BE MINE

Malam pemilihan Ambassador selesai dilaksanakan dengan keputusan bulat bahwa Shannon dan Raymond yang terpilih. Memang, Raymond sudah memenangkan gelar Ambassador kampus, tapi masih ada hal lain yang ingin ia menangkan. Apa lagi kalau bukan hati Shannon?

Malam itu diakhiri dengan sesi foto bersama sebelum para kerabat dan teman dekat memberi ucapan secara pribadi. Begitu juga Willy dan Lauren yang sangat bangga melihat anak sematawayang mereka berhasil mengejar hal yang dicita-citakan.

“Anak Papa hebat!” Puji William sambil memeluk anaknya itu. Lauren mendekat memberikan peluk dan cium juga bagi anak perempuannya itu.

“Iya dong, I will always make Papa sama Mama proud sama Shannon.” Shannon tersenyum manis.

“Pulangnya sama siapa?” tanya Willy.

“Sama Vanes aja masih mau foto sama temen-temen, Papa sama Mama duluan nggak apa-apa.”

Akhirnya Willy dan Lauren pun pulang terlebih dahulu dan membiarkan Shannon masih berada di kampus bersama teman-temannya. Lauren dan Willy paham bagaimana anak muda dan segala euforianya di saat bahagia seperti ini. Akhirnya benar saja saat itu Vanessa, Jacob dan Xander datang menghampiri Shannon dan mengucapkan selamat bagi gadis itu.

“Selamat ya, Shan. Hebat banget!” puji Xander sambil mengacungkan dua jempolnya.

“Makasih kak Xander!” balas Shannon ramah.

“Bocah jadi Ambassador nih, congrats ya!” kata Jacob juga. Shannon mengangguk dan tersenyum.

“Bestie gue terbaik!” Vanessa merangkul sahabatnya itu.

“Eh fotoin dong,” kata Vanessa lagi. Akhirnya mereka berempat sibuk mengambil foto bersama, kadang Jacob juga mengambil foto Vanessa dan Shannon.

“Boomerang juga sayang, tolongggg!” kata Vanessa merengek. Xander dan Jacob hanya geleng-geleng saja dan Jacob juga menurutinya.

Tiba-tiba seseorang datang menghampiri mereka, seorang lelaki yang masih menggunakan setelan jas berwarna hitam dan kemeja berwarna putih. Senyum Shannon redup seketika, ia kikuk. Sementara ketiga temannya yang lain menyambut dengan senyum yang merekah.

“Yoooo!!! Our ambassador!” Xander merangkul Raymond dari sebelah kanan dan Jacob dari sebelah kiri.

“Kak Ray selamat ya!!” kata Vanessa.

“Makasih, guys!” balas Raymond.

“Kayaknya Shannon nggak jadi balik bareng lo tuh, Nes.” Xander meledek sambil melirik Raymond. Vanessa mengerti apa arti kode Xander pun sedikit terkekeh, “iya, nih. Kak Xander balik sama gue sama Jacob karena satu kompleks sama Jacob. Nah, Shannon cantik sama Kak Raymond, ya? Oke?” kata Vanessa dengan sedikit menggoda Shannon.

Mata Shannon membulat, “hah?!”

“Aku anterin, sampai depan rumah.” Raymond menyela.

“Sekalian ngomongin yang perlu diomongin,” kata Vanessa berbisik lagi di telinga Shannon. Vanessa tersenyum pada Shannon setelahnya, tapi Shannon membulatkan matanya setelahnya memberi tatapan memohon seakan tidak ingin Vanessa meninggalkannya bersama Raymond.

“Shan, jangan disimpen hal yang bikin ganjel di hati, luapin aja, maki-maki nih orang, gebuk juga nggak papa.” Xander menyenggol lengan Raymond.

“Pukul dadanya sampe bunyi intro orang pinggiran, Shan.” Jacob menambahi.

“Makasih teman-temanku yang sangat berbudi pekerti baik.” Raymond tersenyum datar sambil menjitak kepala kedua sahabatnya itu. Sementara itu kedua gadis yang ada di sana hanya tertawa. Akhirnya benar saja Vanessa, Jacob dan Xander pergi dan berpamitan dari sana. Sekarang hanya tinggal Raymond dan Shannon di sana. Keadaan masih sedikit ramai, begitu juga dengan suasana dada Raymond dan kepala Raymond yang sangat ramai, memberontak ingin mengungkapkan semuanya kepada Shannon.

