EVE

Sesampainya di rumah sakit, Eve langsung ditangani tim medis. Pihak rumah sakit langsung menghubungi keluarga Eve dan Efraim memberitahukan kepada Jevin hal yang terjadi kepada Eve, tentu saja hal itu membuat Jevin cemas bukan main, kedua kalinya Jevin harus menerima kabar bahwa Eve kecelakaan bukanlah hal mudah.

Saat sampai di Rumah Sakit, Jevin panik dan ingin mengetahui keadaan kekasihnya itu, ia menghampiri Ayah dan Bunda Eve yang ada di ruang tunggu. Dengan langkah berat dan gontai Jevin berjalan ke sana.

“Om ... Tante ...” kata Jevin lirih dengan napas berat dan langkah kaki yang sudah terseok. Saat itu juga Jevin melihat Bunda yang sudah menangis di pelukan Efra dan Ayah Eve langsung berdiri menghampiri Jevin lalu memeluknya.

“Harusnya Om nggak bohong ke Eve, harusnya Eve pergi sama Om, bukan sendirian.” Alex berkata dengan suara berat.

“Om ... Eve mana?” tanya Jevin.

“Kondisinya masih lemah, kami nggak tega lihatnya. Jevin masuk coba temuin Eve,” balas Ayah Eve itu lalu merenggangkan pelukan.

Jevin melihat ke arah Bunda dan Efraim. Mereka mengangguk tanda memberikan kode agar Jevin masuk menemui Eve. Dengan langkah gontai, Jevin memasuki ruangan ICU. Keluarga Eve yang sudah lebih dulu menemui Eve itus hanya menunggu di luar. Perlahan Jevin memasuki ruangan itu sendirian, dilihatnya Eve tergeletak lemas. Jevin mendekati kekasihnya yang masih terkulai di tempat tidur dengan beberapa alat terpasang di tubuhnya.

Tangan Jevin yang gemetar meraih tangan kekasihnya yang disambut hangat oleh genggaman Eve. Wanita itu membuka mulut seakan ingin mengatakan sesuatu. Hal tersebut membuat Jevin mendekatkan wajahnya ke wajah kekasihnya.

Sementara semua orang yang menunggui Jevin dan Eve menunggu di luar, “Gimana keadaan Eve, Dok?” tanya Bunda. “Luka dalam dan pendarahan yang tidak bisa berhenti. Kami tidak bisa berbuat lebih banyak, Eve sudah kehilangan banyak darah. Kecelakaan berulang yang menyebabkan luka benturan keras itu membuat Eve dalam keadaan kritis. Eve pernah mengalami kecelakaan juga sebelumnya kan? Serta mengalami kerusakan beberapa organ vital.” Dokter itu berkata dengan nada pasrah lalu pergi meninggalkan mereka.

“Makasih kakak udah wujudin keinginan Eve buat punya buku sendiri.” Eve menarik kedua ujung bibirnya, matanya pun sama berkaca kaca dengan Jevin saat ini. “Iya, you deserve it, sayang. Sembuh, ya? Kuat, ya?” Jevin mengecup kening Eve.

“Kak,” kata Eve yang terhenti saat hearing aidnya terlepas begitu saja karena menoleh memandangi wajah Jevin.

Eve menggerakkan satu tangannya perlahan, menaruhnya di depan dada, lalu menyilang, dan berakhir menunjuk Jevin. Aku sayang kamu, artinya. Jevin menangis terisak saat itu juga. Sign language yang Eve berikan membuat hati Jevin hancur. Ia pun memeluk kekasihnya seakan mengatakan semua akan baik-baik saja. “Aku juga sayang kamu, sayang banget, Eve hebat, Eve baik,” ucap Jevin diiringi suaranya yang parau meski hal itu tidak akan bisa didengar Eve.

“Kak Jevin ...” Suara Eve bertambah lirih. Kalimat itu Eve rapalkan dengan napas yang semakin berat.

“Please, bertahan, ya, Ve. Kali ini aku mohon.” Jevin merasakan Eve memeluknya sedikit lebih erat.

“Kak Jevin―”

“Iya, Sayang?” tanya Jevin. Kemudian hening.

“Kenapa? Eve?” Jevin merasakan tangan Eve tidak memeluknya lagi. Perlahan Jevin merenggangkan pelukan. Dilihatnya Eve sudah menutup matanya. “Eve.” Jevin menggoyang pelan tubuh Eve, tetapi tidak ada respons. “Sayang? Ve?” Jevin menggenggam tangan kekasihnya, tangan itu mulai dingin.

“Eve!!” Jevin tidak bisa menahan isak tangis histerisnya. Ia memeluk tubuh Eve yang sudah tidak berdaya dengan sesekali menggoyangkan tubuh itu. Air mata Jevin langsung tumpah tanpa komando. Air matanya baru tumpah kali ini, melepas kepergian dermaga hatinya untuk selamanya, bersama seluruh harap dan asa yang hanya akan menjadi semu belaka. Ayah, Bunda, Efraim bahkan Letta juga yang langsung menyusul ke sana yang berada di luar ruangan terkejut mendengar teriakan Jevin lalu mereka bergegas memasuki ruangan. Letta langsung menarik tubuh Jevin.

