AT THAT NIGHT

Bagaimana mendefinisikan cinta bagi sebagian orang? Membawa keadaan yang baik atau kurang baik? Sejatinya, dalam segala keadaan, baik ataupun kurang baik, sehat maupun sakit, cinta itu tetap ada di sana. Diuji keberadaannya, apakah dalam sebuah hubungan masih dilandasi rasa cinta atau hanya bertahan sebentar saja? Sejak menikah, Letta dan Jevin memang tinggal di satu rumah. Namun, atmosfer mungkin terasa berbeda bagi mereka. Letta sebagai istri merasakan bahwa Jevin memanglah orang yang sedikit dingin. Pernikahan mereka memang dilandasi cinta karena keduanya sudah menjalin hubungan lulus kuliah.

Tapi, apapun keadaannya, Jevin ingin menjadi barisan sajak puisi yang Letta senandungkan. Karena ia sadar bahwa Letta lah yang mampu menerjemahkan keseluruhan dari isi kepalanya yang rumit bak hutan belantara, terlebih jika mengingat masa lalu yang mungkin bagi sebagian orang nyaris mustahil untuk mendapatkan toleransi, tapi Letta terima Jevin dengan segala kondisinya.

Selama ini Letta adalah seseorang yang menunggu Jevin dengan tangan terbuka dan menawarkan sebuah dekap. Sedangkan Jevin kadang terlalu gengsi untuk mengungkapkan perasaannya terhadap wanita yang sudah ia pilih untuk menjadi istrinya. Sedingin-dinginnya Jevin, tetaplah ia pemenang perjuangan untuk mendapatkan seorang Letta. Membangun kepercayaan itu tidak mudah, terlebih Jevin adalah mantan kekasih mendiang sahabat Letta, dan Jevin juga saudara kembar mantan kekasih Letta. Mevin, saudara kembar Jevin sudah berpisah dengan Letta jauh sebelum Jevin harus menghadapi kepergian mantan kekasihnya, Eve. Tapi semua itu berproses, butuh waktu bertahun-tahun bagi Jevin untuk bisa merasakan cinta itu hadir ditengahnya dan Letta. Bukan tanpa alasan, dalam kondisi apapun Letta dan Jevin saling menguatkan dan saling mengajarkan banyak hal bagi satu sama lain. Tidak ada yang bisa membuat Jevin merasa hidup lagi seperti Letta dan sebaliknya. Luka sama sama ditutup, digantikan tangan yang saling berpegangan untuk berjalan bersama.

Usia sembilan belas tahun, Jevin harus ditinggalkan Eve untuk selamanya karena kecelakaan yang merenggut nyawa Eve. Hingga lulus kuliah, dan pada usia dua puluh empat Jevin dan Letta terikat di satu hubungan yang keduanya jalin berdua. Pada usia Jevin yang ke dua puluh delapan, Jevin memutuskan meminang Letta dan mengikat Letta dalam hubungan pernikahan.

Beberapa kali Letta menyinggung perihal memiliki momongan namun Jevin selalu menghindar dan mengalihkan pembicaraan. Setiap kali Letta bertanya “Kenapa? Kamu enggak cinta sama aku atau karena apa?” yang Letta dapatkan hanyalah pelukan dari Jevin. Sungguh hanya pelukan tanpa penjelasan. Kadang hal itu juga yang mengganggu pikiran Letta, namun sebisa mungkin ia tepis jauh-jauh. Sebagai suami istri, memang keduanya juga berusaha, tapi mungkin belum saatnya. Selalu belum berhasil dan itu kadang membuat Letta berkecil hati. Tapi Jevin selalu datang lagi dengan pelukan dan kata-kata menenangkan.

Suatu malam pukul delapan malam...

Letta sedang menyiapkan makan malam dan menuangkan minuman hangat ke cangkir, ditatanya dengan begitu rapi makanan yang ada yang sudah ia masak. “Jevin pasti suka,” gumamnya. Tak lama Jevin yang baru saja selesai membasuh dirinya itu pun menuruni tangga dengan celana pendek, dan kaos polos berwarna hitam. Jevin menuruni tangga dengan semangat saat melihat Letta tengah sibuk di meja makan. Sebuah senyum merekah di wajah Jevin ia menghentikan langkahnya sejenak di tangga untuk melihat sang puan yang dengan telaten menyiapkan makan malam.

Tanpa bahasa, dengan langakah mengendap, tangan Jevin melingkar memeluk Letta dari belakang. Jevin mengecup pipi istrinya itu beberapa kali. Letta terkikik sedikit geli lalu berbalik badan memeluk pinggang Jevin.

Are you tired?” tanya Letta sambil sedikit mendongak menatap Jevin yang lebih tinggi darinya itu.

Yas, and I just want to hug my wife, can I?” Jevin tersenyum tipis. Gentian Letta yang mencubit hidung Jevin.

Can I ask you something?” tanya Jevin mendadak.

Of course, what’s that? Sama duduk, yuk?” Jevin menggeleng, “Enggak usah, mau nanya sebentar, gini aja dulu. I just want to see your face closer right now.”

