Calvin & Jeremy
Calvin Peter Abraham, anak lelaki berusia dua puluh tahun yang bekerja di rumah Jeremy dan Lea sebagai supir Lea dan Jeremy. Yang pertama kali bertemu Calvin adalah Lea, saat Lea hendak pulang seorang diri dari Beauty Bar miliknya, seseorang hendak mengambil tas Lea secara paksa tapi Calvin datang dan membuat sang pencopet kabur dan berhasil menyelamatkan tas milik Lea.
Calvin yang saat itu datang dengan keadaan rapi membuat Lea kebingungan, akhirnya singkat cerita Lea mengajak Calvin untuk makan siang sebagai wujud tanda terima kasih dan menelepon Jeremy untuk menyusul juga.
Saat mereka bertiga saling mengobrol ternyata Calvin memang sedang mencari pekerjaan. Ijazahnya hanya ijazah SMA, tapi ia juga sedang menempuh pendidikan di bangku kuliah. Lebih tepatnya bekerja dan menempuh pendidikan, dengan hasil keringat dan jerih payahnya sendiri.
Akhirnya Jeremy menawarkan pekerjaan kepada Calvin yaitu sebagai supirnya dan Lea, kebetulan Calvin juga bisa mengendarai motor dan mobil, jadi bukan suatu masalah bagi Calvin. Bahkan Jeremy berkata kalau Calvin sudah selesai menempuh pendidikan Sarjananya, jika ada lowongan pekerjaan yang Jeremy tahu, mungkin Jeremy bisa memberikan infonya kepada Calvin.
Hal itu sangat disyukuri Calvin ditengah keterpurukannya. Hidupnya mungkin bisa dibilang jauh dari kata beruntung, berbagai perlakuan kasar orang tua sudah ia terima. Bahkan beberapa hal yang orang tuanya lakukan seperti memukul, melemparkan vas bunga, atau bahkan memaki Calvin membuat Calvin sering dilarikan ke rumah sakit. Siapa yang mengantar? Bukan orang tuanya tentu saja.
“Calvin,” kata Jeremy saat Calvin hendak meninggalkan ruang tamu.
“Ya, Pak?” Calvin berbalik badan dan menganggukkan kepala.
“Masih tinggal di kos-kosan?” tanya Jeremy yang membuat Calvin kikuk. Tapi, setelahnya Calvin mengangguk.
“Besok pindahin barang-barang kamu kesini, satu kamar di belakang sebelah kamar suster, itu buat kamu.” Ucapan Jeremy dibarengi dengan Jeremy yang bangkit berdiri berjalan mendekat ke arah Calvin.
“Pak… nggak usah nggak papa,” kata Calvin segan.
“Kamu nggak ada rumah lagi, kan? Nggak seharusnya seusia kamu sudah hidup dan cari nafkah sendiri. Sembilan belas tahun kan usia kamu?” Calvin mengangguk lagi.
“Tapi saya memang nggak punya rumah lagi, nggak ada keluarga lagi, saya memutuskan tinggal sendiri sejak lama.
Keluarga saya juga nggak peduli sama saya,” ujar Calvin.
Akhirnya Jeremy mengajak Calvin duduk lagi di ruang tamunya.
“Kalau mau cerita boleh,” kata Jeremy dengan tenang.
“Saya malu,” kata Calvin sambil menggaruk kepalanya.
“Kenapa harus malu?” Akhirnya Calvin menghela napas lalu mulai bercerita, “sebelumnya saya minta maaf ya pak kalau saya kadang teledor. Saya suka lupa, karena saya short term memory, karena dulu sering ada insiden yang langganan mampir ke kepala saya. Setelah berobat, ternyata kata dokter ya semacam syndrome dory.” Perkataan Calvin itu membuat Jeremy mengernyitkan alisnya.
“Maksudnya? Cidera kepala?” tanya Jeremy kebingungan.
“I… iya, saya sering dipukul, kepala saya jadi sasaran orang rumah buat lempar barang. Dan berujung ke rumah sakit karena udah luka. Eh, maksudnya kalau udah luka. Kalau belum ya dirasain sendiri aja sakitnya,” ujar Calvin yang benar-benar membuat Jeremy kaget. Ternyata ini alasan selama ini Calvin sering lupa.
“Kenapa kamu yang jadi sasaran?”
Calvin mengedikkan bahunya, “karena saya nggak diinginkan, karena kelahiran saya sangat amat tidak diinginkan kayaknya, Pak.” Kalimat itu diucapkan Calvin dengan tenang, Jeremy mulai paham keadannya.
“Vin, gini aja, saya beliin kamu handphone baru, dipake ya? Jangan ditolak, kamu bisa catat hal penting, bikin reminder, dan lain-lain. Uang kamu nanti disimpen aja. Tenang aja, gaji tetap saya kasih, dan satu lagi, Vin. Tempat tinggal. Saya kasih kamu tempat tinggal di rumah ini. Saya kalau ngobrol sama kamu gini berasa ngobrol sama anak-anak saya. Saya ngebayangin kalau yang di posisi kamu itu mereka, jangankan mereka, denger kamu aja udah hancur hati saya sebagai seorang ayah.” Jeremy mengusap pundak Calvin sambil menuturkan kalimatnya.
“Ko Jevin sama Ko Mevin ya, Pak? Namanya Vin juga hehe, jangan sedih, Pak. Nanti ibu nyonya sedih kalau bapak sedih, hehe,” tawa ringan Calvin dengan tujuan mencairkan suasana yang sempat sedikit tegang.
“Vin, kamu tinggal disini aja, kamu bisa anter saya atau ibu tanpa terlambat, tanpa kamu harus keluar ongkos. Makan juga bareng aja sama kita sama sus, jangan tinggal sendiri. Saya tahu rasanya gimana hidup sendiri tanpa siapapun. Setidaknya kamu punya rumah, walaupun saya bukan keluarga kandung kamu, tapi kalau ditanya rumahnya dimana atau tinggal di mana kamu bisa jawab, Vin. Tuh, kan saya sedih, kayak lagi ngomong ke anak-anak saya,” kata Jeremy sambil mengerjapkan matanya yang mulai terasa panas. Calvin bahkan sudah meneteskan air mata sekarang, air mata itu ia usap dengan punggung tangannya dan ia kembali menatap bosnya kali ini. Hati Calvin menjerit, merasakan ia seperti sedang dinasihati oleh sosok ayah. Duduk bersebelahan dengan Jeremy dan dengan obrolan seperti ini membuat Calvin berdesir hatinya.
“Boleh, pak, saya tinggal disini?” tanya Calvin.
Jeremy terkekeh sejenak, “bukan boleh, tapi saya yang minta.”
Calvin langsung meraih tangan Jeremy dan menempelkan punggung tangan Jeremy di dahinya.
“Terima kasih, sekali lagi terima kasih, Pak, dan Bu nyonya Lea,” katanya sambil tersenyum.
“Kamu nih, besok kita bawa barang-barang kamu ke sini ya? Besok saya aja yang samperin ke kos kamu. Oke?” Calvin mengangguk dan tersenyum girang, ia begitu antusias dan bersyukur. Ia tidak pernah menjual kesedihan kepada siapapun, tidak ada yang tahu latar belakangnya, tapi kepada Jeremy karena ia ingin menceritakannya maka berceritalah Calvin. Bukan karena paksaan, bukan karena desakan. Tapi karena ada telinga yang mau mendengar, ada seseorang yang bersedia mendengarkan, ada yang mau mengerti. Apakah ini awal yang baik untuk kehidupan baru Calvin?