DUA DUANYA HARUS KUAT

Grace mendorong vacum cleaner dan merapikan segala sesuatu yang ada di meja apartemennya. Sampai Grace tiba di depan figura yang menggantung di tembok―foto kebersamaannya dengan Mevin—ia mendekat dan jemarinya bergerak menyentuh figura tersebut. “Mevin aku kangen, are you okay now?” gumamnya dalam hati.

Mevin adalah pria yang ia pilih dan ia harap bisa menemaninya seumur hidup dan ia dekap sepanjang malam. Begitu juga saat Grace masuk ke kamar, ia melihat beberapa barang yang Mevin berikan. Beberapa hari tanpa kabar dari Mevin menjadikan Grace larut dalam kalut pikirannya.

“Kangen, Vin, kangen.” Mata Grace terasa panas setelahnya, ia mengerjap dan membuang pandangan ke sembarang arah. Sesekali menangis bukan hal yang salah. Lamunan Grace buyar tatkala bel berbunyi nyaring. Ia langsung menyeka air matanya dan membukakan pintu, ternyata yang berkunjung adalah Alicia.

“Alicia―”

“Are you busy today? Boleh berkunjung?” tanya Alicia ramah.

“Of course!” seru Grace girang karena ia pikir ia akan larut dan kesepian hari ini tapi untunglah Alicia datang.

Sementara Alicia duduk di sofa, Grace melenggang ke dapur untuk mengambil dua kaleng soda dari kulkas dan berjalan lagi ke ruang tamu, menyodorkan soda itu untuk Alicia. “Ini minumnya,” kata Grace.

“Thank you!” balas Alicia. Ia membuka lalu meneguk minumannya.

“Nggak hangout atau jalan-jalan?” tanya Alicia.

“Capek, mau di rumah aja, santai.”

“How do you feel?”

“Feel about what?” tanya Grace sambil mengerutkan dahi.

“About everything.” Sejenak terpikir di dalam benak Grace tentang perubahan sikap Mevin yang masih menjadi beban pikirannya. Saat sorot mata keduanya bertemu, Grace melihat sorot mata teduh dari Alicia yang seakan membius Grace untuk mengatakan kejujurannya.

“I miss him, he’s wounded by those conditions, aku nggak tahu apa yang terjadi sama dia sekarang,” kata Grace lesu.

“Belum kamu coba hubungi lagi?” tanya Alicia, Grace menggeleng.

“Call him, now. Lemme hear his voice.” Grace bingung, bahkan kali terakhir ia menghubungi Mevin tidak membuahkan hasil, tapi Alicia mengangkat alisnya seakan mengatakan Grace untuk mencobanya saja. Maka Grace raih ponselnya, ia duduk di sebelah Alicia dan mulai mencari nama Mevin dan menelfonnya. Jantungnya berdegup tidak karuan saat telepon itu mulai tersambung.

“Halo.” Suara Mevin terdengar berat di seberang sana. Grace langsung menekan menu loudspeaker agar suara Mevin juga bisa didengar oleh Alicia. Grace menatap Alicia seakan ketakutan. Alicia tidak bersuara tapi dari gerak bibirnya, Grace bisa membaca kalimat “tanya dia kenapa.” terucap di gerak bibir Alicia.

“Are you okay? Mevin?” tanya Grace.

“Nope.” Balasan singkat itu cukup membuat Grace lesu. Tapi Alicia menggenggam tangan Grace dan mengangguk memberikan semangat dan energi positif untuk Grace agar berani.

“Kenapa ngilang setelah nanya kabar? Udah cukup tahu kalau aku hancur terus udah?” kalimat Grace terdengar sedikit emosi tapi masih bisa ia kontrol.

“Aku di Rumah Sakit, maaf.” Mevin berkata dengan terbata-bata dan sedikit tersirat ketakutan dalam kalimatnya. Mata Grace membulat, tidak bisa dibohongi, ia panik bukan main.

“Kenapa? Kamu kenapa lagi? Sakit apa? Kenapa kamu nggak ngomong? Sekarang gimana?” Tanya Grace yang membuat Mevin terkekeh pedih.

“Ya gini, Papa Jo datang, mau bawa aku ke Aussie tapi aku nggak mau, kalau ditanya sekarang gimana, jawabannya masih sama, kok. Aku masih belum bisa jalan, pikirin diri kamu aja, fokus sama dirimu jangan mikirin aku.”

“Mevin!”

“Apa?” nada Mevin terdengar malas.

“Aku sa―”

“Sorry, aku ada terapi.” Belum usai Grace menyelesaikan kalimatnya, telepon diputus oleh Mevin sepihak. Hal itu langsung membuata Grace menunduk lesu, membenamkan wajahnya di telapak tangannya.

“See? Everything is getting worst,” kata Grace dengan suaranya yang bergetar, Alicia pun menggeser posisi duduknya lalu merangkul Grace.

