AKU ANAK YANG MENGECEWAKAN

Kenalkan, aku anak dari Papa dan Mama. Kalau boleh dibilang mungkin aku anak paling brengsek diantara Cici dan Mevin, keduanya saudaraku. Cici Lauren adalah kakak kandungku, sedangkan Mevin adalah saudara kembarku, tapi kami bukan saudara kandung. Silahkan bertemu di kisahku yang lain agar kalian mengerti mengapa aku dan Mevin bukan anak kandung Papa Jeremy dan Mama Lea.

Hari ini, waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam tapi aku masih berada di depan gerbang rumahku. Aku menunggu segenap keberanianku terkumpul untuk mengakui suatu hal yang menghancurkan hati keluargaku. Sungguh, aku merasa seperti sampah. Dosa apa yang belum aku jajal di usia tujuh belas tahun ini? Bahkan mungkin aku melakukannya sebelum usia tujuh belas tahun.

Merokok? Kenal dengan alkohol? Membolos? BK sudah jadi seperti tempat rutin untuk aku kunjungi. Melakukan hubungan sex dengan kekasihku? Ya. Aku melakukannya. Sejak pulang sekolah Aku memang sudah mengingatkan Mama agar menungguku pulang karena ada hal penting yang ingin aku katakan. Aku harap kekhawatiran Mama dan kecemasannya itu sirna kala matanya melihatku memasuki garasi. Mama menghela napas lega, aku melepas helm dan menenteng jaket serta tas dan memasuki rumah. Mama menyambut aku dan juga memelukku lalu mengajakku duduk di ruang tamu, namun ada yang berbeda dariku dan aku yakin Mama menyadarinya. Aku pulang dengan mata sembab dan mata yang sayu.

“Vin kamu kenapa?” tanya Mama sambil mendekati dan duduk di sebelahku, tangan Mama bergerak memeriksa wajahku dan memegang daguku lalu menggesernya ke kanan dan kiri guna melihat keadaan anaknya yang pasti sedang tidak baik-baik saja ini.

“Jevin jujur ke mama.” Saat Mama berkata dengan lirih saat itu juga Papa keluar dari kamar dan melihatku serta Mama yang nampak serius di ruang tamu, Papa pun melangkah mendekati kami berdua. Papa geram karena aku pergi tanpa ijin dan baru saja kembali bahkan pesan dan telepon dari Papa tidak digubris olehku seharian tadi. Aku takut, jangan beritahu Papa, ya?

“Dari mana kamu?!” kata Papa dengan nada membentak. Aku bangkit berdiri melihat Papa yang mendekatiku, Papa berjalan hingga ia kini ada di hadapanku yang menunduk.

“Ditanyain itu dijawab! Pergi malem terus, mau ngapain sih? Berantem di sekolah kan tadi? Bisa nggak sehari aja nggak bikin masalah?!” Aku bergidik tersentak mendengar ucapan Papa saat itu.

“Jangan keras-keras, Lauren sama Mevin nanti denger,” lerai Mama.

“Kamu jangan belain dia terus, kebiasaan!” nada Papa semakin meninggi.

“Jagoan kamu ya? Bonyok terus itu wajahnya, berantem terus, mau jadi jawara? Udah hebat sih ya?” Papa berkacak pinggang di hadapanku, seketika atmosfer terasa mencekam, aku tidak berbohong, aku belum pernah melihat Papa semarah ini.

Aku tidak menjawab, aku pun merogoh saku jaketku dan mengeluarkan secarik surat, tanpa aku sadari ada benda lain yang keluar saat aku mengeluarkan surat tadi yang kuberikan kepada Mama namun Papa menyambarnya. Bola mata Papa mendelik tajam ke arahku sebelum bergerak membaca barisan kalimat yang tertuang dalam surat dari sekolahku itu.

“Jevin!” pekik Papa lalu membuang surat tadi ke sembarang arah. Papa mencengkeram bahuku erat, sangat erat. Aku sontak menggigit bibir bawahku dan memejamkan mata. . “Skors? Sebulan? Apa lagi? Nggak DO sekalian?!”

“Jeremy udah! Nggak usah kasar!” pekik Mama.

“Kamu bikin ulah apalagi sih? Papa capek, Jevin!” teriak Papa kepadaku, sungguh untuk menatap mata papa aku tidak sanggup, aku masih tercekat, aku sudah terlampau jauh.

“Maaf.. maafin Jevin, papa mama berhak marah sama Jevin,” ucapku, lalu dengan secepat kilat aku berlutut memeluk kaki Papa. Pandangan Papa tertuju kepada benda kecil di sebelahku yang berlutut, saat Papa hendak mengambilnya, Mama sudah mendahuluinya. Aku hendak merebutnya, namun Mama mengangkatnya tinggi-tinggi agar Aku tidak bisa meraihnya. Mama menurunkan benda itu tepat di hadapanku.

