Deep Hug

“Kamu tidur di kamar, aku tidur di sofa. Ya?” kata Mevin saat memasuki unit apartemen Grace. Gadisnya mengangguk.

“Tapi temenin sampai tidur?”

“Iya, sampai kamu tidur.” Mevin tersenyum lebar lalu mengacak pelan rambut Grace. Pintu apartemen ditutup, Mevin dan Grace mengganti bajunya masing-masing lalu mereka bergulung dibawah selimut yang sama di kamar Grace. Kali ini Grace aman di pelukan Mevin sampai ia terlelap. Tidak ada kata yang terucap dari keduanya, hanya berbagi rengkuh, Grace juga menelusupkan wajahnya di dada bidang Mevin, serta Mevin yang memastikan kekasihnya ia dekap hangat dan penuh perasaan.

“Vin, rasanya pengen kamu disini, rasanya juga mau ikut kamu pulang ke Indonesia.”

Sebuah belaian penuh kasih sayang Mevin berikan untuk mengusap lembut punggung Grace.

“Nanti, ya. Akan ada saatnya kamu pulang.”

“Mevin, jangan pernah tinggal hanya karena iba.”

“Kata siapa iba? Aku masih disini karena cinta, dan karena kamu, nama kamu yang selalu aku sampaikan ke Tuhan lewat doa.”

Grace mendongak menatap Mevin, pria itu menundukkan sedikit kepalanya dan menatap mata Grace yang berkaca-kaca.

“Kadang aku ngerasa takut sendiri, kadang aku nggak mau ketemu orang, sekeras itu diriku berdebat sama hati dan pikiranku. Mevin, maaf untuk hal-hal bodoh yang aku lakuin kemarin. Suicide isn’t a good way to ended all things.

Kini ibu jari mevin mengusap lembut pipi Grace karena Mevin menopang dagu Grace dengan jemari gagahnya. Ia masih terus membiarkan sang puan bertutur.

“Aku pikir nggak ada yang peduli sama aku, aku pikir nggak ada yang mau aku tetap ada di dunia ini, sampai akhirnya aku ketemu Alicia, Tela bahkan keluarganya. Kamu, keluarga kamu, James, Aveline. Masih ada alasan kenapa aku harus tetap hidup, Vin. Walaupun bukan keluarga kandungku, walaupun bukan orang tuaku yang peduli sama aku. Ada, Vin. Ada!” Kata-kata penuh penekanan itu diungkapkan Grace dengan nada semangat tapi air mata mengucur dari pelupuk matanya.

Mevin tidak tahu lagi harus berkata apa, ia juga menahan air matanya yang hendak luruh, maka yang ada hanya Mevin mendekap erat Grace sambil mengecup puncak kepala Grace berkali-kali dengan lembut, memastikan sang puan aman dan nyaman di dekapannya. Meski Grace sedikit terisak tapi Mevin merasakan Grace membalas pelukannya.

“I’ll do anything for you, sayang. I promise. I beg you, please be strong, ya?” Sebuah anggukan Mevin rasakan kini, dan malam itu entah bagaimana ceritanya keduanya terlelap disana, saling merengkuh dan menjaga hingga pagi menjelang.