BE STRONG

Letta pulang ke rumah dengan keadaan mata sembab. Jelas dalam keadaan tidak baik-baik saja.

“Mama?” Eugene kaget. Michelle dan Yoel pun langsung menghampiri Letta.

“Mama kenapa?” tanya Michelle.

“Udah pada makan?” tanya Letta mengalihkan.

“Udah, tapi mama kenapa?” tanya Yoel.

“Eugene udah makan?” tanya Letta yang memandangi Eugene yang kini mendekat juga ke arahnya.

“Mama jawab pertanyaan kita dulu, Mama kenapa?” tanya Eugene dengan penuh penekanan. Letta bergantian menatap Michelle, Yoel dan Eugene. Matanya mengerjap-ngerjap, ia menoleh kesana kemari.

Tapi Michelle bergerak memeluk Letta melingkarkan tangan di pinggang mamanya itu. Sesekali tangan Michelle menepuk punggung Letta. Hal itu membuat Letta menunduk, tas jinjing dan paper bag di tangan kanan dan kirinya terjatuh ke lantai begitu saja, ia tersedu-sedu seketika. Kedua telapak tangannya ia gunakan untuk menutupi wajahnya.

“Mama..” lirih Yoel. Letta pun memeluk Michelle, ia memandang Yoel dan Eugene bergantian.

“Kalian janji ya temenin Mama, kalian janji ya jadi anak yang kuat? Ya?” pinta Letta dengan suara yang parau.

“Ma, ada apa?” tanya Yoel yang mendekat juga ke arah Letta dan ikut memeluk mamanya itu.

“Untuk sementara ini Mama nggak punya pekerjaan, management mama sementara me-nonaktifkan mama disana karena kasus yang menyeret Papa. Jadi mama mohon kalian jadi anak yang kuat, ya? Maafin mama karena mama bikin keadaan makin sulit. Mama minta maaf sama Eugene, Yoel sama Michelle. Mama min..ta… ma…af…” Letta terisak hebat, tangisan Letta mengiris hati Eugene, Yoel dan Michelle.

Eugene terpaku di tempatnya sementara Yoel dan Michelle memeluk Letta yang menangis. Satu tangan Eugene mengepal menahan emosi dan kesedihannya. Cobaan apa lagi kali ini? bahkan ini bukan kesalahan Mamanya, mengapa harus sejauh ini? Rasanya hancur, rasanya semakin sakit. Tapi siapa lagi yang mereka punya selain keluarga? Yang Letta harus lakukan adalah jadi ibu yang kuat, yang harus ketiga anak itu lakukan adalah jadi kuat agar Letta pun juga kuat menghadapi semuanya. Meski kita tidak pernah tahu sehancur apa hati Letta ataupun Eugene, Yoel dan Michelle sekalipun.

—-

“Lett, gue minta maaf nggak bisa perjuangin lo. Tapi gue nggak akan nyerah, gue akan terus berjuang dan berdoa biar nama Jevin dan nama lo kembali bersih dan lo bisa kerja lagi. Yang sabar ya, Lett.” Cleo, manager Letta menelepon Letta sambil menangis karena Letta sementara diberhentikan dan tidak bisa menerima job apapun.

“Iya, nggak apa-apa. Doain gue ya biar kuat.” Letta menjawab telepon itu dengan nada setenang mungkin lalu menutupnya sepihak.

Di kamar ini Letta biasa tidur dan berbagi rengkuh bersama Jevin tapi kali ini ia sendiri. Ia bahkan tidak tahu apakah Jevin tidur dengan nyenyak, apakah Jevin makan teratur, apa yang sedang Jevin lakukan. Tangan Letta gemetar menutup telepon, ia berbohong kepada Cleo kalau semua baik baik saja, ia juga berbohong kepada dirinya sendiri. Kalau boleh menyerah rasanya ia ingin menyerah saja, tapi melihat binar mata ketiga anaknya, rasanya tidak mungkin bagi Letta untuk menyerah.

Tiba-tiba bayangan tentang bagaimana Jevin dibawa polisi, bagaimana keadaan Eugene di rumah sakit bahkan perdebatannya dengan beberapa perwakilan management yang terjadi hari ini, lewat di pikirannya lagi. Bagaimana Letta memohon agar ia tidak diberhentikan sementara masih terbayang, tangannya dingin, detak jantungnya tak beraturan, Letta menyerakkan barang yang ada di nakasnya, napasnya memburu, sreekk… bruuakk.. suara itu muncul dari buku-buku yang berserakan. Letta mengerjapkan matanya berkali-kali tapi air matanya tumpah lagi, bahkan napasnya tersengal sengal karena susah payah menahan tangis yang akhirnya meledak juga, ia merasa sesak karena harus menahan air mata sedari tadi.

