DON’T HURT YOURSELF, MEVIN

Hari-hari terasa begitu gelap bagi Mevin. Kabar dari James membawa Mevin kepada perasaan lega karena Grace bisa ditangani di Rumah Sakit yang lebih memadai di Singapore namun itu artinya Grace akan berpisah dengan Grace.

Dipisahkan jarak untuk waktu yang lama, Mevin tidak selalu bisa mengawasi Grace seperti saat di Indonesia. Entah apa jadinya Mevin setelah ini. Suasana rumah malam ini sepi. Satu-satunya anak yang masih tinggal bersama Jeremy dan Lea adalah Mevin.

Malam itu Jeremy belum tidur, ia hendak keluar kamar untuk duduk di ruang tamu, namun, tiba-tiba terdengar suara pecahan kaca dari dalam kamar Mevin, maka Jeremy langsung berlari dan langsung menuju pintu kamar Mevin. Jeremy berusaha membukanya namun Mevin menguncinya.

Berkali-kali Jeremy mengetuk pintu itu namun tidak ada jawaban. “Mevin! Buka pintunya, nak!” Jeremy panik dan mengetuk pintu dengan cemas.

“Mevin!” Jeremy kembali mengetuk pintu itu berkali-kali.

*Pranggg! *

Suara pecahan bertambah nyaring, Jeremy kini langsung mendobrak pintu itu.

Dobrakan pertama gagal.

Dobrakan kedua masih gagal.

Dobrakan ketiga membuat pintu kamar itu terbuka, Jeremy langsung masuk, mendapati Mevin dengan pecahan kaca di sekitarnya karena Mevin baru saja menghantamkan tangannya yang mengepal ke cermin kamarnya.

Jelas tercecer darah di mana-mana, tangan Mevin juga dialiri darah segar, matanya sembab bukan main. Dadanya naik turun masih mengatur napasnya.

Dengan langkah cepat, Jeremy berjalan dan langsung mencengkram bahu anaknya itu, Mevin bernapas dalam kesakitannya. Suara bising itu nyatanya juga membangunkan Lea kala itu. “Mevin, kenapa?!” tanya Jeremy cemas. Mevin hanya memalingkan wajah dan tidak menjawab apa-apa. Lea yang baru datang berdiri di ambang pintu kamar Mevin pun menutup mulutnya dengan kedua tangannya, “Nak...” katanya kaget, lutut Lea lemas bukan main, baru kali ini ia melihat Mevin sehancur ini.

Jeremy masih memaksa Mevin berbicara namun anak Jeremy itu masih belum membuka mulutnya. Lea berjalan mendekat meski kakinya sedikit gemetar. Mevin menautkan pandangannya ke arah Lea lalu ke arah Jeremy dan berhenti di netra Jeremy. Mevin menepis pelan tangan Jeremy dan tertawa pedih.

“Mevin nggak mau jalan hidup kaya gini, Mevin udah kehilangan Mama Petra, Mevin pernah hampir kehilangan Papa Jeremy dan Mama Lea. Mevin nggak mau kehilangan... la...gi...Grace...”

Mendengar penuturan Mevin yang tertunduk itu, Jeremy tidak mengatakan apapun, ia hanya memeluk anaknya itu. Tanpa kata-kata panjang, tanpa sanggahan apapun. Ia memeluk dan menenangkan anaknya itu.

“Besok Grace di bawa ke Singapore, lama kan pasti waktu penyembuhannya? Pa, nggak kuat―”

“Kuat, nak. Kuat. Mevin pasti kuat, kalau nggak kuat nanti Grace juga sedih. Berat memang, tapi harus, jadi kuat buat Grace juga, ya?” Jeremy merenggangkan pelukan dan mengelus kepala Mevin.

Lea mendekat dan merangkul Mevin dari samping lalu mengecup pipi anaknya itu. “Anak Mama hebat, kuat. Tuhan punya banyak rencana indah setelah ini, ya?” maka malam itu diakhiri sebuah pelukan hangat dari Jeremy dan Lea untuk Mevin. Pada kenyataannya, sebuah jarak yang membentang juga bisa menyakitkan. Meninggalkan seseorang dalam kesakitan dan kita tidak bisa berbuat apa-apa. Segala doa terbaik untuk pengobatan Grace kini Mevin panjatkan kepada Tuhan. Ia ingin Grace kembali seperti semula, hanya itu.