“Dia masuk Rumah Sakit lagi, aku nggak tahu apa-apa, semua orang pasti sembunyiin juga dari aku, entah itu James atau Ave. Kenapa aku nggak pernah tahu? Kenapa aku harus tahu paling akhir?” Grace mengangkat wajahnya yang sudah basah oleh air mata untuk menatap Alicia.

Alicia menyeka air mata Grace perlahan, “Everything can be better, jangan fokus sama all those worst things aja, kita lihat yang lain, masih bisa, Grace.”

“Bisa apa? Hancur semuanya, hancur.”

“Listen.” Alicia mencengkeram bahu Grace dan ditatapnya lekat wanita itu.

“Aku punya dua jar,” Alicia mulai mengeluarkan dua buah jar dari tasnya. Ia juga mengeluarkan beberapa lembar kertas gulung kecil yang sesuai dengan ukuran jar tersebut.

“Tulis di salah satu jar setiap kebaikan yang pernah kamu lakukan, jar satu lagi kamu isi dengan catatan hal buruk apa yang pernah terjadi dan yang pernah kamu lakukan. Aku nggak minta banyak hal, itu aja. Jujur dari dalam hati kamu. Ingat kata Mevin, fokus sama diri kamu. Mungkin Mevin juga masih mau fokus sama dirinya, penerimaan terhadap diri sendiri itu susah, kan? Selama ini mungkin dari lahir, Mevin sudah menerima dirinya, kali ini dia lemah. Kita nggak bisa menuntut Mevin selalu kuat, kalau dia minta kamu kuat dan fokus, lakuin aja. Mungkin juga itu bisa jadi penyemangat buat dia. Okay?” ucapan Alicia nyatanya membawa Grace kepada sebuah tanya besar.

“Biar apa?” tanya Grace.

“Biar kamu nggak fokus sama worst things yang kamu titikberatkan itu. Kita lihat diri Grace yang lain, katanya mau? Mevin suruh gitu juga, kan? Kita cari obat kamu sama-sama, kita coba.” Beberapa usapan di punggung Grace dari Alicia membuat Grace menganggukkan kepala. Maka Alicia memeluk Grace untuk sesaat, memberikan ketenangan bagi Grace.

Sementara itu di Indonesia...

Di ruangan rawat Mevin, tangan Mevin gemetar menutup telepon, ia berbohong. Tangannya dingin, detak jantungnya tak beraturan, ia terpaksa berbohong padahal belum saatnya untuk terapi, Mevin menyerakkan selimut yang menutupi tubuhnya, ia mengangkat kakinya satu per satu dengan tangannya. Napasnya memburu, ia hendak meraih sebuah gelas yang ada di nakas sebelah tempat tidurnya, tangannya terulur, bisa menyentuh gelas itu tapi tidak bisa menggenggamnya, tubuh Mevin terjatuh ke lantai begitu juga gelas berisi air itu. Pecahan kacanya berserakan bahkan ada yang mengenai kulit Mevin di bagian kaki, menggores kulit Mevin menimbulkan luka yang mengeluarkan darah. Mevin mengerjapkan matanya berkali-kali karena harus menahan air mata. Jantungnya berdegup kencang, seakan cemas dan ketakutan serta sedikit mual bak diserang kepanikan berlebih saat Grace menelfon.

“Mevin!” teriak Jovian panik yang saat itu baru saja memasuki ruangan rawat Mevin. Bagaimana tidak panik? Jovian melihat anaknya sudah tersungkur di lantai dengan wajah pucat dan bercak darah di sekitarnya.

“Mevin, kamu kenapa?!” tanya Jovian khawatir, tapi Mevin tidak bisa menjawab, Mevin hanya seperti orang linglung. Jovian pun mengangkat tubuh anaknya itu dan ia baringkan lagi di tempat tidur lalu Jovian hendak memanggil dokter untuk menangani Mevin, tapi Mevin memekik “Papa!” hal itu membuat Jovian menghentikan langkahnya. Jovian berbalik dan menghampiri Mevin.

“Kenapa? Kamu butuh apa? Mau apa, nak?” Mevin menggeleng, napasnya masih tersengal, dadanya masih naik turun. Maka Jovian berikan belaian di punggung Mevin agar anaknya tenang dan memberikan minum juga untuk Mevin, anaknya itu meneguknya dan Jovian kini duduk di sebelah Mevin, mengusap darah akibat goresan pecahan kaca tadi di kaki Mevin.

“Grace nelfon Mevin, hancur denger suaranya.” Suara Mevin terdengar berat. “Mevin mau bisa jalan, bisa jemput Grace ke Singapore dan bawa dia pulang,” lanjutnya.

