BEST BROTHER

Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan Calvin masih dengan kesendiriannya menyusuri jalanan sepi. Di tubuhnya hanya menempel pakaian yang ia kenakan, ditambah dengan hoodie hitamnya, ponsel yang ia genggam sedari tadi berdering tapi tidak ia gubris sama sekali. Panggilan dari Jeremy, Lea, kedua orang tuanya yang sangat khawatir sampai ke Willy, Jevin dan Mevin pun tidak Calvin hiraukan.

Calvin pun memilih berhenti di sebuah halte, ia duduk di sana sendirian memandangi kendaraan yang berlalu lalang. Kalimat demi kalimat yang tadi ia baca di sosial media masih jelas teringat di kepalanya, memang fakta yang ia baca tapi entah mengapa hatinya sangat sakit saat membaca semua itu. Calvin tahu kalau yang dikatakan semua orang itu benar adanya, tapi tetap saja hal itu membuatnya sedih.

Memandangi langit malam dan hiruk pikuk kendaraan di jalanan membawa Calvin berkelana kepada pikiran masa lalunya saat ia bertemu Jeremy dan Lea untuk pertama kali dan ia diberi pekerjaan. Rasanya sangat mustahil dan masih sulit untuk dipercaya, Calvin yang tadinya hanya sebagai asisten Jeremy kini diangkat menjadi anak angkat keluarga Adrian dan ia menemukan arti rumah yang sesungguhnya disana. Bintang malam dan rembulan menggantung menyaksikan Calvin yang masih terdiam seorang diri di sana.

Kepala Calvin menunduk saat melihat ponselnya, sebuah pesan dikirimkan Lea, Mamanya. Calvin sayang, pulang ya nak. Calvin dimana? Mama khawatir sama Calvin.

Sungguh, mungkin ini pesan ke sekian yang Lea kirimkan kepada Calvin tapi Calvin hanya menghela napas lalu memasukkan lagi ponselnya ke dalam hoodienya. Calvin tertunduk, orang yang berlalu lalang di sana mengabaikan kehadiran Calvin. Sampai akhirnya Calvin merasakan ada yang duduk di sebelahnya, diam tidak berkutik sama sekali. Sampai akhirnya sudah beberapa menit hening, Calvin merasakan orang di sebelahnya mengusap punggung Calvin.

Sontak Calvin menoleh, “Ko Mevin?” Calvin terkejut bukan main.

Mevin menoleh, tersenyum kepada adiknya itu, topi hoodie Calvin dilepas Mevin lalu Mevin mengacak rambut adiknya itu, “ngapain pergi sendirian? Nggak ngajakin koko?” tanya Mevin.

Calvin terdiam. “Kenapa pergi dari rumah?” tanya Mevin lagi.

Calvin mengalihkan pandangannya enggan menatap Mevin.

“Kenapa nggak angkat telepon?” tukas Mevin.

Calvin masih belum berani menatap Mevin.

“Calvin,” panggil Mevin lagi yang akhirnya membuat Calvin menoleh.

“Kenapa?” tanya Mevin lembut.

“Takut.”

“Takut sama siapa?”

“Sama omongan orang, padahal itu fakta.”

Mevin menghela napas panjang, “Calvin, listen, nggak akan ada yang bisa nyakitin kamu lagi, semua yang di sosial media biarin aja. Koko udah makan pahit manisnya kayak gitu sejak dulu, koko tahu ini hal yang nggak biasa buat kamu bahkan baru pertama kali, tapi please inget masih ada Koko, Ko Jevin sama Ko Willy sama Papa dan Mama. Kita bakalan lindungin kamu dari apapun dan dari siapapun. Fakta emang kalau kita bukan anak kandung keluarga Adrian. Tapi apa kita keluarga Adrian peduli hal itu? Yang kita semua tahu kita keluarga, koko sama kamu anak Papa Jeremy sama Mama Lea, titik. Nggak ada embel-embel anak angkat lagi, ataupun anak pungut. Kita anak Papa sama Mama, udah.”

Calvin melongok menatap Mevin, “tapi sakit bacanya.”

“Pasti, tapi kita nggak bisa bungkam mulut dan ketikan orang di luar sana, Calvin. Yang kita bisa lakuin Cuma buktiin kalau keluarga kita baik-baik aja, nggak peduli siapa lahir dari rahim Mama Lea atau bukan. Kamu sendiri yang tahu, kita sendiri yang tahu gimana kasih sayang dan kehangatan keluarga Adrian, right?” Mevin berkata dengan mengangkat alisnya. Calvin mengangguk perlahan.

