Fight
Ada sesuatu yang dibidik oleh Jevin kali ini―Nicholetta. Perasaannya terhadap sang kekasih tidak bisa pudar lagi sepertinya. Kali ini Jevin sedang berada di kamarnya, berulang kali ia memekik nama Mevin namun tidak ada sahutan dari kembarannya itu. Namun tak lama ia mendengar suara shower yang mengalir, ia paham Mevin sedang mandi. Jevin berniat ingin meminjam kamera milik Mevin, akhirnya Jevin berinisiatif untuk mencari di laci dimana Mevin biasa menyimpan barang-barangnya. Tangan dan mata Jevin bergerak mencari kamera di laci Mevin, namun ia tidak kunjung temukan barang yang ia cari.
“Mevin!” pekik Jevin sambil mengetuk pintu kamar mandi.
“Apaan?” tanya Mevin berteriak.
“Pinjem kamera!”
“Ya! Cari sendiri!”
“Iye!” Keduanya bersahutan keras, Jevin kembali merogoh laci di meja Mevin. Akhirnya ia menemukan kamera itu, diambilnya sebuah kamera SLR itu oleh Jevin namun saat ia mengambilnya, ada sebuah kertas yang ikut terambil lalu jatuh ke lantai.
Saat itu juga Jevin mengambilnya dan tertegun untuk waktu yang lama, sementara Mevin masih bersenandung di kamar mandi. Jevin buru-buru keluar dari kamar dan membuka kertas itu di ruang tamu. Jevin duduk di sofa dan ia mengamati lamat-lamat kertas tersebut. Sebenarnya itu adalah sebuah amplop berukuran sedang yang agak tebal. Jari Jevin terhenti saat melihat dua nama yang tertera disana dan tidak asing untuknya.
Napas Jevin berderu, jantungnya berdetak kencang. Ia berulang kali membaca kalimat yang ada disana namun tetap saja ini tidak bisa ia percayai. Tambatan hatinya―nama Nicholetta Christine tertulis disana. Ada nama Mevin juga, Jevin mengeluarkan seluruh isi amplop itu,
Tangan Jevin mendadak dingin membaca barisan tulisan The Engagement of Elleandru Mevinio Adrian and Briggita Nicholetta Christine
Ada beberapa lembar foto disana, jelas sudah itu photoshoot couple yang Mevin dan Letta lakukan. Jevin menggigit bibirnya dan mencengkeram kertas dalam genggamannya.
“Rancangan undangan tunangan? Kenapa mereka putus? Letta sama Mevin sembunyiin apa dari gue?” batin Jevin. Tak lama Jevin mendengar suara pintu kamar yang terbuka, ia menaruh kameranya lalu berdiri menghardik Mevin yang hendak keluar dari kamar. Jevin langsung mencegat jalan Mevin,
“Kenapa?” tanya Mevin bingung. Jevin enggan menjawab, namun Jevin langsung menarik kerah baju Mevin menuju ke halaman belakang rumahnya. Mevin melepaskan paksa tangan Jevin dari kerah bajunya.
“Apaan sih lo?!” tanya Mevin dengan nada tinggi,
“Lo yang apaan! Ini apa maksudnya?” Jevin membanting undangan itu ke tanah, Mevin memijit keningnya sendiri dan membuang pandangan ke sembarang arah.
“Jawab gue!” bentak Jevin.
“Itu cuma design yang gue bikin, belum sepenuhnya gue cetak lagian Letta nggak tahu juga. Udah lewat.” kata Mevin lalu hendak melenggang dari sana.
“Mevin!” pekik Jevin lagi.
“Apa? Lo mau apa?!”
“Kenapa lo nggak pernah bilang ke Letta?! Dia nggak tahu kan masalah ini?!”
“Nggak ada yang tahu, gue doang. Udah lah, dia udah jadi milik lo juga sekarang, mau apa lagi?! bukannya itu yang lo mau?” perkataan Mevin memicu emosi Jevin dan membuat Jevin langsung melayangkan satu pukulan ke wajah Mevin.
“Apa sih maksudnya?!” Mevin tidak terima dan
BUG!
Satu pukulan dari Mevin mendarat di wajah Jevin.
“Kenapa lo sejauh ini dan lepasin Letta gitu aja? Bego lo ya!”
“Ngapain digenggam kalau udah nggak bisa, gue ninggalin dia buat waktu yang lama juga. Ada lo juga kan yang nemenin dia? So what, i want you and the person that i love happy together.”
“Lo nggak pernah kasih tau ini! Kenapa?!”
