AKHIR PERTANDINGAN

Pada sore hari menuju senja di hari ke tujuh bulan tujuh, langit dengan sorot sinar jingga menemani langkah kaki seorang lelaki yang menggenggam bouquet bunga berwarna putih, sosok seorang pria berjalan dengan langkah pasti menuju sebuah pusara di kompleks peristirahatan terakhir itu. Dwinetra Jevin kini menatap lamat-lamat pusara di depannya, ia merindukan iris legam coklat gelap milik sang puan yang namanya terukir disini. Bibir Jevin mulai bergetar, ia berkata lirih, “selamat ulang tahun, sayangku. Udah bahagia ya? Udah bisa denger aku kan? Selamat ulang tahun, Eve.”

Hati Jevin porak poranda saat menaruh bouquet bunga berwarna putih itu, bulan ini punya kesan tersendiri untuk Jevin. Bulan kelahiran sosok yang sudah mengubah kehidupannya yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya, bulan lahirnya Eve, wanita yang sudah membuat hati Jevin bermuara. Jevin mendongak menatap langit lalu memejamkan mata, lalu perlahan menunduk, punggungnya bergetar pelan tapi bulir air mata sudah membasahi pipinya. Sukmanya rindu, raganya ingin memeluk sang puan. Sedih tak berkesudahan harus dibalut dengan rasa ikhlas yang harus diadakan.

Jevin yang berlutut itu kini menunduk hingga dahinya menyentuh gundukan pusara itu, tangannya meremas rerumputan hijau yang tumbuh rapih di sana, “Eve ... eve ... pulang sayang, pulang ...” nyatanya rasa sakit itu masih hinggap, tangan Jevin gemetar dan dingin seketika itu juga, tangisannya meraung, langit mendadak mendung seakan tahu jika Jevin menangis. Karena sesungguhnya, kepergian Eve bersifat selamanya, bukan sementara. Memang mengundang lara dan duka, melupakan dan melepaskan tidak semudah itu. Jevin ikhlas atas kepergian Eve. Jevin tidak bisa menyangkal takdir, baik di bulan ini atau bulan yang lain teka teki kehidupan tidak pernah ada yang tahu. Kepergian, kedatangan, bahkan kelahiran.

Rintik hujan turun hingga semakin deras, sedangkan Jevin masih di sana tertunduk dan seakan memeluk pusara itu. Tak lagi Jevin rasakan dingin yang menusuk tulang, tidak Jevin rasakan bajunya dan tubuhnya yang kini basah kuyup. Tangisannya memang luntur oleh air hujan, tapi antrean air mata di pelupuk matanya terus mengalir. Kerinduan Jevin kini sudah membumbung tinggi meledak dalam tangisan. Dalam pejam tangisnya, baying Eve muncul jelas, bayangan saat ia memeluk Eve, bayangan saat ia dan Eve menyenandungkan lagu bersama di ruang recital, bayangan saat Jevin memeluk Eve kala ia menangis, bayangan saat Eve mengajarinya sign language.

Tak lama, Jevin rasakan air hujan tak lagi membasahi tubuhnya, ia mulai menegakkan posisinya dan mendongakkan kepalanya. Seorang wanita berdiri disana dengan paying yang ia gunakan untuk memayungi Jevin dan membiarkan tubuhnya diterpa hujan.

“Letta?” ucap Jevin, pandangannya mengikuti Letta yang juga akhirnya berlutut di sebelahnya serta membuang paying yang tadi ia pegang.

“Jangan nangis terus, nanti Eve sedih,” kata Letta sambil menepuk pundak Jevin.

“Gue kangen dia,” jawab Jevin.

“Gue juga,” kata Letta sambil mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Di antara rintik hujan itu, Letta menaruh sebuah figura foto berukuran kecil di sebelah bouquet bunga yang Jevin bawa. Fotonya bersama Eve ada di sana.

“Happy birthday, Eve.” Letta tersenyum tipis setelahnya.

“Gue juga sedih tapi gue tahu, bagian penting dari hidupnya ada di gue, hati Eve juga ada di gue, Jevin. Kalau nggak ada Eve saat itu mungkin gue nggak ada disini sekarang. Eve yang selalu ada saat gue sakit, entah fisik atau hati. Dia udah kayak keluarga buat gue. Gue nggak akan bisa bernapas hari ini kalau nggak karena Eve,” lanjut Letta hingga yang tersisa hanya tangisan penuh kerinduan dari dua orang itu yang kian menggema.

“Eve pernah bilang ke gue, kalau Kak Jevin yang dia kenal sama Kak Jevin masa SMA itu sama, hanya hatinya yang beda, Eve bangga sama perubahan lo, Eve mau lo lulus dari Bussiness School dengan predikat baik, jadi ketua choir yang baik, dan jadi Jevin yang Eve kenal terus. Eve sayang banget sama lo,” kata Letta yang membuat Jevin meraung lagi sambil terus memeluk pusara itu.

Letta hanya bisa melingkarkan tangannya di punggung Jevin dan mengelus punggung Jevin berulang kali. Tangisan Letta juga tak terhindarkan, hanya tanpa suara. Raga Eve sudah terpendam, tapi jiwa Eve akan hidup selamanya. Segala asa dan harap tidak akan tenggelam dimakan waktu, meski berteman kepedihan. Kepergian tanpa pamit dan pertanda memang menghadirkan luka mungkin sepanjang usia. Yang perlu dilakukan hanyalah ikhlas. Lagipula kematian dan kepergian selamanya tidak akan mengakhiri cinta yang Jevin dan Letta punya untuk Eve. Tidak akan pernah.

Tujuh Juli kala itu Genevieve Agatha Elizabeth lahir. Tujuh Juli yang lain, Eve jatuh cinta kepada sang tuan pemilik hati. Tujuh Juli selanjutnya, Eve dan Jevin sudah saling memiliki. Di tanggal dan bulan yang lain, Eve mendapatkan kembali kasih sayang dari Ayahnya. Tujuh Juli tahun yang lain, Eve merayakan ulang tahunnya bersama orang-orang kesayangannya. Tujuh Juli yang lain, Eve sudah mewujudkan keinginannya untuk memiliki buku hasil tulisannya sendiri. Tujuh Juli hari yang lain, Eve berulang tahun lagi. Tidak akan pernah ada keriput di wajahnya, tidak akan pernah ada rambut putih di kepalanya, karena Eve kekal dalam keabadian. Selamat jalan dan terima kasih, Eve.

Perjalanan ini berakhir—