GOODBYE SAMMY

Seperti apa yang dikatakan Mevin bahwa ia akan menjemput Yoel dan Axel dan langsung menuju ke bandara bersama Shallom juga. Mevin mengendarai mobilnya sedikit lebih cepat dari biasanya. Sampai di depan rumah Jevin pun Mevin sudah mendapati Yoel dan Axel yang menunggu di depan pagar, maka kedua anak lelaki itu langsung masuk ke mobil Mevin.

“Ini ke bandara atau ke rumah Sammy?” tanya Mevin menoleh kepada Axel dan Yoel yang duduk di bangku belakang.

“Rumah Sammy, Om.” Axel menjawab dengan sedikit ngos-ngosan.

“Oke, kita jalan sekarang.” Mevin pun menancap gas mobilnya. Sementara Shallom di sebelah Mevin hanya tertunduk dan menangis. Axel melihat jelas Shallom yang duduk di depannya sedang menangis. Yoel dan Axel hanya saling menatap, keduanya tahu kedekatan Sammy dan Shallom. Keduanya tahu bagaimana hancurnya hati Shallom jika setelah ini berpisah dengan Sammy.

Tak butuh waktu lama, akhirnya mereka tiba di kediaman Sammy. Shallom, Yoel dan Axel turun terlebih dahulu sementara Mevin memarkirkan mobilnya agar tidak mengganggu jalanan. Saat mereka turun, bersamaan dengan Sammy yang baru saja mengunci gerbang rumahnya.

“Sammy!” Shallom berlari terlebih dahulu menghampiri anak lelaki itu. Sammy nampak terkejut saat melihat kedatangan ketiga sahabatnya. Begitu juga Axel dan Yoel yang juga berlari menghampiri Sammy.

“Shallom? Yoel? Axel?” Sammy kaget bukan main.

“Kamu jahat!” tukas Shallom sambil memukul pelan lengan Sammy, jangan ditanya wajah Shallom memerah dan matanya masih sembab.

“Kenapa sih lo tuh? Kenapa nggak ngomong? Ini masalah perpisahan, Sam! Katanya sahabat?!” pekik Axel.

Sammy kehabisan kata-kata.

“Lo nggak mau ketemu kita lagi apa gimana?” Yoel ikut kesal.

Sunyi dan hening sesaat merambat, tidak ada suara tapi kepala Sammy terlalu berisik sampai akhirnya satu persatu kebisingan di kepalanya ia utarakan, “bukan gitu maksud gue. Susah buat ucapin selamat tinggal sama kalian, susah buat pamit, susah buat ninggalin kalian, ngerti nggak sih?! Kalian masih punya satu sama lain disini, sedangkan gue? Gue sama siapa? Gue kehilangan kalian! Bukan gue nggak mau pamit sama kalian, bukan gue nggak mau ketemu kalian. Tapi gue takut gimana kalau gue nggak bisa ketemu kalian lagi!” penekanan demi penakanan terdengar dari kalimat yang Sammy utarakan meski dengan mata yang berkaca-kaca.

Napas Sammy sesekali sesak, tapi ia melanjutkan lagi kalimatnya, “Maafin gue, Yoel, Axel… Shall…”

Saat itu juga Shallom menangis terisak, saat itu juga Axel dan Yoel meneteskan air mata tanpa suara, persahabatan mereka berempat kini akan terasa berbeda, akan ada satu yang hilang. Bukan tidak menjadi sahabat mereka lagi, tapi ini tentang kehadirannya. Ini tentang kehadiran Sammy di tengah Shallom, Axel dan Yoel.

Angin sepoi sore itu membawa Sammy memeluk Yoel, “Yoel, belajar yang bener, harus naik kelas terus. Harus sehat terus, jangan ngopi terus. Selamat udah menang menpora cup, gue yakin lo pasti masih bakalan cetak banyak prestasi ke depannya. Bareng-bareng terus sama Shallom sama Axel. Jangan pernah berantem lagi sama anak di sekolah, diemin aja, mereka nggak tahu gimana perjuangan lo sampai sekarang. Lo udah jadi Yoel yang hebat banget. Gue bangga jadi temen lo, Yoel.” Yoel tidak bisa berkata-kata, ia hanya meneteskan air mata dan memeluk Sammy erat untuk beberapa saat. Setelah ini mereka tidak akan bisa saling merangkul dan memberi semangat secara langsung seperti ini lagi, tapi akan ada yang berubah. “Lo juga, jaga diri di sana. Kita harus ketemu lagi, harus, ya?” Yoel berkata lirih sambil melepaskan pelukan, Sammy mengangguk dan tersenyum lalu melakukan high five dengan Yoel.

