FEAR

Mendapat kabar dari Mevin, semua anggota keluarga yang ada langsung menuju ke Rumah sakit. Sesampainya Lea di rumah sakit bersama Letta, menantunya, bersamaan dengan Lauren yang juga baru sampai.

“Mama, Letta!” pekik Lauren yang membuat Letta dan Lea berhenti sejenak dan berbalik badan.

“Lauren!” balas Lea, Lauren melihat Letta yang sudah menangis, matanya merah dan wajahnya pucat.

“Jevin, Ci.. Jevin..” ucap Letta dengan suara bergetar. Maka Lauren merangkul adik iparnya itu lalu berjalan bersama Lea dan Letta dengan langkah cepat. Saat melewati koridor rumah sakit, beberapa tenaga medis mendorong brankar dan diikuti beberapa dokter.

“Jevin!” Letta menjerit saat melihat tubuh suaminya ada di sana, dengan darah dimana-mana dan mata yang terpejam. Lea merasa jantungnya berdegup sangat cepat, dadanya sesak, ia pernah mengalami ini disaat Jeremy kecelakaan beberapa tahun lalu. Letta langsung berlari menyusul para tenaga medis itu diikuti Lauren. Sedangkan Lea mematung di tempat, ia melihat tubuh anaknya yang berlumur darah di depan matanya. Pandangan Lea mulai kabur karena terhalang air mata yang mengantre hendak keluar dari pelupuk matanya.

Tangannya gemetar, kakinya lemas, ia berjalan dengan langkah gontai menuju IGD. Letta menangis histeris disana, meraung saat pintu ruang IGD ditutup dan Letta ditarik paksa oleh Lauren.

Letta tersungkur di lantai rumah sakit dan Lauren memeluknya, menyandarkan tubuh Letta di pelukannya, “Jevin! Jevin! JEVINNNN!” teriak Letta diatas tangisnya, tangannya terulur seakan hendak membuka pintu yang ditutup itu, namun Lauren memeluknya dan coba menenangkannya.

“Biar ditangani dulu Jevinnya, okay?” Lauren coba menenangkan Letta. Sesekali Letta memberontak, tapi akhirnya Letta luruh juga dalam pelukan kakak iparnya itu.

Lea berjalan lagi dengan langkah beratnya, sampai di sana ia tidak sanggup mendekat ke arah Letta dan Lauren, menyadari Lea yang hanya berdiri berjarak beberapa meter darinya, Lauren melihat mamanya sudah menangis, duduk di bangku panjang sambil membenamkan wajahnya di telapak tangannya. Sungguh, hati semua orang hancur hari ini.

Tiba-tiba suara riuh gemuruh beberapa orang terdengar lagi. Lea, Lauren dan Letta menoleh dan menepi saat sebuah brankar kembali melewati mereka, kali ini Grace disana. Dengan luka di beberapa bagian yang mengeluarkan darah, wajah pucat dan mata yang memejam.

Lauren pun membawa Letta untuk duduk di bangku yang ada, Lea menoleh melihat tiga orang pria yang ia kenal berada tak jauh darinya. Lea berjalan mendekat saat mendengar suara tangisan anak lelakinya, Mevin. Mevin memberontak berkali-kali saat Willy dan Jeremy mencoba menahannya. Bahkan, Mevin menghantam tembok rumah sakit dengan kepalan tangannya yang langsung dicegah oleh Jeremy.

“Mevin!” Pekik Jeremy saat anaknya melakukan hal itu. Jeremy dibantu Willy mencoba menarik tubuh Mevin, di sana, Mevin sudah menangis, memekik nama Grace berulang kali. Keadaan sangat kacau dan mencekam.

“Mevin! Jangan kaya gitu, nak!” Bentak Jeremy dengan nada tinggi sambil mencengkeram kedua bahu Mevin. Sejenak Mevin tatap ayahnya itu, “Jevin sama Grace kaya gitu, gara-gara Mevin telat dateng, kan, Pa?” katanya dengan tawa pedih diatas air mata.

“Bukan salah kamu!” balas Jeremy.

“Kita udah usaha yang terbaik, jangan nyalahin diri lo, nggak akan mengubah keadaan, fokus dulu sama Grace dan Jevin. Oke?” Willy menepuk-nepuk punggung Mevin guna menenangkan.

Jeremy menatap Mevin dan memberi anggukan, hingga akhirnya pandangan Mevin tertuju kepada Lea yang mendekat.

“Mama...” Mevin bergumam lirih, ia gigit bibirnya menahan tangis yang sebenarnya percuma karena air mata sudah membasahi pipinya, Jeremy menyingkir, membiarkan Lea memeluk anak lelakinya itu. Mevin langsung menghempaskan dirinya ke dalam pelukan Lea dan menangis disana. Tidak peduli pipi atau baju Lea menjadi terkena percikan darah dari tubuh Mevin, ia dekap Mevin dengan hangat.

Keduanya menangis, Lea dan Mevin. Jeremy bersandar di tembok dan memejamkan mata, ia membungkukkan badannya mencoba mengatur napasnya. Willy langsung menyusul Lauren yang masih menenangkan Letta.

“Semua salah Mevin, semua gara-gara Mevin, Ma,” kata Mevin yang masih menangis di pelukan Lea.

“Bukan salah Mevin, sayang, bukan.”

“Jevin, Grace, harusnya Mevin aja yang disana gantiin tempat mereka.” suara Mevin bertambah berat. Ia membenamkan wajahnya di ceruk leher mamanya, Lea tidak bisa menahan tangisnya, Lea juga meledak dalam tangisan.

“Ci, Jevin sama Grace bakalan baik baik aja, kan?” kata Letta sambil menggenggam tangan Lauren.

“Iya, Jevin bakalan baik baik aja. Berdoa ya, berdoa buat mereka berdua.”

Letta malah tertunduk dan secepat mungkin Lauren memeluk adik iparnya itu. Raungan semakin keras, Letta merasa hancur berkeping-keping.

“Ci… aku kista, harus operasi, ada kemungkinan susah punya anak, sekarang malah Jevin yang kayak gini, kenapa semua bertubi-tubi? Sakit ci … sakit …” kalimat Letta itu membuat Lauren kaget bukan main.

“Let, kamu kista? Sejak kapan? Letta …” Lauren merenggangkan pelukan, mencengkeram kedua pundak adik iparnya itu, Letta masih menangis dan hanya mengangguk. Tak ada jawaban lagi, yang terpenting sekarang adalah keselamatan Jevin dan Grace. Letta hancur luruh seluruhnya, tak bisa berkata-kata lagi selain berdoa di dalam hatinya untuk menyelamatkan suaminya dan Grace.