ALWAYS BE THERE

Selepas insiden yang menimpanya terakhir kali, Jevin bak dihimpit nestapa. Berlari dengan telanjang kaki diantara bebatuan. Jevin memang sudah dipindahkan ke ruang rawat biasa, tapi raga dan jiwanya tidak seperti sedia kala, pagi itu Jevin hendak meraih gelas di nakas di samping tempat ia berbaring, saat ia bangkit dari tempat tidurnya di ruang rawat inap itu, tangan kanannya yang memegang gelas tiba-tiba ..

PYARR!

Ia merasakan gelas di tangannya lolos begitu saja, tangan Jevin bergetar hebat, Jevin tidak bisa menggenggam apapun. Ia pun berlutut hendak membereskan kepingan kaca yang berserakan, namun saat ia berlutut malah pecahan kaca itu mengenai lututnya yang membuat lututnya mengeluarkan darah.

Tangan yang Jevin gerakkan juga tidak bisa ia gunakan untuk menggenggam apapun, satu tangannya yang lain juga masih dipasang infus. Yang ia dapatkan hanyalah goresan kaca di beberapa bagian tubuhnya. Letta yang kebetulan baru saja ingin memasuki ruangan itu pun kaget dan Letta langsung bergegas menghampiri Jevin dan betapa terkejutnya ia melihat Jevin dengan banyak serakan pecahan kaca disana.

“Jevin!” pekik Letta, Jevin melongok menatap Letta dengan mata yang berkaca-kaca.

“Kamu kenapa?” Letta membantu Jevin berdiri sambil mengangkat tubuh mantan suaminya itu perlahan.

“Bentar, aku bantu kamu tiduran dulu aku panggil suster,” kata Letta sambil membantu Jevin berdiri dan membuat Jevin berada di posisi tidur terlentang di tempat tidur, Letta menaikkan kaki Jevin satu per satu juga ke tempat tidur meski sesekali Letta harus menahan sakit di perutnya, ia berjalan cepat untuk memanggil suster.

Letta paham betul ini efek dari cedera yang Jevin derita setelah insiden kala itu. Sedikit nyeri di hati Letta mengingat Jevin yang sangat selalu bersemangat dalam melakukan hal apapun kini geraknya terbatas dan sering didera rasa sakit. Dengan sepenuh hati Letta membantu membasuh luka di tangan dan lutut Jevin sedangkan seorang perawat. Kali ini Letta merasa benar-benar sesak dan merasa sedikit sedih.

Sakitnya dalam hati tak akan pernah bertepi jika melihat Jevin yang seperti ini. “Kalau mau apa-apa minta tolong, tunggu aku, ya?” tanya Letta penuh perhatian dan tangannya masih bergelut membersihkan darah di lutut Jevin.

“Maaf.”

“Nggak usah minta maaf, aku yang minta maaf ninggalin kamu tadi.”

“Kamu udah makan? Kamu baik-baik aja? Maaf aku ngerepotin kamu.”

Letta menghela napas panjang lalu menatap Jevin, “Stop bilang kayak gitu atau aku marah!” “Serius, aku ngerasa beberapa kali nggak bisa apa-apa. Dikit-dikit sakit kepala, dikit-dikit mau pingsan, kalau enggak kayak tadi, nggak bisa pegang apa-apa.”

“Proses penyembuhan, sayang.” Letta mencoba tersenyum di atas kepedihan.

“Makasih ya, Lett. Makasih banyak,” balas Jevin yang memancing senyum dari sang puan.

“Kamu udah makan, Lett?” tanya Jevin, Letta mengangguk. Letta mengambil segelas air yang ada di nakas samping tempat tidur Jevin, ia mengambil sedotan lalu membantu Jevin untuk minum, diusapnya bibir Jevin dengan tisu secara lembut oleh Letta. “Udah.” Letta mengangguk.

“Boleh peluk?” tanya Jevin lagi yang langsung diiyakan oleh Letta dan disambut dengan tangan terbuka yang siap merengkuh sang tuan dalam dekap. Jevin mengecup juga bagian pipi Letta dan menghirup aroma khas parfume kesukaan Letta. Sungguh, pelukan kali ini sehangat itu, rasanya sudah lama berpisah, padahal butuh waktu untuk menunggu Jevin sadar, tapi rasanya seperti dipisahkan untuk waktu yang lama.