“Nanti, ya. Ada saatnya kalau sudah ditakdirkan dan digariskan pasti ada jalannya. Asalkan kalian sama-sama tulus, akan ada jalannya, jangan kaya Papa ke Mama Petra dulu. Papa mau kamu bahagia, Vin. It’s okay kamu stay disini seterusnya, sama Mama Lea dan Papa Jeremy. Tapi, batin kamu juga harus bahagia, kamu juga perlu pikirin diri kamu sendiri juga. Kuncinya di hati kamu, berdamai sama keadaan, berdamai sama diri sendiri.” Jovian membelai puncak kepala Mevin kala itu.

“Grace sakit, dia diperkosa, dijual sama Papanya, dia nggak bisa nerima dirinya, dia depresi, dia self harm. Grace sempat overdosis di depan mata Mevin, Grace sekarat di depan mata Mevin, di pelukan Mevin, Grace takut untuk ketemu orang, Mamanya datang hanya untuk nampar dia dan bilang kalau dia aib keluarga. Jevin sempat kritis juga karena Jevin yang pertama tolongin Grace, Mevin kaya gini, dunia kenapa nggak adil sama Mevin sama Grace?” tatapan nanar Mevin berhasil membuat hati Jovian pedih. Ternyata hal pelik yang dialami Grace dan Mevin sama peliknya, tidak, bahkan lebih pelik daripada yang ia alami saat bersama Petra. Tidak ada kata yang terucap dari Jovian, ia terlalu kaget dengan kenyataan yang Mevin katakan, ia hanya meraih pundak anaknya dan peluk anaknya itu. Untuk kali pertama, Mevin menangis keras di pelukan Jovian, Papa kandungnya. Hati Jovian rapuh dan tersayat.

“Nangis aja, Mevin. Nangis, nak. Maaf Papa nggak pernah tahu hal seperti ini dari Mevin, luapin semuanya ke Papa. Jangan bikin Papa menyesal seperti waktu sama Mama Petra, Nak...” Jovian merasakan pundaknya basah oleh air mata Mevin saat ini, ia peluk anaknya itu yang menangis semakin keras. Baru kali ini Jovian melihat Mevin sehancur ini.

“Nggak kuat, Pa―” tangis Mevin. Ternyata di balik ambang pintu berdiri Jevin dan Lauren yang tadinya hendak melihat keadaan Mevin tapi keduanya melihat keadaan itu. Jevin kembali tutup pintu ruangan rawat Mevin itu. Hendak beranjak dari sana, Lauren langsung menarik tangan Jevin.

“Lepas!” pekik Jevin sambil menghempaskan tangan Lauren, Jevin berjalan cepat menuju parkiran mobil dan masuk ke mobilnya, hari ini memang Lauren dan Jevin sengaja untuk datang kesana berniat membuat quality time yang sudah lama mereka tidak rasakan bertiga. Tidak bisa dipungkiri hati keduanya juga hancur melihat Mevin menangis rapuh seperti tadi.

Saat sudah berada di dalam mobil, Jevin menghantamkan kepalanya ke setir mobil dan mengepalkan tangannya menghantam setir mobil itu lagi. Lauren kaget bukan main.

“Jevin!” pekik Lauren sambil menahan tubuh Jevin.

“Jangan kaya gitu!” kata Lauren lagi. Jevin menatap Lauren dengan mata berkaca-kaca.

“Ci, lo nggak sakit lihatnya? Gue sakit banget, Ci! Selama ini gue iri sama Mevin, iri karena semua orang fokus ke dia, gue iri sama dia yang pinter bisa jadi dokter, gue pernah ngatain dia anak pungut. Gila ya, sejahat itu gue sama anak sebaik dia. Dia nggak pernah benci gue! Argh!” Jevin geram dan marah akan dirinya sendiri, kini ia tertunduk, mengacak rambutnya kasar, sementara Lauren menggigit bibirnya dan menelan ludah karena tenggorokannya seakan tercekat saat itu juga. Lauren baru kali ini melihat Jevin seperti ini. Lauren juga sakit melihat keadaan yang tidak baik-baik saja ini. Saat Lauren menempelkan telapak tangannya di punggung Jevin dan menggerakkannya pelan untuk menenangkan Jevin, yang terjadi adalah Jevin yang menangis tersedu. Lauren tidak tega, ia tarik tangan adiknya itu, Jevin luruh di pelukan Lauren, Jevin menangis di sana―Lauren juga.

“Udah, kesalahan di masa lalu udah terjadi, lupain.” Lauren berbisik pelan. Jevin pun memeluk kakaknya itu erat menumpahkan tangis di sana.

“Di depan Papa Mama jangan nangis, di depan Mevin juga, nangis ke gue, dek. Ya?” kata Lauren lembut. Sejak dahulu memang Lauren seringkali menahan semuanya sendiri. Menjadi anak pertama yang dari lahir sudah mendapat banyak kesulitan memang sangat membuat Lauren terbentuk menjadi pribadi yang dewasa. Jauh di dalam lubuk hati keduanya, walaupun sudah ada di usia yang dewasa seperti sekarang, mereka tetap ingin keluarganya utuh, anggota keluarganya utuh dan Mevin tetap disini.