Boleh Grace tanya sama Tuhan langsung?

Tw // self harm, suicidal thoughts, toxic family

Tidak usah pertanyakan bagaimana hancurnya perasaan Grace setelah Mamanya mengatakan bahwa Mamanya tidak akan peduli sama sekali kepada Grace. Malah mengatakan bahwa Grace adalah anak yang tidak tahu diri. Pesan yang seorang ibu kandung kirimkan malah membuat Grace terpuruk disaat ia ingin membuka lembaran baru untuk perjalanannya yang baru, ia malah dijatuhkan oleh kata-kata yang orang tuanya lontarkan. Ia semakin merasa dirinya kotor, untuk apa bertahan hidup kalau hanya diinjak-injak dan tidak dianggap oleh keluarganya? Untuk apa hidup kalau hanya dianggap aib dan durhaka. Padahal semua ini bukan kemauannya dan bukan keinginannya.

Grace menangis sendirian di kamarnya, tidak paham dengan apa yang sebenarnya terjadi. Kehilangan harga diri bahkan Grace kehilangan dirinya kali ini. Apa masih kurang semua hal yang ia terima selama ini? Merasa sesak, dua jam lebih sudah Grace habiskan untuk menangis di kamar, pesan dan panggilan dari Mevin tidak ia hiraukan barang sebentar. Beberapa barang-barang sudah berserakan di lantai karena Grace sudah menyerakkanya. Baru saja ia merasa senang bertemu Alicia yang ia anggap dan ia harap mungkin bisa membantunya sembuh tapi seorang ibu kandungnya datang menghancurkan ekspektasi itu.

Hari itu terasa sangat panjang dan melelahkan bagi batin dan hati Grace, gangguan kecemasan dan khawatir sepanjang hari yang Grace alami nyatanya bertambah memuncak hari ini. Grace diam sejenak, memandangi dirinya di cermin, kaos berlengan pendek dan celana pendek yang ia kenakan membuat luka cakaran dan sayatan di tubuhnya kembali terlihat, nyatanya luka cakaran dan sayatan itu mungkin akan bertambah setelah ini.

“Kotor! Bodoh!” umpatnya pada pantulan dirinya di cermin.

“Durhaka! Aib keluarga! Tidak tahu diri! Dijual ayah sendiri! Kamu itu dijual!” kata Grace dengan penuh penekanan, ia menyeringai tapi ada air mata yang jatuh di atas seringainya itu. Rambut Grace ia acak kasar dengan jarinya sendiri lalu ia menjerit di dalam kamarnya itu. Grace sekali lagi bercermin lalu meraih hoodienya. Hoodie Mevin lebih tepatnya. Ia pakai hoodie itu, ia berjalan menyusuri jalanan negeri Singapore seorang diri di malam hari kali ini.

Melihat hiruk pikuk dan gemerlap kota di malam hari nyatanya hanya membuat pikiran Grace tambah bising. Setiap langkah yang ia pijak selalu terbayang akan kata “mati”. Sungguh, lelah itu datang lagi, ketidakstabilan emosi itu datang lagi. Grace melayangkan pandangannya ke setiap orang yang lewat, meski tidak ada yang menatap Grace tetap saja ia merasa cemas. Grace pun memakai topi hoodienya agar menutupi wajahnya. Hingga akhirnya ia tiba di sebuah halte, ia duduk disana, sendirian.

Melihat kendaraan lalu lalang, bus yang melaju kencang di jalurnya, Grace melihat orang-orang yang masih sibuk berjalan, berkendara atau bahkan menelfon sambil menyetir. Grace juga memandang seorang ayah dan ibu yang berjalan beriringan menggandeng anak kecil berusia sekitar lima tahun dengan es krim di tangannya, nampak sangat bahagia.

“Mama sama Papa biarin aku hidup sendiri, nafkahin diri sendiri, aku dijual, udah kotor. Nggak pantas buat siapa-siapa. Sekarang mau apa?” batin Grace.

“Kalau ditanya mau apa nggak bisa jawab, mau nanya ke sesama manusia atau orang terdekat bahkan Mevin sekalipun nggak akan ada yang tahu. Kalau aku nanya ke orang nggak akan ada yang jawab. Nanya ke Tuhan langsung apa, ya?” suara hati kecil Grace masih mendominasi.