“Jevin, ini apa nak..” suara Mama bergetar. Aku semakin terisak.

“Jawab pertanyaan mama yang bener!” bentak Papa sambil mencengkeram bahuku.

“Itu punya pacar Jevin.. tapi pacar Jevin hamil bukan sama Jevin.”

“Nak..” Mama langsung pecah dalam tangis. Mama duduk di sofa dan memijit keningnya dengan jarinya.

“Ulangi sekali lagi, kamu bilang apa? Lihat mata papa kalau ngomong lihat wajah lawan bicara kamu!” nada Papa masih emosi. Aku mendongakkan kepala dan menatap Papa dengan mata yang sudah basah dan ketakutan yang menyelimutiku sekarang.

“Pa.. pacar Jevin hamil, dia di DO dari sekolah tapi bukan hamil sama aku, Pa.”

PLAK!

Satu tamparan keras mendarat di pipiku dari Papa.

“Jer!” Mama bangkit berdiri dan menengahi Papa dan aku dalam keadaan masih menangis.

“Apa? Kamu mau belain dia?!” bentak Papa kepada Mama. Sebisa mungkin Mama mengendalikan dirinya walaupun ada sungai kecil yang mengalir di pipinya.

“Jangan pernah pakai kekerasan fisik ke anak, please.”

“Dia keterlaluan! Secara nggak langsung dia ngakuin juga kalau dia having sex sama pacarnya! Iya kan?! Iya kan, Jevin?!” tanya Papa dengan amarah yang membara. Aku kembali berlutut di hadapan Papa dan tidak bisa berkata apa-apa hanya terisak, punggungku bergetar hebat.

Saat itu gemuruh riuh di langit beradu dengan amarah Papa kepadaku. Satu hal paling menyakitkan didengar Mama dan Papa kali ini, aku yakin hati Papa dan Mama adalah ada di posisi sehancur-hancurnya saat ini. Tak ada kalimat lain yang Papa ucapkan selain “Papa kecewa.” kepadaku. Saat itu seakan ada sebuah jarak semu yang terbentang antara aku dan Papa serta Mama.

“Nggak usah kaya gitu! Papa bilang bangun!” Papa memaksaku bangun.

“Jer!” sergah Mama.

“Kenapa sih Jev? Kenapa bisa? Kenapa bisa sampai sejauh itu?!! Papa pernah ngajarin itu? Enggak kan? Kenapa bisa kamu berani sejauh itu?!” tanya Papa yang membuatku ketakutan.

“Maafin Jevin, Pa.” Aku hendak meraih tangan Papa namun Papa menepisku kasar.

“Papa kecewa sama kamu! Atur hidupmu sendiri kalau nggak bisa diarahin orang tua! Papa kurang apa ke kamu? Lihat itu Mevin! Pernah dia lakuin hal-hal kaya gini?!” selesai mengucapkan kalimat itu, Papa berlalu dari sana meninggalkan Aku yang terisak terduduk di lantai, Papa masuk ke kamar dan membanting pintu keras-keras. Mama masih ada berdiri disana namun aku yakin mama juga hancur ia menangis dan membelakangiku.

“Mama, maafin Je..vin...” sesalku sambil menunduk dan mengepalkan tangan erat karena aku tidak tahu lagi harus berbuat apa.

“Dalam hati Mama.. sekarang mama cuma bisa mengutuki diri mama sendiri, Mama merasa gagal menjadi seorang ibu. Hati Mama sakit denger Jevin kaya gitu, nak. Mama kecewa, sangat kecewa tapi mama juga kecewa, apa mama masih ada kelalaian sebagai seorang ibu? Kasih tahu Mama, nak.” Mama semakin terisak, bahkan gelengan kepalanya tersamarkan oleh getaran punggungnya yang hebat.

“Kamu renungin apa kesalahan kamu, think twice before you act, Jevin. Mama kecewa sama kamu, sangat kecewa. Walaupun kalian semua tahu bagaimana masa lalu Mama, tapi mama nggak pernah membenarkan melakukan sex before marriage, Jevin. Mama tahu mama bukan berasal dari latar belakang yang baik sebagai seorang wanita tapi mama mencoba memperbaiki semuanya dan menghindari hal-hal seperti itu. Sekarang mama sadar betapa gagalnya mama dalam mendidik dan kamu masih tujuh belas tahun. Can you imagine how broke my heart right now as your mom?

“Ma..” Aku menarik tangan Mama namun Mama menepisnya dan meninggalkanku sendirian disana. Rasa dalam hati berubah menjadi hampir habis tertikam rasa yang sia-sia. Hanya aku sendiri di ruang tamu ditemani riuh detak jantung dan raungan dalam tangis. Aku sadar tak ada yang lebih mengecewakan daripada peranku sebagai anak dalam keluarga ini.