BERTAUT LAGI
Hari kedua, hari dimana sebelum kepulangan Mevin ke Indonesia. Ia berjanji akan menunggui Grace di Rumah Sakit. Perlahan sebuah senyum mulai merekah meski wajah Grace masih pucat. Ia merasakan kebahagiaan itu hadir dan hinggap lagi di benaknya setelah kedatangan Mevin. Keduanya bersepakat untuk menjalin hubungan kembali. Kedatangan Mevin ke Singapore kedua kalinya menjadi bukti bahwa dunia akan baik-baik saja jika dilalui bersama, bukan berjalan masing-masing. Meski Mevin ada disini hanya untuk hitungan hari, semuanya terasa cukup bagi Grace karena mengingat keadaan Mevin yang belum terlalu baik juga membuat Grace juga khawatir akan keadaan kekasihnya.
Keduanya sakit, keduanya perlu penyembuhan, but they have a faith. Mevin mungkin bukan pria dengan rangkaian kata setiap saat yang meluluhkan hati kekasihnya, mungkin Mevin juga tidak cakap dalam menuliskan perasaannya, tapi Mevin menunjukkan bukti nyata lewat perbuatannya. Kala matahari belum genap menunjukkan kehadirannya, masih pagi benar, Lea dan Jeremy mengantarkan Mevin ke Rumah Sakit untuk menemui Grace.
Saat masuk ke ruangan rawat Grace, kebetulan Grace sudah bangun dan sebuah senyum sumringah langsung tergambar jelas di wajah Grace karena kedatangan Mevin dan kedua orang tua kekasihnya itu.
“Grace!” seru Lea sumringah yang langsung menghampiri Grace dan memeluk anak perempuan itu. Jeremy masih membantu Mevin berjalan. Lea langsung mengecup pipi Grace dan mendekap perempuan itu lagi.
“Tante, makasih banyak, Tante. Terima kasih.” Ucapan Grace dibalas pelukan lebih erat dari Lea.
“Berterima kasih sama Tuhan, jangan sama Tante, berterima kasih juga sama diri Grace sendiri. Jeremy masih berdiri di dekat ranjang Grace bersama Mevin, Jeremy dan Mevin saling bertatapan dan seakan memberi isyarat bahwa keduanya juga senang melihat momen antara Lea dan Grace saat itu. Saat Lea melepaskan pelukan ia pegang kedua pundak Grace dan tatap anak perempuan yang hendak menangis itu.
“Janji sama Tante, nanti ada saatnya Grace pulang ke Indonesia dengan utuh, hati, jiwa dan raga Grace utuh seluruhnya. Tante bakalan tunggu Grace pulang, seluruh keluarga kita nunggu Grace pulang. Oke?”
Grace mengangguk dan tersenyum haru. Setelahnya Jeremy mendekat, Grace tidak lupa memberi salam dan mencium tangan dengan sopan.
“Om juga tunggu Grace, kalau ada apa-apa bilang ke Mevin aja nanti Om dan Tante juga bantu, jangan pernah merasa sendiri, jangan disakitin lagi dirinya Grace. Ya?” Jeremy juga menepuk pelan punggung Grace. Hal itu membuat Grace menunduk dan terisak.
“Grace?” Lea meraih tangan Grace dan menggenggamnya.
“Grace nggak dapetin ini semua dari kedua orang tua Grace. Nggak sama sekali, tapi Om dan Tante sekeluarga memanusiakan Grace, nggak mandang masa lalu dan keadaan Grace mau sehancur apapun itu. Grace janji kalau Grace nggak akan sakitin diri sendiri lagi karena Grace mau cepat sembuh dan pulang ke Indonesia.” Perkataan Grace membuat desir haru di hati Lea serta Jeremy juga saat itu.
“Grace, seperti yang tante pernah bilang, keluarga bukan hanya karena ikatan darah saja, tapi yang selalu ada disaat apapun, terutama di saat terendah di hidup kita. Ingat itu, ya?” kata Lea yang membuat Grace mengangguk dan tersenyum.
“Ya udah, Om sama Tante mau beli kebutuhan dulu, Mevin disini nemenin Grace, ya?” ujar Jeremy.
“Iya, Om, sekali lagi terima kasih, Om, Tante,” kata Grace tersenyum manis. Jeremy dan Lea mengangguk, maka setelah berpamitan Lea dan Jeremy merangkul Mevin sejenak dan membantu Mevin untuk duduk di tepi ranjang di sebelah Grace baru kedua orang tuanya itu berlalu.
Grace yang dalam posisi duduk bersandar kini menggenggam erat tangan Mevin dan keduanya saling bertatapan tanpa sepatah kata pun. Mevin mendekatkan punggung tangan Grace ke bibirnya dan mengecupnya beberapa kali lalu ia bawa dalam genggam lagi.
