Di Kediaman Tela dan Keluarganya

Saat Grace dan Uncle tiba di apartemen milik Tela, pintu dibuka dan Grace disambut dengan senyum sumringah dari Mama Tela dan Tela. Bahkan Tela langsung memeluk Grace, “gue nyariin, lo kemana aja?” tanya Tela saat melepaskan pelukan dan mencengkram lengan Grace.

Grace hanya tersenyum tipis, “keluar cari angin terus ketemu Uncle.”

Mama Tela yang kerap Grace panggil dengan sebutan Aunty juga membelai rambut Grace pelan, “udah makan, nak?” tanya beliau lembut.

“Nggak usah ditanya, kita makan bareng aja berempat, oke?” celetuk Uncle.

Maka Tela langsung menarik tangan Grace dan mengajaknya masuk menuju meja makan. Grace benar-benar terharu, lagi dan lagi, ia seakan menemukan keluarga baru disini. Yang bukan keluarga kandung karena ikatan darah malah memanusiakannya. Andai saja Uncle tidak memekik nama Grace tadi, mungkin Grace saat ini sudah tidak ada lagi disini.

Ternyata malam itu Grace habiskan di rumah Tela untuk menikmati makan malam bersama dan tidur bermalam di sana. Berbagi tempat tidur dengan Tela. Mereka juga bercerita banyak hal. Yang jelas malam itu sebelum tidur, Aunty memeluk Tela dan Grace bergantian serta mengucapkan selamat malam. Grace hampir menangis mendapat pelukan dari seorang ibu. Hati dan seisi kepalanya sulit diterjemahkan. Sebelum tidur Grace dan Tela memandang ke langit-langit kamar Tela yang berhiaskan hiasan tempelan bintang yang bisa menyala di saat keadaan remang atau gelap.

“Grace,” panggil Tela lirih.

“Ya?”

Keduanya tidak saling menatap, tapi tidur dengan posisi terlentang sambil menatap langit-langit kamar Tela.

“Jangan pernah ngerasa sendiri, sejauh apapun lo pergi, akan ada satu orang paling enggak yang bakalan peduli sama lo. Tuhan nggak akan biarin lo bener-bener sendiri. Sekalipun lo di kamar sendirian, ngelukain diri lo, ada yang nemenin, God alone. God and God alone. Manusia terbatas untuk mengerti satu sama lain, manusia terbatas untuk bertanya atau memahami satu sama lain. Tapi Tuhan enggak.” Ucapan itu terlontar dari mulut Tela yang membuat Grace beranjak duduk dan Tela mengikutinya.

“Kenapa lo bisa bilang gitu ke gue?”

“Nggak tahu, kaya pengen ngomong gitu aja.”

Grace menghela napas panjang lalu tertunduk lesu, Tela meraih lengan Grace dan menurunkan lengan hoodie Grace menutupi lengan yang penuh sayatan dan cakaran itu.

“Luka demi luka nanti sembuh sendiri, antara lo nyari obat dan nemuin itu atau obat itu yang dateng ke lo. Jangan pernah lari dari kenyataan, dijalani meski berdarah-darah. Dulu gue juga pernah self harm bahkan sampai sekarang orang tua gue nggak tahu kalau gue pernah lakuin itu. Sssttt keep it secret.” Tela memelankan nada bicaranya di kalimat terakhirnya. Mata Grace membelalak tak percaya, keluarga harmonis, anak tunggal yang disayang oleh kedua orang tuanya, lantas mengapa Tela masih melakukan hal itu?

“Tel―”

“Gue temenin sampai lo dapet obat buat diri lo, hati lo, jiwa lo. Inget ada gue, ada Mevin, James, Aveline, bahkan keluarga Mevin dan keluarga gue, jahat lo kalau nggak inget kita semuanya. Ya? Kita keluarga, we are sister, unbiological sister. Okay? Jangan pergi kemanapun kalau Tuhan belum suruh lo―termasuk pulang.”

Maka Grace merasa dadanya sesak, tanpa kata-kata Grace memeluk Tela, dan Tela juga membalas pelukan Grace erat. Berbalas peluk untuk malam itu. Ternyata Grace tidak perlu menanyakan kepada orang-orang tentang apa yang ada di isi kepalanya. Tapi Tuhan akan kirim orang-orang di sekitar kita untuk menyampaikan apa maksud Tuhan untuk kita lewat berbagai caraNya yang ajaib dan sulit dimengerti.