Sammy pun melangkah mendekat ke arah Axel, baru saja Sammy hendak membuka mulutnya tapi Axel langsung memeluk Sammy, “jaga diri, jangan lupain kita, jangan lupa tetep kabar-kabaran sama kita. Lo bagian dari kita berempat sampai kapanpun.” Axel tak kalah sedih saat memeluk Sammy. Atmosfer sore itu hanya ada haru dan pilu, tawa mereka yang biasa mereka bagi kini sirna sejenak.

“Lo juga ya, gue titip Yoel sama Shallom. Makasih udah dateng kesini dan kumpul sama gue, Yoel dan Shallom. Pastiin mereka baik-baik aja, tapi jangan lupa sama diri lo juga.” Sammy menepuk-nepuk punggung Axel. Saat mereka merenggangkan jarak, Axel menyeka air matanya dengan punggung tangannya. Axel memaksakan senyum yang terasa berat saat itu, tapi melihat Sammy begitu kuat, ia pun melebarkan senyumnya lagi.

Lalu Sammy kini berhadapan dengan Shallom, gadis yang ia kagumi selama ini dalam diam. “Shall…” panggilan lirih dari Sammy membuat Shallom mendongakkan kepalanya. Tatapan keduanya yang bertaut membuat keduanya membeku sesaat mengingat beberapa kebersamaan yang sudah terlewati bersama.

“Shall, maaf buat semua kesalahanku, maaf kalau aku bikin kamu kesel dan marah. Tapi⎯” belum selesai kalimat dilontarkan Sammy, Shallom sudah memeluk anak lelaki itu.

“Kamu akan jadi Sammy yang jahat kalau nggak pamitan sama aku, Axel sama Yoel. Kita harus ketemu lagi nantinya, kita bakalan kehilangan banget kalau kamu pergi tanpa pamit. Nggak boleh kayak gitu, jaga diri ya, Sam. Jangan pernah lupa sama kita.” Kalimat Shallom diucapkan dengan tersedu-sedu karena menangis. Hal itu juga membuat hati Yoel dan Axel tercabik juga kala melihatnya.

“Makasih udah jadi salah satu alasan aku tersenyum, Shall.” Tiba di penghujung kalimatnya, sebenarnya Sammy ingin sekali memberitahu perasaannya, tapi ia tahu mungkin saatnya tidak tepat. Akhirnya Sammy memutuskan untuk memendam lagi pengakuan yang sudah tertahan di ujung lidahnya itu. Setelah ini akan ada hari-hari yang Shallom lewati tanpa Sammy, dan begitu juga sebaliknya. Tapi, tiba-tiba Shallom memeluk Sammy terlebih dahulu, disusul Yoel yang ikut memeluk dan juga Axel. Pelukan mereka berempat disaksikan Mevin kala itu yang berjalan mendekat ke arah mereka, diam-diam juga tadi Mevin sudah sempat mengabadikan moment mereka.

“Sammy…” Suara Mevin membuat mereka melepaskan pelukan.

“Om Mevin?” Sammy tidak menyangka dengan kehadiran Mevin di sana. Ia pun memberi salam kepada Mevin.

“Sammy, hati-hati di jalan, ya? Nanti pasti bisa ketemu lagi dan kumpul lagi sama Shallom, Yoel dan Axel. Sam, jaga diri di sana, apapun keputusan Mamanya Sammy, pasti itu sudah dipikirkan baik-baik. Tuhan nggak tidur, Sam. Tuhan tahu apa yang ada di hati kamu dan keinginan kamu. Keep smile anak hebat!” kata Mevin sambil membelai puncak kepala Sammy. Nyatanya, hal itulah yang membuat Sammy akhirnya pecah dalam tangisan. Mevin pun bergerak memeluk anak lelaki itu, “makasih Om Mevin… makasih banyak,” kata Sammy menangis di pelukan Mevin.