“Mevin―” Grace hela napas sejenak sebelum lanjutkan penuturannya, “why God gives us those kind of struggle and burdens? Healing itu belum aku dapat sejauh ini, my life just full of tears and raindrops and also a big storm that I can’t handle alone.”
Pada isyarat ketakutan lewat perkataan Grace itu, Mevin hadir sebagai insan yang menyerbakkan sebuah penenang dan harap bagi Grace. Perihal berkata-kata, Mevin memang tidak cukup cakap. Tapi kadang kalimatnya bak mantra penenang bagi siapapun yang mendengarnya. Maka Mevin belai tangan Grace yang masih dalam genggamannya, “What if your healing come through all those raindrops and what if your healing comes through all of your tears? Sayang, God’s love overflowing in you. Our human heart can’t contain God’s love and God’s plan. Semua hal yang kamu alami, nggak aku alami. Aku berani bilang level iman kamu lebih tinggi dari aku makanya Tuhan kasih semua hal itu ke kamu, bukan ke aku. Buktinya kamu ada dan bertahan sampai sekarang, itu artinya kamu bisa handle itu semua, sayang.” katanya.
“To be honest, aku pernah marah sama Tuhan di awal-awal.I doubt His goodness I doubt His love but, again, Tuhan hadirkan orang-orang kaya kamu, keluarga kamu, Alicia, Tela, James also Ave yang bikin aku percaya kalau we have faith to believe God. Mevin, kamu pernah malu punya pacar dengan segala kisah gelap kaya aku?” pertanyaan Grace membawa Mevin menatap Grace dalam-dalam. Mevin menggeleng.
“Kamu pernah punya pikiran hubungan kita berakhir selamanya?” tanya Grace lagi, Mevin menggeleng.
“Kamu pernah nyerah sama keadaan kita? Keadaan satu sama lain, pernah?” tanya Grace dengan penuh penekanan lebih dari sebelumnya.
“Pernah, tapi aku nggak mengimani itu,” kata Mevin sambil memberikan senyumnya untuk menenangkan hati Grace.
“Aku pernah mikir nyerah sama keadaan waktu aku habis kecelakaan, dimana aku nggak bisa jalan, aku nggak bisa terima diriku sendiri. Aku mikir, aku bisa apa untuk jagain kamu, aku terbatas dalam segala hal. Aku juga pernah lukain diriku sendiri sebelum kesini, tapi, lagi dan lagi, Tuhan baik sama kita. Kamu harus tahu itu, hilangin semua pikiran jelek, kita jalanin bareng lagi, ya?” ucap Mevin sambil ia gerakkan ujung jari telunjuknya untuk mencolek ujung hidung Grace.
“I love you with all my heart, Elleandru Mevinio Adrian.” Ucapan Grace menghipnotis Mevin. Maka saat itu keduanya terdiam, saling menatap, Mevin pegang satu sisi pipi Grace dengan tangannya dan membelainya lembut. Jika rindu diungkapkan dalam jatuhnya rinai hujan, maka pasti keduanya sudah basah kuyup terguyur derasnya arus kerinduan itu. Jika rasa cinta diungkapkan dalam bentuk duri tajam, maka tangan keduanya pasti sudah bersimbah darah karena menggenggamnya.
Lantas keduanya saling tersenyum, maka Mevin juga bergerak memiringkan kepalanya dan langsung menyatukan birainya dan milik Grace. Tak ada penolakan dari sang puan karena ini bibir mereka saling beradu dan helaan napas terdengar memecah sunyi di ruangan kamar saat itu.
Mevin dan Grace tersenyum di tengah pagutan mereka, Grace pun membawa kedua tangannya melingkar pada tubuh Mevin, sementara Mevin mengusap tengkuk leher Grace dengan satu tangannya dan memperdalam pagutannya. Sementara itu pinggang Grace didekap dan dirangkul erat oleh satu tangan Mevin yang lain dibiarkan tak ada jarak dengan tubuh Mevin.
“Mevin―I love you,” desah Grace disela pagutan mesra yang bertambah dalam itu.
Pagutan terakhir berangsur lama sebelum Mevin menautkan dahi mereka dan keduanya merenggangkan ciuman. Bibir mereka disatukan lagi tanpa lumatan, hanya saling menempel tapi sangat menenangkan.
“I love you more than I can say, Bernadetta Gracelline Courtney.” Mevin tutup kalimatnya saat itu dengan kecupan di kedua pipi Grace.
Dengan sabar dan telaten, Mevin menunggui Grace, menyuapi kekasihnya itu dan membantu Grace meminum obatnya. Grace benar-benar merasa seperti mimpi saat ini. Grace yakin dan percaya ia tidak akan temukan pribadi Mevin di sosok lain. Mevin juga percaya bahwa ia tidak akan merasakan kenyamanan itu di raga dan jiwa yang lain. Sudah lama menjalin hubungan pun nyatanya masih membuat Grace berdebar saat mendapat perlakuan dan afeksi lebih dari Mevin. Kekasihnya ini bak memborong semua Love language yang ada.