“Senyum dulu baru kita pulang,” kata Mevin.

Calvin terkekeh, kedua sudut bibirnya ia tarik membentuk simpul tipis.

“Good then, that’s my bro,” kata Mevin sambil merangkul Calvin.

“Koko sendirian nyusulin Calvin?” tanya Calvin. Mevin menggeleng, ia pun menoleh ke sebelah kiri, Mevin memundurkan badannya sedikit sehingga Calvin bisa melihat sebuah mobil terparkir disana dengan dua orang tengah bersandar di badan mobil sambil melipat tangan mereka di depan dada dan memandangi Calvin juga Mevin.

Sesuai dugaan, Jevin dan Willy ada di sana. Mereka pun berjalan mendekat ke arah Mevin dan Calvin.

“K-ko Jevin? Ko Willy?” Calvin kaget karena kedua kakak laki-lakinya juga ada di sana. Jevin duduk di sebelah kanan Calvin mengisi space kosong dan Willy berlutut di depan Calvin.

“Ngopi dulu berempat mau nggak?” tanya Willy.

“Papa sama Mama khawatir sama kamu, tapi kita semua juga khawatir sama kamu, pasti baru pertama kali kan ngalamin kayak gini? Mevin mah udah tahan banting itu,” kata Jevin sambil menunjuk Mevin dengan dagunya.

“Jadi gimana? Ngopi nggak nih?” Willy bangkit berdiri dan mengeluarkan dompetnya bergaya melihat stok uang di dalamnya.

“Gaya lu, anjir,” Jevin menepuk lengan Willy, Calvin dan Mevin hanya terkekeh.

“Banyak nih duitnya bau-baunya,” celetuk Mevin.

“Habis ngeprint,” balas Willy sambil memasukkan lagi dompetnya ke celananya.

“Kita semua belum makan nih nyariin kamu, kalau kamu nggak terima ajakan Willy buat nongkrong dulu sebelum pulang, kita nggak boleh makan sama dia,” bisik Jevin.

“Gue denger, jangan menyebar hal yang iya-iya,” kekeh Willy.

“Ayo Vin, tentukan pilihanmu sekarang, mau tirai tiga atau nongkrong sama makan dulu?” kata Mevin bergurau. Calvin terkekeh, ia tidak menjawab tapi malah memeluk Jevin, Mevin dan Willy bergantian barang beberapa detik.

“Ko Willy, Ko Jevin, Ko Mevin makasih banyak ya.” Calvin menatap mereka satu per satu dengan tatapan sendu.

“No need to say thanks, lah. Nggak akan ada yang bisa jatuhin kamu, apapun yang orang bilang, kamu sendiri yang udah tahu gimana keluarga kita, jangan ngerasa nggak berharga, nggak pantas atau apalah itu.” Willy berkata dengan penuh penekanan.

“Mau orang bilang nggak pantas jadi bagian keluarga ini atau apapun itu, buat kita kamu tetap Calvin anak Papa sama Mama, adik kita semua. Bagian keluarga Adrian, anak di keluarga Adrian. Oke?” Jevin kini merangkul adiknya itu.

Perlahan Calvin tersenyum lalu ia mengangguk, tidak tahu lagi harus berkata apa untuk mengungkapkan rasa syukurnya terhadap keluarga ini.

“Mereka yang sirik itu nggak bisa join keluarga kita, biarin aja.” Mevin menambahkan.

Calvin pun bisa tersenyum lebar dan mengangguk mendengar kata-kata dari ketiga kakak laki-lakinya itu.

Akhirnya malam itu, Calvin bisa merasa tenang, ketiga kakak laki-lakinya memang yang selalu ada dan membuat semua perasaan dan pikiran buruk itu pergi. Syukur tiada terhingga Calvin panjatkan kepada Tuhan yang memegang hidupnya, diberikan keluarga seperti keluarga Adrian adalah salah satu hal yang sangat Calvin syukuri sampai saat ini, karena dulu Calvin sempat berpikir apakah sampai akhir hidupnya ia harus merasakan penderitaan dan merasa diabaikan? Tapi nyatanya Tuhan jawab doa Calvin, diberikanNya keluarga yang menjadi rumah Calvin untuk pulang, keluarga Adrian akan jadi rumah bagi Calvin selamanya. Meski perjuangan untuk menemukan rumah ini harus mempertaruhkan keselamatan dan nyawa Calvin.