Axel, Yoel dan Shallom melihat moment itu juga merasa terharu. Mevin pun memegang kedua pundak Sammy, lalu ia menatap mata anak lelaki itu, “Sam, yang namanya perpisahan itu memang nggak ada yang mau ngalamin, tapi kalian masih ada kesempatan ketemu di bangku kuliah nanti, kan? Kita nggak pernah tahu kemana Tuhan akan kirim kalian.” Mevin menegakkan posisinya.

“Kita nggak pernah tahu kemana Tuhan akan kirim Yoel, Axel, Sammy dan Shallom untuk kuliah nanti. Bahkan bukan suatu kemustahilan nanti kalian semua akan ketemu lagi. Iya, kan? Cukup berserah dan jalani semuanya aja, ya? God is good all the times, kok.” Mevin bergantian menatap keempat anak itu. Maka sore itu, mereka kembali saling memeluk lagi, Mevin juga mengabadikan moment mereka dengan mengambil foto Yoel, Sammy, Shallom dan Axel. Sampai akhirnya seseorang datang menjemput Sammy dengan mobil, mereka pun membantu Sammy untuk menaikkan barang bawaan Sammy ke mobil.

Untuk sekali lagi Sammy berpamitan kepada Mevin, Yoel, Axel dan Shallom. Tapi saat berpamitan terakhir kali dengan Shallom, Sammy memberikan gadis itu secarik kertas, “dibaca dirumah aja, ya?” kata Sammy lirih. Shallom menurut, ia simpan secarik kertas itu di kantongnya. Mereka pun mengantarkan Sammy naik ke mobil lalu Sammy membuka kaca jendela mobil itu, saling melambaikan tangan sampai akhirnya mobil yang Sammy tumpangi hilang dari pandangan Mevin, Yoel dan Axel.

Akhirnya Mereka pun berjalan untuk kembali ke mobil, Mevin berjalan terlebih dahulu disusul Yoel, Shallom dan Axel. Mereka bertiga berjalan beriringan.

“Shall, mau tahu sesuatu nggak?” kata Yoel.

“Apa?” tanya Shallom.

“Sammy sebenernya…” kalimat Yoel menggantung.

“Sammy suka sama kamu, Shall.” Axel memotongnya. Langkah Shallom terhenti, diikuti Axel dan Yoel.

“Dia nggak pernah berani ngomong karena dia mau pindah, takut Cuma bikin kamu sakit hati aja.” Yoel menambahkan lagi.

“Surat yang dikasih Sammy ke kamu itu sebenar-benarnya perasaan Sammy selama ini. Disimpen, ya? Jangan pernah hilang,” kata Axel sambil tersenyum membuat lesung pipinya terlihat jelas. Hati Shallom berdesir, ia mengangguk.

TIN! Mevin membunyikan klakson mobilnya memberi isyarat mereka untuk naik ke mobil. Shallom menatap Yoel dan Axel bergantian, kedua anak lelaki itu tersenyum lalu merangkul Shallom bersamaan.

“Jangan sedih lagi, nanti Sammy juga sedih.” Axel mencoba menghibur.

“Until we meet again with Sammy.” Yoel menutupnya. Shallom mengangguk lalu mereka saling tersenyum dan tidak lagi menangisi perpisahan ini.

Selama di mobil, Shallom memilih duduk di tengah di antara Yoel dan Axel, ia pun membuka surat yang diberikan Sammy tadi dan membacanya dalam hati. Sementara Yoel dan Axel sudah saling menatap memberi kode takut kalau Shallom akan menangis, kedua anak lelaki itu pun hanya membuang pandangan ke luar jendela berpura-pura tidak melihat Shallom yang tengah membaca surat itu.

