BERTEMU JOVIAN

Kepulan asap rokok mengambang di udara menemani Jovian yang sudah berjanji menunggu seseorang kali ini. Kepala Jovian diisi dengan berbagai pertanyaan perihal masa depan yang membuat banyak tanya bertebaran. Hari ini Jovian berjanji bertemu dengan Lea, tepat tiga tahun setelah Jovian melepas kepergian mendiang istrinya―ibu kandung Mevin. Hari ini Lea berjanji akan menemui Jovian dan sepengetahuan Lea, ia juga membawa Mevin, sebenarnya Jeremy ikut saat itu namun Jeremy memberikan waktu bagi Lea, Jovian dan Mevin dan ia lebih memilih menunggu di mobil.

Sekitar sepuluh menit Jovian menunggu nampak seseorang berjalan ke arah Jovian sambil menggendong anak kecil yang tampak sumringah, Jovian buru-buru mematikan puntung rokok dan menggilasnya dengan kakinya. Hingga Lea sampai di hadapan Jovian dan duduk di bangku yang berhadapan dengan Jovian.

“Hei, Jov.” sapa Lea sambil duduk dan memangku anak lelaki kecil yang ia bawa.

“Lea…”

“Ini Mevin,” kata Lea to the point sambil memangku Mevin dan menyentuh pipi Mevin lalu berkata, “itu Papa Jo, Papanya Mevin.” Lea mengarahkan pandangan Mevin kepada Jovian. Netra bayi kecil itu bersinggungan dengan netra Jovian pada satu titik tumpu.

Pria bernama Jovian itu masih terdiam, anaknya sudah tumbuh baik, mata Jovian berbinar ia merasa sangat bahagia namun tidak tahu harus mengekspresikannya bagaimana. Lea menyerahkan Mevin kecil kepada Jovian. Membiarkan anak lelaki itu dipangkuan ayah kandungnya.

Jovian sangat bahagia bahkan menyentuh pipi dan tangan anaknya saja ia gemetar. Untuk beberapa saat Jovian memeluk anaknya itu dan meluapkan segala kerinduannya.

“Kenapa ngerokok lagi? Bukannya dulu udah berhenti?” kata-kata Lea membuat Jovian kikuk, memorinya kembali ke masa kuliah dulu, memang benar Lea yang membuatnya berhenti merokok dan sekarang karena keadaannya yang kacau selepas kepergian mantan istrinya ia menjadi kalut dan hidup dalam penyesalan bertubi-tubi.

“Jov, jangan sentuh rokok lagi,” ucap Lea. Jovian hanya mengangguk.

“Maaf, iya, besok nggak lagi.” kata kata itu dilontarkan dengan mata Jovian yang memerah, Jovian memeluk anaknya itu lagi.

“Jov, pertemuan antara aku dan kamu berakhir perpisahan, dan jalan hidup kita masing-masing adalah pilihan kita, sejatinya hidup kan memang begitu, tapi untuk kamu dan anak ini aku nggak akan halangi kamu kapanpun kamu mau ketemu dia.”

“Terima kasih ya, Lea, bahkan aku masih ngerasa nggak pantes nemuin Mevin setelah ini dan selanjutnya. Aku terlalu malu sama diriku sendiri karena sampai akhir hidup Mamanya aku belum sempat kasih cinta yang tulus, setiap lihat Mevin aku merasa bersalah,” tutur Jovian dengan penuh rasa sakit dan penyesalan, sebenarnya ia rindu sungguh tapi daya tidak mampu namun nalarnya berkata itu tidak akan mungkin lagi terjadi. Kepergian membawa Jovian dalam penyesalan abadi.

“Jov, apa suatu hari kamu bakalan bawa Mevin sama kamu kalau Mevin udah dewasa? Kapan Mevin harus tahu tentang kamu?” kalimat itu dirapalkan Lea dengan sedikit nyeri dalam hatinya. Namun bukankah pada hakikatnya memang Jovian berhak untuk Mevin? Bagai ditampar kenyataan kalau Lea membayangkan suatu hari ia harus melepas Mevin. Keduanya sibuk mempertanyakan, bahkan Jovian hanya tersenyum, menggelengkan kepala serta mengangkat bahu.

