BROTHERS

Eugene sebenarnya sudah berada di depan sekolah Yoel sedari tadi. Usai membaca pesan yang dikirimkan Axel, Eugene pun langsung menuju ke sekolah adiknya itu tapi yang terjadi adalah kesalahpahaman yang membuat keduanya berdebat. Eugene pun mengalah, kalaupun ia menghampiri adiknya ke UKS sekolah, pasti akan lebih ribut lagi apalagi ini di lingkungan sekolah. Tidak ingin menambah keruh keadaan, akhirnya Eugene pulang.

Sesampainya di rumah pun sedang tidak ada siapapun, kedua orang tua mereka masih bekerja dan Michelle, adik Eugene dan Yoel masih harus les dan kemungkinan kembali lagi ke rumah menjelang sore nanti. Akhirnya Eugene pun berjalan ke dapur, membuka kulkas mencari air dingin untuk ia minum. Tapi, saat membuka kulkas, ia melihat sebuah cup kopi, ia mengambilnya. Tepat di cup itu tertulis “Buat Ko Eugene, semangat begadang” tangan Eugene sedikit gemetar saat membaca tulisan itu. Ia langsung menaruh cup kopi itu di atas meja makan dan ia duduk di kursi yang ada di sana.

Eugene memijit keningnya dengan jarinya sendiri, sungguh ia merasa bersalah terhadap Yoel. Eugene juga teringat tadi ia sempat mengirim kata-kata kasar kepada adiknya itu. Sungguh, Eugene terbakar emosi tadi dan sekarang ia menyesal. Setengah mati Eugene memikirkan dengan cara apa ia harus meminta maaf kepada adiknya itu. Belum sempat menemukan cara, ia melihat Axel dan Yoel yang datang. Yoel berboncengan dengan Axel dan saat turun dari motor hendak memasuki rumah pun Yoel masih harus dituntun. Maka Eugene pun cepat-cepat menghampiri Yoel dan Axel.

“Axel, makasih ya udah anterin Yoel.” Eugene yang kini berdiri di ambang pintu rumah membuat Axel tersenyum dan mengangguk.

“Iya ko, sama-sama. Kalau gitu gue pamit ya, Ko.” Axel tidak lupa menunjukkan sopan santunnya sebagai sahabat Yoel dengan memberi salam dan berpamitan kepada Eugene.

“Yo! Hati-hati, nggak usah ngebut!” kata Eugene.

“Makasih, bray!” kata Yoel juga sambil mengacungkan jempol kepada Axel yang sedang memakai helmnya. Axel mengangguk dan tersenyum sebelum melajukan motornya dari sana.

Yoel pun langsung masuk ke rumah tanpa menoleh menatap kakak laki-lakinya itu. Eugene menghela napas panjang sebelum berjalan menyusul Yoel, ia meraih tangan adiknya itu karena melihat langkah Yoel yang masih terseok tapi yang Yoel lakukan adalah menghempaskan tangan Eugene.

“Lepas!” kata Yoel kasar. Tapi yang Eugene lakukan adalah meraih tangan Yoel dan membuat satu tangan Yoel bertengger di pundaknya dan berniat memapah Yoel. Dengan cepat Yoel melepaskannya lagi, tas yang ia gendong ia lepas dan banting ke lantai begitu saja, hal itu membuat Eugene tercengang.

“Lo kenapa sih?!” bentak Yoel.

“Kenapa? Gue Cuma peduli sama adek gue, salah? Iya?” tanya Eugene.

“Stop peduli sama gue karena Cuma bikin gue ngerasa jadi anak yang lemah nggak bisa apa-apa!” Yoel menatap tajam Eugene dengan mata yang memerah.

“Gue kakak lo! Gue berhak buat lindungin adek gue sendiri! Salahnya dimana?!” nada bicara Eugene pun kini meninggi. Eugene jelas melihat ujung bibir Yoel yang berdarah, kaki kiri Yoel yang masih harus di fisioterapi juga sesekali diusap Yoel dengan tangannya sendiri, wajah Yoel pun menyiratkan bahwa ia kesakitan.

“Salah karena gue jadi ngerasa nggak bisa apa-apa! Nggak berguna! Itu yang gue rasain! Biarin gue berdiri di atas kaki gue sendiri sekarang, toh gue kan ngerepotin lo doang, ngerepotin keluarga ini kan?!”

“DEK!” Bentak Eugene seketika, Yoel langsung enggan menatap wajah kakaknya itu, Yoel langsung berjalan dengan sedikit menyeret kaki kirinya yang sakit tapi ia hampir terjatuh, sigap Eugene langsung meraih tubuh adiknya itu tapi Yoel langsung menolak dan menghempaskan tubuh kakaknya hingga Eugene terhuyung tapi Yoel malah jatuh ke lantai.

Tas yang ada di dekat Yoel ditendang Yoel dengan kaki kanannya, “STOP BIKIN GUE MERASA NGGAK BISA APA-APA!” jerit Yoel sampai suaranya serak, sedetik ia tenang, sedetik kemudian ia mulai terisak. Jujur, hati Eugene sakit melihatnya. Yoel memang beberapa kali sempat dibully karena tidak naik kelas di semester lalu hal itu beberapa kali mengganggu Yoel dan keadaan batin Yoel, dan sekarang ia sampai terlibat perkelahian padahal keadaan kesehatan fisiknya belum pulih sepenuhnya. Eugene merasakan sesak di dadanya, benar-benar sesak melihat adiknya menangis seperti itu. Akhirnya Eugene kesampingkan egonya, ia berjalan mendekat ke arah Yoel dan berlutut di depan Yoel.

