DUA

Sarapan pagi kali ini terasa berbeda dari hari biasanya. Semua nampak bercengkerama satu sama lain tapi tidak dengan Jena. Ia hanya memberikan senyum masam kala Papanya mengajaknya berbicara, menjawab dengan anggukan dan gelengan kepala saja. Eilene pun menjadi bingung dengan sikap salah satu anaknya itu.

“Jena sakit, nak?” tanya Eilene, Jena hanya mendengus sesaat lalu menarik satu ujung bibirnya untuk dipaksa tersenyum dan menggeleng untuk menjawab pertanyaan mamanya itu.

“Lo kenapa sih nggak kaya biasanya,” sahut Dave, anak pertama Eilene, kakak kandung Jena.

“Kalau sakit nggak usah kuliah, Jena. Papa anter ke dokter, ya?” Jeffrey angkat bicara. Jena hanya menatap anggota keluarganya bergantian sekilas lalu menyambar tasnya dan hendak hengkang dari ruang tamu.

“Jena, pamit sama orang tua!” Eilene sedikit meninggikan nada suaranya. Jena menghentikan langkah dan berbalik menghampiri Eilene mencium tangan mamanya itu, Eilene sempat menangkup dua sisi pipi Jena dan menatap anaknya lekat.

“Nggak sakit kan?” ucap Eilene, anaknya menggeleng dan tersenyum. Jena mendekati papanya raut wajah Jena langsung berubah masam.

“Biasain mau berangkat tuh pamit nak, ya? Hati-hati anak Papa.” Jeffrey membelai pelan puncak kepala Jena namun Jena hanya melirik sesaat.

“Anak? Bukan anak kandung, inget.” Nada suara ketus Jena membuat Jeffrey mendengus sambil tersenyum.

“Dek!” tegur Dave dengan nada tinggi.

“Iya, anak Papa Theo, anak Papa Jeff juga, terserah Jena mau anggep Papa seperti apa. Jena sama Dave anak Papa Jeffrey juga.”

“Maksudnya apa sih Jena?” tanya Eilene dengan nada kesal. Sarapan pagi hari ini ditambah dengan ketegangan diantara keluarga ini di pagi hari kali ini. Jena tidak menyahut dan langsung keluar rumah. Jeffrey sempat terpaku sesaat lalu mengejar anaknya ke luar rumah. Jeffrey menahan Jena yang sudah hendak melangkah keluar gerbang.

“Nanti pulang kuliah mau bareng Papa?” kata Jeffrey, Jena menoleh menatap Jeffrey datar.

“Enggak butuh jemputan. Jena mau ke makam Papa Theo, Papa Jena.” Jena berkata singkat lalu melanjutkan langkahnya lagi, detik itu juga Jeffrey merasa tertohok, nafasnya berderu kala Jena memberikan tatapan sinis dan menghela napas lalu melangkah keluar gerbang.

“Jeff, sayang kenapa?” tanya Eilene yang tiba-tiba sudah ada di sebelah Jeffrey yang masih terdiam.

Jeffrey kikuk, “E―nggak papa,” jawab Jeffrey kepada istrinya itu.

“Kamu marahin Jena? Jena bikin ulah? Jeffrey? Sayang?” komunikasi seperti terjalin sepihak saja saat Eilene mengajukan pertanyaan.

Jeffrey tertunduk lesu, “Sayang!” pekik Eilene, Jeffrey buyar, ia menatap sesaat istrinya itu lalu mendekap Eilene ke pelukannya.

“Jeff, kamu kenapa sih aneh banget? Ada apa?” Eilene hendak merenggangkan pelukan namun Jeffrey tetap menahanya dalam dekap meminta agar Eilene tidak beranjak dari sana.