Jantungnya berdegup kencang, seakan cemas dan ketakutan serta sedikit mual bak diserang kepanikan berlebih saat ini, itu yang Letta rasakan. Letta pun jatuh terduduk di lantai. Tangannya terkepal memukul-mukul lantai, ia yang bersandar di tembok juga beberapa kali menghantamkan kepalanya dengan sengaja ke tembok.

Ternyata suara itu mengundang seseorang untuk memeriksa keadaan Letta, sampai akhirnya ia merasakan ada yang menahan tangannya. Letta langsung menoleh.

“Mama jangan kayak gini, Eugene sama adik-adik butuh Mama. Kita semua udah janji bakalan kuat buat satu sama lain.” Eugene sudah ada di sana tangannya menahan tangan Letta yang terkepal lalu bergerak lagi menahan bagian belakang kepala Letta agar Letta tidak lagi menjedukkan kepalanya ke tembok.

“Stop, Ma.” Eugene berkata dengan menatap Letta nanar.

“Nak…” Letta buru-buru menghapus air matanya, satu tangan Eugene masih mengenakan armsling dan satu tangannya ia gunakan lagi untuk menahan tangan mamanya itu.

“Nangis aja, nggak apa-apa. Beban Mama udah berat banget. Mama juga pasti nggak bisa leluasa nangis luapin semuanya kan? Biasanya mama yang peluk eugene dan adik-adik, sekarang biar Eugene yang nemenin dan peluk Mama, please, mama boleh luapin semuanya ke Eugene.” Ucapan Eugene itu sontak membuat Letta tertegun, netra keduanya beradu dan Letta pun memeluk anaknya itu. Seketika tangisan Letta pecah, isak tangis tersedu-sedu itu keluar begitu saja, sudah terlalu lama Letta menahannya sendiri.

“Mama nggak ngerti lagi harus gimana, maafin Mama… maafin Mama… Mama diblacklist sementara, diberhentikan dari semua project kerjaan mama, maaf….” kalimat itu diucapkan Letta terbata-bata. Eugene hanya bisa mengusap punggung Letta dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja meski ia sendiri juga merasa hancur.

“Maafin mama… nak…” tangis Letta lagi.

“Mama nggak perlu minta maaf. Kita bisa lewatin ini semua, Ma.” Untuk pertama kalinya, tangis Letta pecah di depan anak sulungnya, semua beban ia keluarkan dalam wujud air mata, tapi yang Letta harus lakukan setelah ini, rise up and smile again, through the storm and believe that God will show His way.

Setelahnya, Yoel dan Michelle ikut menghampiri dan menyusul masuk ke sana. “Mama… Koko…” ujar Michelle dan Yoel bergantian. Letta dan Eugene pun merenggangkan pelukan.

Letta hendak menghapus air matanya tapi kini Yoel sudah ikut berlutut di lantai dan memeluk Mamanya itu. “Mama… jangan marahin Koko, tadi beneran bukan karena Koko, bahkan Koko yang selalu jagain dan hibur kita padahal Koko sendiri juga pasti nggak baik-baik aja.” Yoel berkata dengan suaranya yang parau.

Letta pun memeluk Yoel dan menatap Michelle dan Eugene juga yang ada di sana, Michelle ada di rangkulan Eugene. Letta mencium pipi Yoel lalu berkata, “maafin mama juga ya, maafin mama,” ucap Letta.

“Mama nggak perlu minta maaf. Kita harus sama-sama kuat,” ujar Yoel. Letta pun merentangkan tangannya lagi. Ia memeluk ketiga anaknya itu.

“Kita semua kangen Papa, kita juga sayang Mama,” bisik Michelle lirih. Malam itu diakhiri dengan mereka berempat yang duduk di atas kasur bersama dan melipat tangan memanjatkan doa untuk keutuhan dan keadaan keluarga mereka kali ini. semua datang bertubi-tubi tapi mereka yakin dan percaya kalau semua bisa terlewati dan semua ada masanya.