EMPAT
Kala hujan telah turun malam ini, ditemani langit temaram yang menemani rembulan di atas sana, Jeffrey melamun di teras rumahnya seorang diri. Jeffrey khawatir karena waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam namun Jena tak kunjung pulang.
Perasaannya sebagai seorang Ayah sangat merasakan kekhawatiran kali ini, beberapa kali Jeffrey menelfon Jena namun tidak ada jawaban sama sekali. Namun kecemasannya itu sirna kala matanya melihat Jena memasuki pekarangan rumah. Jeffrey menghela napas lega, Jena menenteng jaket serta tasnya memasuki rumah. Jeffrey menyambut Jena lalu mengajak anaknya duduk di ruang tamu, namun ada yang berbeda dari raut wajah Jena. Matanya sembab dan wajahnya sayu. Jena tidak merespon ucapan Jeffrey.
“Jena, kamu kenapa?” tanya Eilene yang keluar kamar, melihat anaknya yang menghempaskan tubuhnya di sofa. Eilene mengambil posisi di sebelah kanan Jena dan Jeffrey duduk di sebelah kiri Jena.
Eilene memegangi kedua pundak jena, tangan Eilene bergerak memeriksa wajah Jena dan memegang dagu Jena menggesernya ke kanan dan kiri guna melihat keadaan anaknya yang pasti sedang tidak baik-baik saja ini.
“Jena, jujur ke mama.”
“Jena, kenapa?” tanya Jeffrey juga.
“Kenapa? Jangan diem aja!” kata Eilene dengan nada membentak.
“Eilene―” Jeffrey menengahi, ia membuat keadaan sedikit lebih tenang sejenak. Benar-benar sejenak dan sesaat sampai Eilene melihat sebuah benda di saku jaket Jena yang sedikit menganga. Tangan Eilene bergerak perlahan, meraih benda tersebut.
Betapa terkejutnya Eilene saat mendapati satu bungkus rokok di saku jaket Jena. “Ini apa?!” Eilene geram, ia bangkit berdiri, Jena kaget melihat Mamanya yang sudah menggenggam bungkus rokoknya.
“Ma!”
“Mau kamu apa, sih? Ngapain ngerokok-ngerokok? Siapa yang ngajarin kamu?” tanya Eilene dengan penuh emosi. Jena tidak bisa menjawab. “Ditanyain itu dijawab! Pergi malem terus, mau ngapain sih? Bisa nggak sehari aja nggak bikin masalah?!” Jena bergidik tersentak mendengar ucapan Mamanya itu.
Jeffrey juga kaget bukan main, Jena sudah pasang muka ketakutan dan pucat, bahkan jemari tangan Jena gemetar sekarang, Jeffrey bisa melihat dengan jelas. Eilene masih berdiri sambil mengacungkan bungkus rokok itu. Memang, bau rokok yang menyengat tercium jelas di tubuh Jena. Sudah habis akal Jena, harus berbohong dengan cara apa lagi sekarang? Jena hanya tertunduk, Jeffrey melihat jelas ketakutan yang mendalam bermukim didalam diri Jena sekarang.
Jeffrey yang sempat bingung kini bangkit berdiri, merampas bungkus rokok di tangan Eilene yang membuat Jena dan Eilene kaget.
“Punyaku, Jena pasti nemu di mobilku, maaf.” Jeffrey berbohong saat itu. Jena membelalak kaget atas perilaku Papanya kali ini. “Jangan bohong!” Eilene memicingkan matanya ke arah Jeffrey.
“Bener, punyaku. Jena pasti enggak mau aku ngerokok lagi, maaf, sayang. Aku lagi pusing banget. I promise, enggak akan lagi.” Jeffrey berbohong lagi.
“Aku tahu kamu, Jeff. Kamu anti sama rokok dan alkohol.” Eilene masih tidak percaya.
Jeffrey berikan tatapan tajamnya kepada Eilene, “Ini punyaku, maaf, aku kelepasan. Aku bakalan buang ini.”
“Jena, maafin Papa, makasih ya, Jena udah mau umpetin ini biar Papa enggak ngerokok lagi, Jena masuk kamar, gih.” Jeffrey berkata lagi sambil membelai kepala Jena. Eilene masih tidak percaya dengan ucapan Jeffrey, sedangkan pria itu sudah beranjak masuk ke kamar, mau tidak mau Eilene mengikutinya. Tatapan mata Jena mengikuti kedua orang tuanya hingga tidak terlihat lagi dan menutup pintu kamar. Sungguh, Jena tidak percaya dengan apa yang dilakukan Papanya. Sedikit desir nyeri di hati Jena, Papanya rela berbohong demi dirinya. Bersalah? Apa bisa dikatakan Jena merasa bersalah?