“Aku bisa makan sendiri, sayang.” Grace berkata sambil sedikit terkikik karena Mevin yang bersikukuh untuk menyuapinya. Mevin menggeleng, ia akan tetap menyuapi kekasihnya itu. Mevin juga mengambilkan minum yang ada di nakas sebelah ranjang Grace dan memberikan gelas minuman itu untuk Grace. Tanpa Mevin sadari, Grace melihat bekas jahitan di ujung dahi kekasihnya itu. Grace menaruh gelasnya di nakas, bersamaan saat Mevin menaruh piring makanan Grace.
Grace menahan tubuh Mevin, ia menarik dagu Mevin dan memiringkannya ke sebelah kanan, ia mengamati, benar itu luka jahitan.
“Mevin, kamu kenapa?” tanya Grace sambil tangannya berusaha menyentuh perlahan bagian itu tapi Mevin buru-buru menjauhkan wajahnya, seakan kikuk, tapi Grace kembali bertanya sambil menatap Mevin tajam.
“Kamu kenapa?” tanya Grace lagi.
“Nggak papa.”
“Mau kamu sendiri yang cerita atau aku tanya Mama Papa kamu?”
“Grace,” kata Mevin dengan nada lesu.
“Cerita. Aku nggak mau ada kebohongan! Apa lagi yang aku nggak tahu tentang kamu?” Nada bicara Grace sedikit ketus sekarang.
“Beberapa waktu lalu, kamu inget waktu aku nanya gimana keadaan kamu dan kamu bilang kalau keadaan kamu hancur? Setelah itu aku ngilang bukan karena aku sengaja, bukan. Aku lagi sama Kenzie waktu itu, aku nemenin dia nonton, waktu aku lihat chat kamu bilang gitu, aku sakit nyesek bukan main. Aku pengen nangis, aku ke toilet, keadaanku lagi nggak fit juga, aku lagi nggak enak badan, aku mau muntah nggak bisa, aku mau nangis nggak bisa, aku paksa sampai aku muntah dan sekalinya kaya gitu rasanya kaya semuanya keluar, lemes dan sakit, nyesek dan keinget kamu. Semua kaya gelap pelan-pelan, aku lupa gimana, aku jatuh kepalaku ngehantam wastafel aku jatuh. Udah aku nggak inget lagi. Aku sempet inget waktu di mobil, aku udah dipangkuan Mama Lea, aku denger suara Kenzie nangis, dan aku baru sadar besokannya, setelah hari itu, keadaanku nggak mudah. Aku kehilangan kamu, aku kehilangan diriku,” kata Mevin sambil berusaha mati-matian menahan air matanya, tapi di sisi lain Grace sudah meneteskan air mata.
“Sejak saat itu aku banyak cekcok sama keluarga, aku mulai gampang emosi, duniaku udah hancur. Aku nggak berani ngomong atau hubungin kamu, aku takut. Saat-saat paling ngeri di kehidupanku, saat keluargaku ada buat aku dan nerima aku tapi aku sendiri nggak bisa menerima diriku sendiri. Aku marah ke semua orang, aku bikin Papa, Mama, Jevin sama Ci Lauren nangis. Sikapku nyakitin semua orang, aku mulai ignore kamu, aku nggak mau kamu stay sama aku karena kasihan,” ujar Mevin, kini sambil menyeka air matanya, Grace masih menggenggam tangan Mevin erat dan mengelusnya dengan ibu jarinya yang bergerak lembut.
“Kamu takut hubungi aku atau kamu memang nggak mau?” tanya Grace.
“Takut, aku belum siap sama sebuah penolakan.”
“Penolakan atas dasar apa?”
“Kekurangan fisik dan semua keadaanku, keseluruhan dari hidupku.”
Grace melepaskan genggamannya, ia membelai bagian lutut Mevin, “nanti ini sembuh, dua-duanya sembuh, kamu bilang ke aku Tuhan itu dokter di atas segala dokter, kamu bilang kita harus punya faith, lemme say this, bahkan kamu yang mengubah semua mindset burukku. Kita tunggu sampai Tuhan dengar semua yang kita doakan ya? Biar Tuhan sembuhkan lebih cepat dari perkiraan tim medis, in His right time, Mevin, would you survive these things with me?”
“Grace―” Perkataan Mevin tidak dijawab oleh Grace tapi membuat Grace menarik lengan Mevin dan mendekap tubuh kekasihnya itu, Grace usap punggung Mevin lembut dan penuh kasih. Grace juga mengecup pipi Mevin lalu mendekap Mevin erat lagi. Mevin menangis di pelukan Grace saat itu juga.
