FIX IT AGAIN
Setelah mendapat pesan yang tidak mengenakkan dari Jevin, Letta memilih untuk pergi ke rumah adiknya, Verica. Ia pergi dengan menggendong Eugene yang masih rewel ke sana. Harusnya ia menyampaikan kabar bahagia atas kehamilannya yang kedua dengan sukacita juga kepada Jevin, tapi keadaan tidak berpihak kepadanya saat ini. Yang Letta dapatkan hanya keributan selama berinteraksi dengan Jevin.
Jevin dan Letta sama-sama pernah marah dan mengutuk atas nasib buruk mereka, tapi pada akhirnya mereka saling menyembuhkan dan saling memeluk. Lama keduanya menjalin hubungan terlebih dibawah naungan pernikahan, nyatanya membawa mereka merasakan lika liku perihal kehidupan yang belum pernah mereka jajaki sebelumnya.
Bagaimana mengatur keuangan rumah tangga, bagaimana akan memprioritaskan kebutuhan, bagaimana mendidik dan mengasuh buah hati mereka berdua, bagaimana menghadapi masalah kecil yang berdampak besar bagi kehidupan mereka. Dan kini, mereka kembali diperhadapkan kepada masalah internal yang membuat keduanya berjarak. Seperti kali ini, Jevin dengan segala emosinya mengutuk dirinya sendiri yang merasa kurang cakap menjadi seorang ayah dan suami.
Usai menerima pesan dari Letta, Jevin yang sudah ada di rumah tidak menjumpai Letta di sana bersama Eugene. Lalu Jevin berusaha menelepon Letta, tapi hasilnya nihil, Jevin juga coba menghubungi Cleo, tapi hasilnya juga nihil. Kali ini, Letta berniat pergi ke suatu tempat, Letta masih berada di pinggir jalan, menggendong eugene dan membawa sebuah tas jinjing. Badan Eugene yang masih panas sebenarnya juga membuat Letta khawatir membawa Eugene keluar rumah.
Tapi, jika bertemu Jevin mungkin pertengkaran hebat yang akan terjadi. Di sisi lain, Jevin sibuk melacak keberadaan Letta, Jevin juga berusaha terus untuk mengirim pesan kepada Letta dan menghubunginya, tapi Letta menolaknya. Akhirnya dengan petunjuk lokasi ponsel Letta, Jevin mengikutinya. Jevin paham betul bahwa Letta hendak menuju ke kediaman Verica dan Jordie. Tak butuh waktu lama untuk Letta naik taksi karena jarak yang tidak terlalu jauh, sekitar lima belas menit, Letta sudah tiba di kediaman Verica.
Adik ipar Letta itu langsung menyambut kedatangan Letta dan membantu membawakan tas jinjing Letta dan langsung mengajak Letta ke kamar untuk menidurkan Eugene yang sudah terlelap. Letta datang ke sana dengan kondisi sudah menangis. Maka setelah Letta menidurkan Eugene di tempat tidur, Verica dan Letta duduk di tepi tempat tidur dan berbicara empat mata.
“Kak, kenapa?” tanya Verica sambil mengusap lengan Letta. Sementara Letta terisak, dan susah untuk mengatur kata-katanya.
“Pelan-pelan ceritanya, nggak papa, Kak Letta sama Kak Jevin kenapa?” tanya Verica lagi. Hingga saat Letta sudah sedikit tenang, Letta mulai angkat bicara, “aku hamil lagi, and I thank God for this, tapi, aku sama Jevin akhir-akhir ini nggak baik-baik aja. Aku nggak tahu dia kenapa, aku nggak ngerti dia ada masalah apa, Eugene sakit dia ngomel, nanggepin chatku seakan-akan aku ganggu dia. Aku nggak paham, Ver. Lagi lagi, rumah tanggaku sama Jevin ada celah, ada yang retak diantara aku dan Jevin. Terakhir kali insiden antara aku, Jevin, Stella udah cukup bikin aku trauma, aku takut kalau ada perpisahan.”