“Kalau sama Mevin bikin kamu bahagia aku nggak akan renggut kebahagiaan itu dari kamu, nggak akan pernah, Lea. Aku nggak mau jadi orang yang menghancurkan kebahagiaan kamu untuk kali kesekian. Aku nggak akan pisahin kamu dari Mevin. Aku nggak mau Mevin pisah dari kamu dan Jeremy―orang yang pada akhirnya memenangkan pertandingan buat menangin hati dan kepercayaan kamu.” Jauh dalam lubuk hati Jovian ia memang masih menghendaki kebahagiaan untuk Lea, terlebih saat mengingat kepalan masa lalu, Lea adalah bukti nyata kehancuran pertama yang Jovian buat. Kali ini ia tidak ingin merenggut kebahagiaan itu lagi. Sejatinya melihat Lea bahagia adalah suatu kelegaan juga untuk Jovian. Tidak ada lagi perdebatan yang terjadi kala itu. Kalau sudah tidak saling menggenggam setidaknya Jovian tidak menorehkan ruam untuk Lea lagi.

Jovian sadar ia mungkin tidak akan bisa membesarkan Mevin dengan baik saat ini, kehancuran finansial dan bisnisnya, serta kehancuran pribadi perasaannya tidak bisa menjanjikan kehidupan layak untuk Mevin. Bertemu anaknya dengan keadaan seperti ini sudah membuatnya bahagia. Melihat senyum dan tawa anak lelakinya sudah membuatnya sedikit tenang.

Saat itu Jeremy yang sedang menunggu di mobil terkejut melihat Jovian yang menggendong Mevin dan Lea yang berjalan di sebelahnya. Jeremy pun cepat-cepat keluar dari mobil. Sampai di hadapannya, Jovian tersenyum kepada Jeremy, Jovian menyerahkan Mevin ke gendongan Jeremy, persis seperti saat Mevin lahir karena saat itu juga Jovian sendiri yang menyerahkan Mevin kepada Jeremy.

Lea berpindah posisi ke sebelah Jeremy, Lea pun berkata, “kami pamit ya, Jov.”

“Jeremy, Lea, aku nggak akan ambil Mevin dari kalian. Tolong jaga Mevin dan besarkan dia seperti anak kandung kalian sendiri ya. Aku percaya kalian lebih baik dalam menjaga daripada aku.” Jovian tertunduk.

“Jov, kapanpun kamu mau ketemu Mevin, saya sama Lea nggak akan larang.” Jeremy berkata tanpa dendam.

Jovian menatap Lea dan Jeremy bergantian, “nanti aja kalau Mevin udah dewasa, biar dia tahunya kalian orang tuanya, bukan aku. Kata orang tua pun nggak pantas sepertinya buat aku,” katanya.

“Aku pamit.” Belum sempat Jeremy dan Lea membalas ucapan Jovian, pria itu lebih memilih berpamitan dari sana. Untuk sekejap, Jovian menatap mata anak lelakinya, anak kecil itu nampak sumringah di gendongan Jeremy.

“Hati-hati, Jov. Jangan sungkan kasih kabar kalau kesini,” balas Jeremy. Jovian mengangguk dan tersenyum. Mevin kecil memeluk Jeremy dan menatap Jovian lekat, Jovian melambaikan tangan yang dibalas oleh Mevin kecil, “bye….” Gumam anak kecil itu. Mata Jovian terasa sangat panas, langkahnya sangat berat, tapi ia meninggalkan Jeremy, Lea dan anaknya dengan senyum yang ia ulas di wajahnya.

“Mevin seneng ketemu Papa Jo?” tanya Lea sambil mengusap pipi Mevin yang masih ada di gendongan Jeremy.

“Papa? Ini Papa…” Mevin menepuk dada Jeremy. Lea dan Jeremy saling menatap lalu tersenyum, Lea mengecup pipi anaknya itu sejenak, “iya, ini Papanya Mevin.”