Dear Shallom

Shall, kayaknya ini bukan waktu yang tepat buat ngomong kayak gini. Kamu nggak perlu jawab, kamu cuma perlu atur perasaan kamu dan perasaanku ke kamu biar aku yang atur. Shall, makasih udah jadi sahabat yang baik buat aku, sama kayak Yoel dan Axel yang selalu ada buat aku. Tapi ternyata waktuku sama kalian nggak banyak. Maaf ya Shall buat semua kesalahan aku. Sekarang aku sendiri dan kalian masih bertiga, aku nggak tahu kedepannya akan seperti apa. Aku nggak tahu gimana aku tanpa kalian semua. Tapi, ada satu hal yang aku belum pernah bilang ke kamu, aku nggak tahu apakah bilang tentang hal ini bikin kita semakin jauh atau enggak.

Tapi aku harus ambil konsekuensi, aku juga nggak bisa diem terus. Shall, I have a crush on you selama ini, aku suka sama kamu. Cara kamu senyum, cara kamu ngomong, cara kamu memperlakukan sesama teman, aku suka semua tentang kamu. Aku berterima kasih banget sama Tuhan udah kirim kamu, nggak cuma kamu yang bikin aku kagum tapi keluarga kamu. Papa sama Mama kamu yang baik dan welcome ke aku, Papa sama Mama kamu yang selalu kasih advice baik ke aku bahkan bantuin aku di saat terpurukku, bahkan Papa kamu nggak segan kasih aku peluk yang nggak pernah aku rasain lagi setelah kehilangan Ayah.

Shall, aku memang suka sama kamu, tapi nggak usah dijawab, ya? Setelah ini kalau memang kamu nggak berkenan sama pengakuanku nggak masalah. Yang penting kamu nggak boleh sedih lagi. Gonna miss our quality time banget hehe, video call buat bahas tugas, teleponan sampai ngantuk, main sama Yoel sama Axel, main ke rumah kamu, belajar di rumahku, nongkrong berempat. Setelah ini aku gimana ya? Semoga kalian nggak lupa sama aku ya. Aku juga bakalan terus berdoa biar kita dikasih Tuhan kesempatan buat ketemu lagi. Semoga disaat kita ketemu nanti nggak ada lagi air mata. Dengan siapapun nantinya kamu bahagia, tangan siapapun nantinya yang kamu genggam, aku ikut seneng. Tapi yang jelas sampai sekarang I still have a crush on you. Aku cuma mau kamu tahu, nggak berharap sesuatu yang lebih. Udah cukup, aku udah lega ngakuin semuanya. Semoga Tuhan kasih kita waktu ketemu lagi ya. Jangan sampai sakit, tetap jadi Shallom yang ceria, jangan begadang ngerjain tugas. jangan sampai lupa makan. See you again Imanuella Shannon Gravianne Adrian.

Setelah itu Shallom benar benar terisak seketika, Yoel dan Axel langsung menepuk pundak Shallom.

“Shall, kenapa?” tanya Mevin yang mengemudi saat mendengar anaknya terisak.

“Nggak apa-apa Om, masalah internal antara kita hehe,” jawab Yoel.

“Axel, kalau Yoel nakal tolong dijewer aja,” balas Mevin.

“Haha, siap om!” ujar Axel.

“Shall, udah jangan nangis..” Axel berbisik lirih.

Shallom menggeleng, anak gadis itu masih menenggelamkan wajahnya di telapak tangannya, “kenapa nggak ngomong langsung? Kenapa harus sekarang pas udah pergi, kenapa sih...” Shallom terisak. Kalau sudah begini Yoel ataupun Axel pun tidak bisa membantah dan tidak bisa berkata-kata lagi. Terkadang pengakuan yang kita tunggu harus kita dengar di saat terakhir sebelum kita berpisah dengan seseorang. Waktu kadang tidak memihak, sehingga tidak ada yang bisa kita lakukan. Kini Shallom dan Sammy terpisah jarak dan waktu, yang bisa mereka lakukan hanyalah tetap menjalani kehidupan yang terus berjalan sampai waktunya nanti jika diijinkan untuk bertemu lagi, entah dengan perasaan yang sama atau berbeda. Tapi doa mereka, tidak hanya Sammy dan Shallom tapi Yoel juga Axel adalah semoga mereka dipertemukan lagi suatu hari nanti.