Verica pun memeluk Letta, ia berkata, “kak, ada baiknya diomongin berdua kalau udah sama-sama berkepala dingin, komunikasi, Kak. Nggak boleh ada yang pisah, Tuhan nggak suka perceraian, Kak, inget itu. Kalau mau tenangin diri dulu disini nggak papa, aku beliin kakak makanan dulu sama Eugene ya.”
“Nggak usah, Ver.”
“Aku mau beliin bubur buat Eugene, sama buat kakak, santai aja, disini dulu nggak papa. Kakak istirahat, ya? Ada mbak Ana kok, kalau butuh apa-apa bilang aja ke mbak Ana,” kata Verica tersenyum, dibalas anggukan Letta, Verica keluar dari kamar itu. Mbak Ana adalah asisten rumah tangga di kediaman Verica yang tentu saja sudah mengenal Jevin dan Letta sejak dulu.
Sementara itu, Jevin mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi berharap belum terlambat sampai di kediaman Verica. Sesampainya di rumah Verica, keadaan sepi, tidak Jevin jumpai Letta dan Lea ataupun Eugene, bahkan Jordie ataupun Verica. Jevin hafal betul dimana Letta biasanya menginap jika ada di rumah ini.
“Eh, Mas Jevin,” sapa mbak Ana yang membukakan pintu kala itu.
“Mbak, Letta disini? Verica sama Jordie ada?” tanya Jevin.
“Non Letta di kamar biasa, ibu lagi keluar kalau bapak pulang malem nanti.”
“Oh, oke, makasih Mbak.” Jevin tersenyum sambil menganggukkan kepalanya lalu berjalan cepat menuju kamar yang dimaksud.
Tiba di ambang pintu kamar, ia sayup-sayup mendengar senandung Letta menyanyikan lagu, tidak lain pasti Letta tengah menidurkan Eugene. Maka Jevin buka pintu itu perlahan, dilihatnya Letta tengah bersandar di ranjang dan Eugene terlelap di sebelah Letta dengan posisi memeluk perut Letta.
“Lett... ” Lirih Jevin kala itu. Letta menoleh dengan tatapan yang datar, jauh dari kata ramah. Letta pun membenarkan posisi Eugene dan menyelimuti anaknya lalu berjalan keluar, diikuti Jevin, beberapa kali Jevin coba menarik lengan istrinya itu tapi Letta hempaskan kasar. Akhirnya keduanya berada di halaman belakang rumah Verica itu.
“Mau ngomong apa?!” tanya Letta ketus.
“Let, kamu hamil lagi? Control ur emotion, I'm sorry... Really sorry.” Jevin melihat Letta memalingkan wajah ke kanan tapi air matanya mengalir begitu saja dan Letta usap kasar dengan punggung tangannya.
“Pertama, aku minta maaf. Aku kebawa emosi waktu chat kamu. Aku cuma mau anak kita jadi mandiri nanti kalau besar, mungkin caraku salah, aku minta maaf. Tapi aku sibuk, alasanku Eugene punya kamar sendiri bukan pengen buang dia atau apa lah, tapi biar kamu juga punya waktu istirahat yang berkualitas. Toh selama ini juga baby monitor nya bekerja dengan baik, dan kamu juga sakit akhir-akhir ini, aku nggak bisa lihat kalian sakit, maafin aku, Sayang, maaf,” kata Jevin sambil meraih jemari Letta.
“Omonganmu nyakitin!”
“Lett, aku gagal sebagai kembaran Mevin. Kamu tau aku banyak kesalahan sama dia yang kalau diukur pakai nalar manusia aku nggak pantes dapet kata maaf, kebahagiaan Mevin banyak yang aku renggut, bukan gitu maksudku. Maaf aku kebawa emosi. Sayang, akhir-akhir ini aku...” Suara Jevin semakin lirih bahkan terdengar parau di kalimat terakhirnya yang belum usai itu.
“Lett, setiap ada anggota keluarga yang sakit aku nggak bisa lihatnya. Terlalu sering keluarga ini dapet cobaan yang hampir renggut nyawa. Papa, Mama, Mevin, bahkan kamu.” Jevin melanjutkan kalimatnya.
Letta mulai membawa pandangannya ke arah Jevin, “aku nggak pernah sakit.”