“Apa?” tanya Letta lagi sambil tersenyum.

“Aku terlalu dingin ya selama ini jadi suami? Enggak ada hal romantis yang aku lakuin buat kamu ya? Like another couple, like a husband and wife usually did, I never give something that special things for you, iya, kan?”

“Jevin, kenapa tiba-tiba nanya gitu? Duduk yuk, makan malam dulu.” Letta terlihat sedikit kikuk lalu melonggarkan rengkuh, ia menarik lengan Jevin agar duduk bersama namun Jevin tidak bergerak, ia membeku di tempatnya membuat Letta berbalik badan. Tangan gagah Jevin dengan lihai menarik Letta lagi hingga tidak ada jarak diantara mereka. Tangan kanan Jevin bertengger pada tengkuk leher Letta dan tangan kirinya bertengger di pinggang Letta, dikikisnya jarak antara ia dan istrinya itu.

Meski Letta sempat merasakan degup jantungnya lebih hebat dari biasanya dan menelan ludahnya dengan susah payah tapi tangan Letta perlahan memeluk Jevin. “No matter how cold you are, babe. You’re still my husband, cara kamu nunjukin kalau kamu sayang sama aku juga pasti nggak akan sama seperti kebanyakan orang, kan?” kata Letta dengan nada lembutnya. Sebenarnya ada satu hal yang sangat Jevin sesali, ia masih ingin Letta menunda memiliki buah hati, bukan karena apa tapi kesiapan setiap orang berbeda. Sudah hampir satu tahun dalam naungan pernikahan tapi belum juga diberi momongan. Bukan karena tidak bisa, tapi Jevin masih takut.

Kadang keraguan tidak hanya hadir dari sisi wanitanya saja dalam hal memiliki momongan, tapi juga bisa dari sisi pria atau suami. Kesiapan mental dan batin juga perlu.

“Kamu udah pengen punya baby ya?” tanya Jevin dengan lemas.

“I―Iya.” Letta menjawab dengan sedikit terbata.

“Jujur, mungkin enggak masuk akal, tapi selama kehamilan, aku mau aku selalu ada buat kamu. Sekarang, aku masih harus kerja ke sana sini dan banyak project di luar kota. Aku enggak mau ninggalin kamu untuk waktu yang lama. Aku enggak tega harus ninggalin kamu misal kamu lagi ngerasain morning sickness, atau ada sesuatu yang sakit, perlu bantuan jalan, aku mau ada di samping kamu. Selalu. Aku juga udah janji sama orang tua kamu dan orang tuaku bakalan jaga anak kamu, kondisi hamil itu rentan dan butuh banyak pengawasan. Maafin aku, sayang.”

Mendengar penuturan sang tuan, Letta tersenyum haru, matanya sedikit terasa panas karena selama ini jika menyangkut tentang memiliki anak, jawaban yang keluar dari mulut Jevin ternyata sepenuhnya memikirkan kebaikannya.

Senyuman Letta bawa Jevin sedikit heran, “Kenapa cuma senyum?” tanya Jevin bingung.

“Bahkan jawaban kamu udah buktiin kalau kamu lebih hangat dan sweet daripada banyak pria di luaran sana yang memaksa istrinya hamil tanpa memperhatikan istri mereka. Setakut itu, ya, sayang? Makasih ya udah mau kuatir dan mikir jangka panjang. Kalau kita sudah sama-sama siap, nanti pasti ada jalannya, ya?” kata Letta yang sangat menenangkan hati Jevin.

Jevin tersenyum haru sambil menarik Letta mendekat kepadanya. Letta membelai pelan pipi Jevin. Tanpa aba-aba Jevin pun melumat bibir Letta, tanpa penolakan Letta membalasnya mesra. Kedua tangan Jevin menangkup pipi Letta menekannya pelan memperdalam ciumannya. Letta mengalungkan tangannya di leher Jevin. “I love you,” bisik Jevin dalam cumbuan mesra malam itu. Pada isyarat lenguhan Letta setelahnya, Jevin tahu ada sebuah perasaan yang merekah, maka Jevin pun menggendong tubuh istrinya itu tanpa melepas pagutan dan membawanya ke sofa ruang tamu yang cukup besar. Membaringkan sang puan di sana dan mengukung tubuh Letta di bawah kuasanya, keduanya saling menatap sejenak..

Cup! Cup! Cup! Tiga kali kecupan singkat didaratkan Jevin di bibir Letta. Keduanya saling menatap dan melemparkan senyuman, saling membalas perasaan karena tanya Letta sudah terjawab. Jevin adalah suami terhebatnya. “Wanna have some wine after dinner?” tanya Letta, Jevin mengangguk tanpa ragu.

But let me eat you first,” Jevin menyeringai dan hendak menyambar bibir Letta lagi, tapi Letta tahan bibir Jevin dengan jari telunjuknya.

“Makan dulu, butuh tenaga, kan? Haha,” kekeh Letta lalu diikuti kekehan Jevin. Akhirnya Jevin hanya melayangkan kecupan lama di dahi Letta dan di kedua pipi Letta bergantian di sisi kanan dan kiri.