“Maafin aku, sayang. Maaf udah jadi pecundang.” Bisikan dengan suara rendah itu didengar Grace dan kini, Grace menegarkan dirinya memaksa dirinya agar tetap tegar, biarkan Mevin menunjukkan sisi rapuhnya sesekali.
“Bukan, kamu bukan pecundang, kamu hanya mau semuanya bahagia,” kata Grace. Keduanya adalah sepasang yang saling enggan mengungkapkan ketakutan dan kegelisahan karena tahu dan paham bahwa keduanya sama-sama sedang terluka. Mevin membalas pelukan itu, ia sembunyikan wajahnya di sela leher Grace, pelukan nyaman ini sudah lama ia rindukan, pelukan ini sudah lama ia nantikan.
“Aku juga mikir kalau saat itu aku pergi selamanya kamu gimana, Papa Jeremy sama Mama Lea, juga Papa Jo gimana ya, aku udah nggak kuat waktu di mobil, nggak kuat banget, aku pasrah sama Tuhan, aku bener-bener berserah,” kata Mevin lagi. Grace yang mendengar kalimat itu pun sedikit meremas baju Mevin dan mengatur napasnya.
“Maaf kalau aku sempat jadi pribadi yang berbeda, semua karena keadaan dimana aku sempat nggak kuat, sekarang aku berusaha kuat karena aku tahu untuk siapa aja aku bertahan.” Mevin pun melepaskan pelukan lalu memegangi kedua bahu Grace dan menatap kekasihnya itu.
“Salah satunya kamu.” Di atas apapun juga sosok Grace memang sudah menjadi sesuatu yang mengubahkan hidup Mevin. Melampaui apapun juga, Mevin dan Grace memang menjadi alasan bertahan satu sama lain. Pelajaran kecil dan pelajaran besar mereka dapatkan kala bersama, mengarungi jatuhnya kehidupan, mengarungi lautan luka yang disajikan luas. Grace pun menepis tangan Mevin perlahan, “sekali lagi kamu self harm, aku bilangin ke Tante Lea,” katanya.
“Jangan dong,” balas Mevin sambil mencubit pipi Grace pelan. Grace pun menangkup kedua pipi Mevin dan mengecup dahi dan kedua pipi Mevin bergantian hingga mengecup ujung hidung Mevin juga.
“Jangan ada lagi aku lihat ada luka di wajah pacarku,” kata Grace lembut. Mevin menangkup kedua pipi Grace dan melakukan hal yang sama, mencium dahi, pipi kanan dan kiri, bibir serta ujung hidung Grace.
“Jangan aku lihat lagi bekas cakaran di wajah calon istri aku.” Perkataan Mevin membuat pipi Grace menghangat, dadanya berdesir, senyum malu-malu tersungging di wajah Grace.
“Jadi mulai sekarang udah bisa doa bareng lagi?” tanya Grace. Mevin tersenyum dan mengangguk antusias, ia kecup lagi punggung tangan Grace sesaat.
Grace saat itu tersenyum sumringah dan langsung memejamkan matanya, masih dengan saling menggenggam tangan dengan Mevin, “dear God―” Mevin yang mengerti maksud kekasihnya itu langsung memejamkan mata dan menggenggam tangan Grace juga.
“Thank you for giving us blessing in our relationship, thank you for giving us strength and ability to love and care for each other. May You help us stay committed each other, guide our future decisions for your glory, we believe that love heals all wounds in our heart. Let us trust that You can heal and change us. You bring us together again, even sometimes it is hard and difficult, You are redeemer for the broken relationship, restore hopes, heal the sick and the weak, we believe that You will heal me and Mevin at the right time.” Ucapan Grace terhenti saat ia menghela napas, tapi Mevin menyambungnya, “God, You know our struggles, we lift up ourself who are facing illness and weakness, please calm our fears, your healing and mighty hands upon us and we humbly ask that You have compassion on who are suffering and You will deliver us from our circumstances. Please bless us, bless our family and remind us that your plans for us are better than what we think. In the name of God we surrender all to Your hands.”
“Amen.” kata pamungkas penutup doa dirapalkan keduanya bersamaan, mereka saling menatap, Mevin kembali daratkan sebuah kecupan lembut di bibir wanitanya lalu memeluk Grace, “I love you, calon ibu dari anak-anakku, semoga jemurannya nggak ambruk lagi.” Mevin bisikkan kalimat menggelitik itu di telinga Grace, saat Grace memaksa hendak melepaskan pelukan karena terkekeh, Mevin menahannya. Keduanya saling memeluk dan berbagi seluruh rasa yang ada, hanya berdua, karena yang hilang dan berpisah sudah kembali bersama.