“Pernah, waktu harus dapet donor hati dari Eve,” kata Jevin yang membuat Letta mengingat kembali portal masa lalu beberapa tahun silam sebelum Letta menikah dengan Jevin. Memang benar, Letta memerlukan donor hati untuk sebagian bagian hatinya yang rusak.
“Mulai dari kamu, Mevin, Mama, Papa, semua pernah sakit dimana aku harus ada buat berdoa untuk hasil terbaik atau kemungkinan terburuk. Bukan aku nggak peduli sama Eugene, kamu juga sakit kan sekarang? Bahkan dalam keadaan hamil. Maaf, aku tuh takut, setakut itu kehilangan atau harus keulang lagi lihat anggota keluargaku di rumah sakit dengan kondisi yang nggak pernah aku bayangin sebelumnya. Kamu juga setelah menikah sama aku harus operasi kista, kena vonis nggak bisa punya anak, kamu depresi, aku lebih depresi, lihat kamu nangis aku nggak kuat. Sampai akhirnya Tuhan kasih Eugene buat kita. Untuk beberapa waktu ini... Aku udah ngerasa kalau kamu hamil anak kita, tapi aku belum berani nanya, maaf... Maafin aku. Aku pengen Eugene mandiri juga biar nggak brengsek kayak aku waktu muda dulu aku nggak mau anakku kayak aku, Lett. Maaf... ” Jevin mulai tertunduk dan akhirnya berlutut di hadapan Letta sambil masih menggenggam tangan istrinya itu.
“Nggak perlu bawa bawa masa lalu, apalagi tentang Mevin. Pada akhirnya hubungan antara aku dan Mevin yang pernah ada itu jembatan untuk akhirnya Mevin berlabuh sama Grace dan aku sama kamu, ngerti?” Letta berkata dengan tenang tapi Jevin tidak menjawab karena masih tertunduk dan menahan air matanya.
“NGERTI NGGAK, JEVIN?! JAWAB AKU!!” pekik Letta lantang sambil menghempaskan genggaman tangan Jevin, saat itu juga Jevin tersungkur lalu secepat kilat memeluk perut Letta dengan posisi masih berlutut. Punggung Jevin bergetar hebat, tangisannya pecah saat itu juga.
“Maafin aku... Maafin aku... Aku paham, aku ngerti, maaf... Aku sayang kamu, Lett, aku sayang kamu, Eugene dan calon anak kita... Maafin aku...” Bahkan suara tangis Jevin menambah pilu dan sayatan di hati Letta kala itu.
“Berapa kali bahtera rumah tangga kita retak? Kamu mau bikin hancur beneran atau gimana, Jev?!” bentak Letta sambil menangis. Ia merasakan Jevin menggeleng cepat sambil terus menangis memeluk perut Letta dan di posisi berlutut. Jevin bersimpuh menangis sejadi-jadinya. Mendengar tangisan Jevin yang semakin menjadi memang awalnya membuat Letta bertahan di posisi itu beberapa saat, tapi Letta mulai merendahkan tubuhnya saat ia sudah mengatur napasnya, mulai merengkuh tubuh Jevin yang membungkuk, Letta memeluk tubuh gagah suaminya yang masih bergetar karena tangisan itu.
“Tapi hal lain yang ganggu pikiran aku akhir-akhir ini karena Papa kena serangan jantung, semua nggak baik-baik aja, aku nggak tahu harus gimana,” bisik Jevin lirih.
“Kenapa kamu nggak bilang kalau Papa sakit?” kata Letta lirih sambil mencoba tenang walaupun sebenarnya ia juga terkejut. Jevin mendongak sejenak, menatap istrinya yang menangis lalu memeluknya erat.
“Aku takut, kita masih kayak perang dingin, aku kira satu hari itu udah dan Papa bisa pulang ternyata catatan medis kurang baik, Papa kena serangan jantung, ada yang ribut sama Papa karena Papa pecat dia karena korupsi uang kantor. Tapi Papa yang diancem sampai ribut besar, Papa sekarang masih di rumah sakit, maafin aku. Kamu sama Papa sakit, Eugene juga, Mama juga terpukul banget. Semua nggak baik-baik aja dan aku cuma bikin runyam. Maafin aku, Lett...” Keduanya saling memeluk dan mencurahkan tangisan dan saling mengucapkan maaf, tak lagi saling mengutuk tapi saling memeluk. Letta tidak bisa berkata apa-apa lagi.
