DARI SAM

Halo, kenalkan aku Samuel Greyson, seorang anak laki-laki dari dua bersaudara. Anak pertama lebih tepatnya. Ayah dan Mamaku berpisah, dipisahkan maut lebih tepatnya. Ayah dipanggil Tuhan saat aku duduk di bangku SMP. Karena aku anak pertama, aku mempunyai seorang adik. Usianya dua tahun dibawahku. Kami hanya tinggal bersama Mama. Ya, Mama kami yang berjuang seorang diri, menghidupi kedua anak laki-lakinya yang masaih duduk di bangku sekolah. Mama bekerja sebagai karyawan di sebuah kantor, kami bukan dari keluarga yang berada tapi sampai sekarang kami merasa cukup. Segala sesuatu cukup, tidak berlebihan dan tidak kekurangan. Adik laki-lakiku bernama Hansen, kami tidak terlalu dekat karena sifatnya yang cenderung tertutup.

Oh iya, tentang Shallom, aku dan Shallom sudah berteman lama. Sampai akhirnya kami ada di kelas yang sama sekarang. Kedekatan kami adalah sebagai sahabat, bukan tanpa alasan, Shallom lawan bicara yang baik, dalam hal apapun kerjasama pun terasa baik. Project group? Berjalan lancar, walaupun dalam group hanya kami berdua anggotanya, haha, begitulah.

Bertemu Shallom adalah salah satu hal yang membuka mataku, beberapa perbedaan di antara kami juga tidak membuat kami berada di dua kubu yang selalu bertentangan. Tapi, malah membuat kami masing-masing saling bertukar sudut pandang. Pertama, Shallom adalah anak terakhir dan aku anak pertama, kadang sudut pandang kami berbeda tapi jika disatukan maka akan muncul sudut pandang baru gabungan dari kacamata kami masing-masing. Misalkan saja tentang bagaimana Shallom harus berada di rumah sendiri karena kakak laki-lakinya yang harus merantau. Shallom pernah mengeluh bahwa ia kesepian dan lain sebagainya, saat itu aku menempatkan diriku sebagai anak pertama juga, dari kacamataku, anak pertama ada baiknya menjadi contoh bagi adik-adiknya, mungkin yang ditinggalkan akan merasa kesepian atau kesal, tapi anak pertama adalah harapan pertama orang tua saat beranjak dewasa.

Aku pernah berkata kepada Shallom, bertanya lebih tepatnya, apakah dia senang atau tidak kalau kakaknya berhasil. Ia menjawab dengan gamblang, senang dan bahagia. I told her, semua anak pertama ingin menjadi contoh yang baik juga bagi aadik-adiknya. Dukunglah cita-cita yang ia kejar. Bukan berarti anak pertama juga tidak mendukung adik-adiknya, bahkan dalam keluarga pasti akan bahagia kalau anggotanya mencapai kesuksesan. Setiap kakak pasti ingin yang terbaik bagi adiknya. Setiap kakak pasti tidak ingin gagal di mata adik dan keluarga. Maka setelah itu kami berbincang, kadang pembicaraan kami cukup berat. Membahas ketakutan akan masa depan, ketakutan akan kegagalan. Tapi bukankah selama matahari masih bersinar dan dunia masih berputar semua ada dalam kendali Tuhan? Iya, kan? Bahkan Tuhan juga tidak akan ingkar janji, hanyaa.. kita tidak pernah tahu kapan janji itu akan terjadi dalam hidup kita.

Keluarga Shallom kadang membuat aku iri, kadang aku berdebat dengan Mama karena beberapa kali Mama mengajukan pertanyaan kepadaku dan Hansen, “bagaimana kalau Mama menikah lagi?” sampai saat ini, aku dan Hansen pun belum pernah mengangguk setuju, lagipula Mama juga sudah jarang menanyakan itu, entah di hari yang akan datang apakah akan menanyakan lagi atau tidak.

Keluarga Shallom yang hangat, serta penerimaan yang aku rasakan cukup sering membuat aku berandai, bagaimana rasanya memiliki anggota keluarga lengkap yang saling menyayangi. Bahkan saat aku berada di sana pun (meski sedikit malu) tapi Tante Grace dan Om Mevin sangat ramah dan hangat. Tidak heran jika gen itu mengalir deras di diri Shallom yang sangat baik, tidak memilih teman dan juga untukku secara pribadi aku nyaman mengenalnya.

Kalau boleh meminta, aku pun berharap akan menjalin hubungan pertemanan ini untuk jangka waktu yang lama dengan Shallom. Ada di dekatnya cukup membuatku tenang dan bisa bebas menjadi diri sendiri. Tawanya yang khas atau rengekannya saat merasa ketakutan, juga hari kelahirannya sudah aku hafalkan di luar kepala, terngiang begitu saja. Imannuella Shallom Gravianne Adrian, nama yang indah untuk sang pemilik. Sama indahnya dengan senyum tulusnya yang ia berikan kepada setiap orang. Semoga aku selalu bisa melihat senyum indahnya, semoga suatu saat nanti aku juga bisa lebih banyak tersenyum seperti Shallom. Semoga saja jika suatu saat nanti Shallom mengetahui bagaimana latar belakang dan keadaanku, ia masih menjadi Shallom yang aku kenal sekarang. Tapi memang benar, kan, kalau senyum Shallom indah?