Tanpa disadari, Grace menundukkan kepalanya dan air mata mulai menetes membasahi pipinya dan tidak ada seorangpun yang melihat Grace. Ia menyeka air matanya dengan punggung tangannya sendiri. Bayangan sosok Papa, Mama dan Brandon datang lagi membuat Grace menggigit bibirnya menahan erangan hingga akhirnya Grace membuka mata dan menyeka kasar wajahnya yang basah karena air mata.

Ia menatap langit, gelap, tidak ada bintang ataupun sang rembulan malam. “Tuhan lagi marah hari ini? Rasanya gelap banget,” bisiknya dalam hati. Sebuah senyum yang dipaksakan kembali teruntai di wajah Grace, ia mendengus menghela napas panjang. Ia melihat beberapa bus yang melaju kencang berkali-kali lewat di hadapannya. Angin malam menerpa tubuh ringkih Grace, namun sama sekali tidak menggoyahkan Grace.

“Kalau orang di dunia nggak ada yang bisa jawab pertanyaanku tentang hidup ini apa harus tanya ke Tuhan langsung aja, ya? Tanya ke Tuhan langsung, ketemu Tuhan. Gitu aja, ya?” Grace melihat ke sekitarnya, memang, beberapa kendaraan bahkan bus melaju kencang.

“Kalau bus itu lajunya cepet, aku ada disana, tepat di depannya, tanpa ngerasa sakit bisa ketemu Tuhan setelah itu, ya? Daripada semua pertanyaan itu cuma berkutat di kepalaku, tanpa ada yang bisa kasih jawaban. Untuk menafsirkan isi kepalanya sendiri pun Grace tidak bisa untuk sekarang.

“Perpisahan tanpa selamat tinggal sounds good.

“Mevin...” Nama sang pemilik hati sekelebat lewat di pikiran Grace, membuatnya menghela napas panjang. Maka Grace bangkit berdiri dan berdiri tepat dipinggir jalan itu.

“Ketemu Tuhan, aja, ya? Kayaknya rumah Tuhan lebih indah dari dunia ini. Nanti bisa tanya-tanya ke Tuhan langsung tentang semua maksudNya. Maksud aku dilahirkan, maksud aku dijual, maksud aku diperkosa, maksud Mama sama Papa buang aku. Maksud semua hal yang terjadi di dunia ini.” Usai merapalkan kalimat itu di dalam hatinya, Grace menoleh, sebuah bus melaju kencang dari arah kanan Grace. Ia tersenyum, satu langkah maju. Bus itu mendekat, butuh sekitar tiga langkah lagi untuk sampai ke tengah dimana bus itu bisa menghantam tubuh Grace seketika. Grace pejamkan matanya.

“Grace ijin ketemu Tuhan, ya?”

“Grace mau nanya ke Tuhan langsung, boleh?”

“Grace boleh pulang?” Maka saat Grace membuka mata, ia merasakan seseorang memanggil namanya.

“Grace!”

Grace menoleh dan mendapati seorang pria paruh baya disana. Papa dari Tela ada disana, ya! Seseorang memanggil Grace dan menghentikan langkah Grace saat ia berpikir akan pergi dari dunia ini. Maka Grace berbalik badan dan melangkah satu langkah maju lalu terdiam. Grace biasa memanggil beliau Uncle. Maka saat itu juga Uncle duduk di bangku halte yang tadi Grace duduki, menepuk space kosong di sebelahnya mengisyaratkan agar Grace duduk disana―dengan tersenyum. Grace benar-benar tidak bisa mengekspresikan apa yang ia rasakan.

Dengan langkah gemetar ia dekati Uncle dan duduk di sebelahnya.

“Anak cantik mau kemana? Tadi Tela nyariin Grace, katanya kosong nggak ada di apart. Kok sendirian?” tanya Uncle yang berhasil membuat Grace langsung tertunduk dan terisak. Masih ada yang mencarinya, masih ada yang peduli, Tuhan belum ijinkan Grace pulang sekarang! Belum diijinkan! Barang sekian kali Grace meminta kepada Tuhan kalau belum diijinkan Sang Empunya kehidupan untuk pulang, maka belum.

Diantara jutaan luka yang Grace dapatkan, diantara jutaan rasa sakit yang membuatnya ingin segera bertemu Tuhan, masih ada yang ingin Grace tinggal. Belum saatnya. Maka Uncle hanya menepuk dan mengelus punggung Grace yang menangis di sebelahnya. Membiarkan gadis itu terisak dan berulang kali menyeka air matanya sebelum Uncle mengajaknya pulang.