“Papa udah sempat pesen ini itu ke aku, kayak ... aku nggak kuat dengernya, bayangan kehilangan Eve hadir lagi, Papa pesen-pesen ke aku waktu nggak ada siapa-siapa, Papa masih nanyain kamu dan Eugene walaupun kondisinya lemah, Papa juga sempat bilang kalau suatu saat Papa nggak ada...” Kalimat Jevin terhenti karena Jevin yang langsung menangis meraung saat itu juga. Bayangan Jevin saat harus melepas Eve selamanya di pelukannya memang tidak bisa dilupakan rasanya, melepas kepergian selamanya seseorang yang berharga, menjadi saksi bagaimana embusan napas terakhir orang yang kita sayang itu ada di pelukan kita memangs sesakit itu bahkan mungkin akan teringat sepanjang usia.
Jevin kembali tertrigger hal tersebut, ia menangis sejadi-jadinya, ia memukuli dadanya sendiri, membuat Letta juga teringat waktu itu, tangan Letta yang gemetar mencoba tahan tangan Jevin yang terus memukul dada dan kepala Jevin bergantian.
“Udah.. udah... Jevin...”
“Jevin!” ucap Letta lagi dengan nada tinggi yang membuat Jevin diam, air matanya mengalir deras tapi pandangannya terkunci di iris mata Letta. Bibir Jevin bergetar saat berkata, “jangan pergi... Jangan tinggalin aku,” Letta mengangguk lalu mengecup kening Jevin dan memeluklah mereka berdua lagi. Tak henti Jevin ucapkan kata maaf, tak henti Jevin ucapkan kata cinta tulus dari hati terdalamnya.
“Kalau aku nyakitin kamu, boleh untuk kamu ninggalin aku, Letta. Aku janji, aku janji,” kata Jevin seperti orang ketakutan. Letta meledak dalam tangis juga, keheningan dipecah oleh tangisan kedua insan yang saling merengkuh itu. Tiba-tiba Jevin dan Letta merasakan tangan kecil yang hinggap di punggung mereka, keduanya melihat Eugene kecil berjalan dan ada di sana, “Papa, Mama don't cry...” kata Eugene dengan mata yang berkaca-kaca. Tangan mungil Eugene meraih pipi Jevin seakan mengusap air mata Jevin membuat Jevin memegang tangan mungil itu, menahannya di pipinya untuk ia kecup sejenak.
Jevin pun bergerak beralih menangkup pipi anaknya itu, “I'm sorry... Papa love you so much, Papa sayang Eugene,” kata Jevin.
“Eugene juga sayang Papa sama Mama,” kata Eugene yang langsung memeluk sosok Papanya itu, diikuti Letta yang juga memeluk, keluarga kecil ini memang berbekal pengalaman hidup yang tidak mudah tapi berjanji akan saling memperbaiki ke depannya bersama, sekuat tenaga, sampai akhir, sampai raga keduanya terpendam. Kali ini Jevin berjanji sepenuh hati, kali ini tak akan ada lagi perpisahan atau celah keretakan dalam bahtera rumah tangga mereka. Berkat baru didapatkan Letta dan Jevin lagi kali ini, kehamilan kedua Letta adalah wujud nyata kasih Tuhan, vonis dokter dan tim medis yang berkata Letta akan sulit memiliki keturunan nyatanya dipatahkan oleh kuasa Tuhan, kehadiran Eugene dan calon adik Eugene adalah bukti bagaimana kita umatNya hanya perlu berserah, biar Tuhan yang bekerja. Dalam segala hal, dalam setiap langkah kehidupan, untuk setiap pergumulan akan ada titik terang, tapi tergantung kita berlari menjauh atau mendekat kepadaNya. Untuk setiap sakit akan sembuh pada waktu yang tepat, Tuhan tidak akan ijinkan “PULANG” sebelum waktunya. They promise to fix their broken vessel again.