“Lo kenapa nggak ngelawan mereka? Axel bilang lo diem aja, kenapa??!” Eugene bertanya dengan nada tinggi.

Yoel masih tertunduk, “mereka bilang gue bodoh, dan gue merasa nggak bodoh, jadi gue nggak ngelawan. Tapi mereka nyerang gue duluan, omongan itu beneran lebih nyakitin dari pukulan yang gue terima. Gue dikatain tolol, malu-maluin, haha… banyak…” ia tertawa pedih.

“Pernah keluarga kita bilang malu karena lo? Enggak kan?”

“Tapi orang lain malu.”

“Mereka bukan siapas-siapa, Yoel!”

Yoel mendongak, menarik satu sudut bibirnya, tertawa di atas air mata yang terus jatuh, “mereka itu yang gue temuin setiap hari di sekolah dimana waktu gue di rumah pun lebih sedikit, kan? Tapi omongan nyakitin dari orang-orang tuh ngebekas banget. Lo nggak ngerti kan? Ya nggak lah, kan lo selalu perfect dalam hal apapun.”

“Siapa bilang? Lo pernah tahu emang berapa mata kuliah yang gue harus ulang? Lo pernah tau nggak gue pernah sakit apa aja makanya gue nggak bisa banyak olahraga kayak lo. Bebas basket, renang, futsal, itu lo sebut gue perfect?” kini Eugene lebih menghaluskan cara bicaranya. Yoel terdiam, ia tertegun tak mengalihkan pandangan dari kakak laki-laki di hadapannya itu.

“Karena gue bangga sama lo, gue nggak akan biarin satu orang pun hancurin lo dan ngebully lo yang udah bikin gue bangga jadi kakak. Lo boleh nggak naik kelas kemarin, but see, previous mid term you can get first rank, I’m a proud brother… all of our family so proud of you.” Kalimat Eugene ditelaah baik-baik oleh Yoel, anak lelaki itu tidak bisa menyanggah apapun dan tidak bisa berkata apa-apa lagi.

Tangan Eugene bergerak mengusap pergelangan pelan kaki kiri Yoel, “fisioterapi lagi, biar ini sembuh, biar bisa basket, futsal, renang, biar nggak sakit lagi. Karena gue nggak bisa lakuin itu semua, lo aja yang lakuin, gue lihatnya udah seneng banget, beneran. Ya?” katanya.

Yoel ingin meledak dalam tangis saat ini juga, tapi ia tahan mati-matian. Air matanya masih terus mengalir dan ia masih mendengarkan penuturan Eugene, “gue nggak se sehat lo, gue nggak sekuat lo karena waktu kecil gue sempat sakit yang cukup serius dan harus konsumsi obat jangka waktunya pun hitungan tahun, bukan hari doang. Gue bangga, gue seneng kalau lo bisa lakuin apa yang lo mau. Gue nggak pernah merasa terbebani, gue nggak pernah merasa lo malu-maluin, nggak berguna atau nggak bisa apa-apa. Malah gue ngerasa lo udah nunjukin sisi terbaik diri lo. Tapi satu hal yang gue nggak mau lihat… gue nggak mau lihat adik gue terluka dan down, itu. Siapapun yang mau jatuhin adik gue, hadepin gue langsung.”

Seketika menggema lah tangisan Yoel, ia tidak bisa menahannya lagi, ia melipat lututnya dan melipat tangannya di atasnya lalu membenamkan wajahnya di sana. Punggung Yoel bergetar bukan main. Eugene mendekat dan mengusap punggung Yoel pelan.

“Maaf kalau gue tadi kasar banget sama lo, maaf kalau omongan gue juga nyakitin lo, Dek… maaf ya…” ujar Eugene menyesal. Eugene pun duduk di sebelah adiknya itu lalu merangkul Yoel dari samping sesekali mengusap kepala adiknya dan mengacak rambut Yoel pelan.

“Jagoan jangan nangis gitu, ah. Mana gebrakannya?” Eugene mencoba mencairkan suasana.

Yoel perlahan menjadi lebih tenang, Yoel menoleh dan menatap kakaknya itu. “Ko…” katanya. Eugene mengangkat alisnya seakan bertanya.

“Jangan bilang Papa sama Mama, ya,” kata Yoel lirih. Eugene tersenyum dan mengangguk.

“Anyway, ada kopi di kulkas gue beli buat lo, Ko. Diminum ntar ya,” kata Yoel sambil tersenyum tipis.

“Makasih ngab!” kata Eugene sambil terkekeh yang membuat Yoel juga terkekeh meski dengan harus menyeka air matanya sendiri. “Once again please remember that I’m so proud of you,” kata Eugene sekali lagi sambil merangkul adiknya itu. Yoel tersenyum haru, ia mengangguk, “I’ll make this family proud of me,” katanya bersemangat. Eugene mengacungkan ibu jarinya lalu mengacak lagi rambut adiknya itu.

“Kayak gembel banget tapi ini kita ngemper nyender di belakang sofa gini,” celetuk Eugene, Yoel terbahak, “ya udah simulasi diusir Mama Papa kalau kita berulah,” balas Yoel.

“Nah, kalau bagian diusir gue nggak dulu,” kata Eugene sambil menyentil jidat Yoel pelan.

“Ko!!!” rengek Yoel.