Raymond pun memegang pergelangan tangan Shannon, “ikut aku, yuk?” katanya. Shannon belum menjawab tapi Raymond sudah menarik tangan gadis itu dan Shannon hanya bisa menurut mengikuti langkah kaki Raymond.

Raymond pun membawa Shannon ke sirkuit belakang kampus yang digunakan juga sebagai parkiran. Setelah menjauh dari keramaian saat itu Shannon melepaskan genggaman Raymond darinya. Keduanya kini saling berhadapan dibawah sinar lampu, rembulan dan bintang yang menggantung.

“Shan…” panggil Raymond lirih.

“Hm?” Shannon enggan menatap lelaki di depannya, ia menunduk dan mengetuk ngetukkan ujung depan heelsnya.

Raymond pun berkata, “Kalau ada yang ngajak ngomong itu⎯”

Shannon langsung mengangkat wajahnya, “harus lihat lawan bicaranya as you said before.”

Raymond menelan ludah, Shannon mengingat apa yang pernah ia katakan kepadanya saat di bar kala itu.

Now, what?” tanya Shannon.

“Maaf kalau aku suka bikin kamu kesel.”

“Sadar? Masalahnya Kak Raymond itu sekarang bikin kesel, sebentar lagi bikin seneng, gitu terus sampai adudu kepalanya trapesium nggak kotak lagi!” Shannon berkata dengan kesal tapi jujur saja, kalimatnya mengundang Raymond melipat bibirnya menahan tawa.

“Kamu mau ngelawak apa ngomel? Jangan double gitu, aku gemes.” Satu tangan Raymond mencubit pelan pipi Shannon. Gadis itu merasakan pipinya hangat.

“Mau … ma.. marah…” Shannon membuang muka sesaat.

Raymond manggut-manggut, “ya udah, silakan marahin aku.”

Shannon menatap Raymond, “aku nggak ngerti Kakak kayak gini ke aku aja atau ke cewek lain juga di luar sana. Aku nggak tahu udah berapa cewek yang kakak ajak pacaran, aku nggak tahu juga berapa cewek yang kakak deketin sekarang. Tapi, sikap kakak ke aku itu kenapa sih kayak gitu?”

“Kayak gitu?”

Shannon mengangguk cepat, sedikit cemberut tapi ia menjawab, “kasih perhatian, baik, nganterin kemanapun, nemenin sleepcall, ya… pokoknya semua yang Kak Raymond lakuin ke aku.”

“Kamu sadar nggak ada seseorang yang suka sama kamu, Shan?”

Shannon menggeleng.

He is next to you.

Shannon mengernyit lalu menoleh ke kanan, kiri dan belakang, “who?

Raymond terkekeh pelan, ia maju dua langkah mendekat ke arah Shannon, sedikit menunduk agar pandangannya sejajar dengan pandangan Shannon. Jujur, saat itu kalau boleh berteriak mungkin Shannon akan berteriak, matanya membulat dan tenggorokannya tercekat saat wajah raymond ada tepat di hadapannya.

“Kamu beneran nggak tahu atau ngetest aku?” tanya Raymond. Shannon menggeleng pelan, matanya melirik panik ke kanan dan kiri.

“Kamu udah tahu background keluarga aku, kan?” tanya Raymond lagi, Shannon mengangguk.

“Kamu masalah nggak kalau punya pendamping yang keluarganya kayak keluargaku? Nggak utuh kayak keluarga kamu.”

Shannon menggeleng pelan, lidahnya benar benar kelu. Setelahnya, Raymond menegakkan tubuhnya lagi, Shannon bernapas lega. Tapi, jantung Shannon kembali diserang bertubi-tubi karena Raymond kini menggenggam kedua tangan Shannon.

“Aku Shan, aku yang punya perasaan sama kamu. Kenapa aku lakuin itu semua ke kamu? Bukan buat mainin kamu, tapi karena aku punya perasaan ke kamu. Buat masalah Abel waktu itu aku beneran nggak tahu, dia dadakan kesini, mau pamit doang. Aku bahkan pengen ajak kamu biar dia tahu ada hati kamu yang harus aku jaga, tapi terlambat, dia mendadak kesini, dan itu yang kamu lihat. Shannon, aku nggak akan mati-matian cari kamu malem-malem setelah Vanessa bilang dia nggak lagi sama kamu. Ngapain aku sampai kayak gitu kalau nggak khawatir sama kamu? Shan, aku nggak lagi bercanda, aku nggak lagi mainin kamu. Aku bukan orang yang romantis, aku bukan orang yang datang ke wanita pujaannya dengan banyak hadiah dan puisi romantis, but… from the deepest of my heart, would you be my girlfriend, Shannon?” kata Raymond dengan sesungguh-sungguhnya perasaannya.

