Mevin―” PYARRR

Suara pecahan benda di sambungan telepon Mevin terdengar dan membuat Grace panik.

“Mevin!! Mevin!!”

“Arghhhhh!! Brengseekkk!!” jerit Mevin di sebelah sana sambil membanting barang-barang yang membuat Grace juga ketakutan. Tiba-tiba sambungan telepon itu terputus sepihak. Grace dengan tangannya yang dingin dan gemetar masih mencoba menghubungi Mevin lagi tapi Mevin menonaktifkan ponselnya. Grace kelimpungan bukan main, ia bangkit berdiri dan terus mencoba menelfon Mevin lagi tapi nihil. Saat itu juga Grace menangis, baru ia bisa menangis, ia belum pernah mendengar teriakan se depresi itu dari Mevin, ia belum pernah mendengar Mevin menangis sebegitu kerasnya. Grace bungkam mulutnya sendiri dengan telapak tangannya, ia membaringkan tubuhnya di tempat tidur dan memeluk guling dan menangis di sana seorang diri, tak ada yang bisa ia lakukan saat ini, entah berapa jam Grace menangis hingga ia tertidur di sana.