Alex dan Anne melihat monitor di sebelah tubuh Eve menunjukkan garis lurus. Semua tidak bisa membendung air mata mereka. Alex teringat belasan tahun seakan tidak bisa menerima kehadiran Eve, memandang anaknya itu sebelah mata, Alex jelas mengingat bagaimana ia mengabaikan anak pertamanya itu. Sesal bermukim di dalam hati Alex kali ini. Anne langsung jatuh berlutut tersungkur di sebelah ranjang Eve, meraung menangis keras-keras bahkan hingga pingsan di pelukan Efraim. Sementara Alex masih berada di sana masih berlutut sambil menggenggam tangan anaknya yang sudah tak bernyawa itu.

Sementara Jevin masih histeris meneriakkan nama Eve dan meminta wanita itu untuk membuka mata. Ia mengabaikan kehadiran Letta. “Eve, nggak boleh pergi! Enggak!” Jevin masih berusaha meraih tubuh Eve, tetapi dihalangi oleh Letta yang menahannya.

“Lett! Eve pasti bangun, kan?! Gue udah janji mau serius sama dia! Iya, kan Eve bangun kan?!” Jevin semakin menjadi dalam kenyataan yang harus ia terima ini. Ia bersimpuh di dekat brankar rumah sakit sambil terus memandangi tubuh kekasihnya yang tidak akan bangun lagi. Jevin luruh dalam tangisnya kala menyaksikan dokter dan suster melepas satu persatu alat yang menempel pada tubuh Eve.

“Jev, yang ikhlas. Ikhlasin.” Letta merangkul Jevin dan menangis juga di sana. Jevin masih terus menangis memandangi tubuh kekasihnya yang sudah tidak bernyawa. Mata Eve sudah terpejam dan tidak akan pernah terbuka kembali. Tangisan Jevin dan Letta pecah di situ. Ayah, bunda dan Efra saling memeluk dan tidak bisa menahan tangis melihat Eve yang ceria sudah mengakhiri pertandingan dalam hidupnya di hari bahagia dalam hidupnya, hari yang sudah lama Eve nantikan.

Jevin merasa seperti ditusuk pisau di sekujur tubuhnya. Hanya sakit yang ia rasakan. Kebahagiaan yang selama ini ia cari harus hilang. Jevin harus kehilangan setelah ia menemukan. Harapannya pupus semua mimpinya yang sudah ia rajut dengan Eve harus terhenti di sini. Tidak ada tangan yang bisa ia genggam lagi, tidak ada tawa yang menghiasi hari-harinya lagi, tubuh yang biasa ia peluk kini sudah pergi.

Jevin harus menerima kenyataan, bahwa ia harus kehilangan seseorang yang berpengaruh dalam hidupnya, seperti ada sesuatu dari bagian hidupnya yang hilang dalam sekejap. Posisi Eve di hati Jevin dan yang lain tidak akan terganti. Semua momen kebersamaan bersama Eve terlintas dalam pikiran Jevin saat ini. Raga Jevin dan Eve tidak lagi bersama, tetapi mereka masih bisa bertemu dalam doa dan mimpi. Eve sudah mempunyai tempat tersendiri di relung hati Jevin. Kehilangan yang tiba-tiba, tidak ada yang siap menerimanya.

Jevin menyayangi Eve dalam keadaan apa pun. Namun, setiap pertemuan pasti akan menghadapi perpisahan. Tidak ada yang abadi. Jevin melepaskan pelukan Letta, ia kembali mendekat memandangi kekasihnya yang tampak seperti sedang tertidur dengan senyum yang indah. Jevin hanya manusia biasa yang tidak bisa melawan takdir walaupun ia tidak bisa menerimanya. Sekali pun Jevin menginginkan kehadiran Eve kembali, itu tidak akan bisa.

Jevin harus siap melepaskan dan merelakan. Mereka hanya sejauh doa. Hanya raga mereka yang terpisah. Bahkan, sampai napas terakhir Eve pun ia masih mencintai Jevin. Saat brankar rumah sakit itu didorong keluar dari ruangan itu oleh beberapa perawat, Jevin menghardiknya.

Tangis dan teriakan Jevin beradu kala itu. Untuk terakhir kali dengan sepenuh hati. “Sampai jumpa di keabadian, my everlasting love, Genevieve Agatha Elizabeth.” Jevin berkata lirih nyaris tak terdengar lalu mengecup punggung tangan yang sudah mulai dingin itu, luruh hancur seluruh dalam mengiring kepergian kala itu. Hati sungguh tak bisa mendustai, hancur saat itu, yang dicinta tak akan pernah kembali.

Eve masih menjadi sebaik-baiknya tujuan hati Jevin bermuara, kemanakah hati Jevin harus berlabuh setelah ini? Kepada siapa Jevin harus mengadu rengkuh? Jevin mencintai Eve dengan cara yang tak biasa, begitu juga dengan Eve yang mencintai Jevin dengan luar biasa. Napas terakhir perempuan cantik bernama Genevieve Agatha Elizabeth, berembus hari ini. Selamat jalan, Eve.