Kini Shannon terperangah bukan main, ia menghela napas panjang dari mulut untuk menetralkan degup jantungnya.

“Kalau kamu terima aku, cukup jawab aja, kalau kamu tolak aku, silakan tampar aku. Tapi aku grogi, aku merem dulu,” Raymond juga salah tingkah, ia memejamkan mata dan melepaskan genggaman tangannya.

Shannon merasakan pipinya semakin panas, ia pun mengangkat tangan kanannya ke udara, mendaratkannya di pipi Raymond dengan lembut.

“Mau tampar? Nggak papa, tampar aja,” kata Raymond sambil mempererat pejaman matanya.

Sudut bibir Shannon membentuk senyum tipis, tangan Shannon yang mendarat di pipi Raymond kini bergerak pelan mengusap pipi itu, Shannon sedikit berjinjit lalu berbisik tepat di telinga Raymond, “Yas, I will be yours, Kak Raymond.

Kalimat itu membuat Raymond bergidik dan kaget bukan main, Raymond langsung membuka mata, menoleh sedikit mendapati Shannon tepat di hadapannya, wajah mereka sangat dekat, sesaat terpaku sampai akhirnya Shannon tidak berjinjit lagi dan Shannon menggaruk tengkuk lehernya.

“Apa, Shan? Aku nggak salah denger kan?” tanya Raymond antusias, Shannon menahan senyumnya malu-malu sambil menoleh ke kanan dan kiri sambil mengangguk perlahan. Raymond tersenyum dan tidak menyangka, ia raih tangan gadis yang kini jadi miliknya itu lalu ia kecup di bagian punggung tangan Shannon.

I love you my princess,” ucap Raymond setelahnya.

Keduanya saling menatap, Raymond menarik pinggang Shannon mendekat, lagi dan lagi, dada dan perut Shannon seakan dipenuhi kupu-kupu, wajah mereka sedekat itu, hanya berjarak embusan napas, Shannon salah tingkah dan Raymond terlampau bahagia. Tangan Shannon melingkar di leher Raymond, lalu satu tangan Raymond menangkup pipi Shannon dan Raymond mendekatkan wajahnya, memiringkan wajahnya membuat Shannon ingin berteriak.

“Shan,” lirih Raymond.

Shannon menelan ludah, “a…apa?”

Raymond memiringkan kepalanya, Shannon langsung memejamkan matanya takut setengah mati, tapi ternyata yang Raymond lakukan adalah mendekatkan bibirnya saat berkata ke telinga Shannon, “I love you so much, Katriella Shannon Haveela.

Shannon lega, Raymond tidak melakukan hal yang aneh-aneh. Baru saja Shannon ingin merenggangkan pelukan, tapi … CUP! Satu kecupan mendarat di pipi Shannon, keduanya saling bertatapan dalam jarak dekat lagi, “pelanggaran!” protes Shannon.

“Lah, kan udah pacaran,” kata Raymond tidak mau kalah.

“Aku belum ijinin buat cium.”

“Ya udah sorry, Shannon, boleh cium nggak?” kata Raymond dengan lembut.

Shannon menggeleng, Raymond mengerucutkan bibirnya, “kenapa?” tanya Raymond sedikit merengek.

Shannon berjinjit lagi, “karena…”

Shannon mendekatkan wajahnya ke sisi wajah Raymond, lelaki itu kira Shannon akan membisikkan sesuatu, tapi … CUP! Gantian Shannon yang memberi satu kecupan di pipi Raymond. Lelaki itu gemas dengan tingkah gadisnya, setelahnya Raymond langsung mencium pipi kanan, pipi kiri dan kening Shannon lalu menggesekkan ujung hidung mereka dengan gemas. Keduanya saling menatap dan tersenyum, wajah mereka kini berjarak, tapi Shannon ucapkan kalimat, “Aku sayang Kak Raymond.” Hal itu mengundang senyum lebar di wajah Raymond, sebuah kebahagiaan besar kini bermukim di hati Shannon dan Raymond, keduanya resmi menjadi hak milik satu sama lain.