“Ya karena semuanya udah bahagia, biarin gue sendiri yang pendem ini sendiri! Masih nanya?! Lo juga mau kan sama Letta?” Mevin mendelik berjalan mendekat ke arah kembarannya itu.
“Tolol! Harusnya lo perjuangin dia!” Jevin kembali mencengkeram kerah baju Mevin, kembaran Jevin itu terkekeh, matanya memerah. Tenaga Mevin sebenarnya sudah habis untuk melaju diantara perdebatan dan tumpukan kisah masa lalunya. Sia-sia tenaganya untuk menjelaskan apa yang terjadi pada masa lalu.
“Lo aja yang perjuangin.” Mevin menyeringai. Jevin diam.
“Itu yang lo mau kan?” kata Mevin lagi. BUG!
Satu kepalan mendarat di rahang Mevin, tak terima, Mevin membalasnya lagi, keduanya terjebak perkelahian kala itu.
“Harusnya lo ngomong kalau belum bisa lepasin Letta! Jangan bikin gue jadi orang jahat gini!” bentak Jevin, Mevin menendang perut Jevin hingga kembaranya itu tersungkur.
“Terus semua salah gue? Iya? Lo nggak pernah tahu apa yang gue alami selama ini! Letta juga nggak tahu!”
“Lo nggak pernah ngomong!” Jevin mengepalkan dan menghantam pipi Mevin hingga lelaki itu tersungkur, kepala Mevin terantuk tepi keramik hingga mengeluarkan darah, Mevin terkekeh.
“Masih lo permasalahin? Jalanin aja apa yang ada, be happy with her, ngapain dibahas lagi kegagalan gue, lagian udah gue simpen rapat-rapat.” Mevin bangun dengan sempoyongan, mendengar keributan dari halaman belakang, Lea datang melerai kedua anak mereka,
“Jevin! Mevin! Apa-apaan sih kalian?!” teriak Lea histeris. Mata Lea langsung berkaca-kaca melihat kedua anaknya dalam keadaan tidak baik-baik saja. Jevin dan Mevin hanya berusaha mengatur napas yang terengah, keduanya tidak mau saling menatap.
“Jawab mama!” bentak Lea.
“Nggak ada yang perlu dijelasin kok, Ma.” Kata Mevin tersenyum lalu melirik Jevin sesaat.
“Ini kenapa bisa kaya gini? Jevin, Mevin kalian kenapa sih?” tanya Lea lagi saat melihat ujung bibir Jevin mengeluarkan darah, pelipis Mevin yang mengalirkan darah segar juga. Tidak ada yang menjawab.
Lea terisak disana.
“Mevin yang salah, semua salah Mevin, maaf, Ma.” Mevin melenggang pergi,
“Mevin!” pekik Lea namun tidak dihiraukan anaknya itu. Sekarang tinggal Jevin disana. Lelaki itu tertunduk, Mamanya menghampiri Jevin, meraih kedua pipi Jevin.
“Kenapa, nak? Ngomong sama mama..” Jevin hanya memejam, ia ingin hengkang dari hadapan Mamanya saat ini kalau bisa. Namun ia menatap Mamanya lalu memaksakan dirinya tersenyum dan menggeleng pelan.
“Sedih, nak. Mama sedih banget lihat kalian kaya gini, kalau Papa tahu gimana? Hm?”
“Maaf, Ma.”
“Kenapa sampai berdarah gini? Kenapa Mevin sampai berdarah juga tadi keningnya? Both of you are brother for each other, jangan kaya gini, Nak.”
“I know, Ma.”
“Terus kenapa masih kaya gini?”
“Banyak yang nggak bisa dijelasin, Ma. Jevin juga belum nemu jawabannya. Maaf, maafin Jevin, Ma.” Jevin tertunduk, Lea langsung memeluk anaknya itu. Jevin sedikit terisak di pelukan Lea.
“Maafin Jevin udah nyakitin Mevin juga,” katanya.
“Nak, jangan kaya gini, mama sedih. Kalau masih bisa dibicarakan baik-baik bicarain, jangan kaya gini.” Lea rasakan Jevin mengangguk.
“Kalau keduanya sakit saat menggenggam, lepasin, dua-duanya. Jangan ada yang tinggal daripada semua jadi runyam, bukan lagi keduanya yang hancur, ketiganya, tiga orang yang terjebak di rasa yang sama. Itu lebih menyakitkan.” Ucapan Lea membuat Jevin termangu, Jevin memeluk mamanya erat karena mengerti apa maksud perkataan mamanya itu.
“Maafin Jevin, Ma.”