Hari Tanpa Grace

Berbicara perihal kehidupan, banyak hal yang mengiringi perjalanan setiap orang. Banyak hal yang sudah direncanakan harus gagal begitu saja, banyak juga hal yang tidak pernah kita rencanakan malah terlaksana diluar kendali kita. Malam ini, Mevin masih meratapi hal yang tidak pernah ia bayangkan yang terjadi kepada keluarga kecilnya. Grace terbaring koma karena mengalami kecelakaan saat mengurus resign dari Rumah Sakit. Mevin tengah menggendong Miracle, putra pertamanya dan Grace, Mevin berdiri di depan ruang ICU. Bayi mungil berusia enam bulan itu tertidur pulas di gendongan Mevin. Sementara Grace juga terpejam di dalam ruangan rawatnya.

Belum sadarkan diri dan juga belum tunjukkan tanda-tanda membaik. Samar-samar Mevin mengingat bagaimana kebahagiaan keluarga kecilnya beberapa waktu lalu. Kehadiran Miracle sangat membawa bahagia untuknya dan Grace, terlebih juga saat Miracle lahir banyak kejadian diluar dugaan yang harus terjadi. Memang, di kehidupan kita kadang kita butuh waktu untuk sendiri dan berkawan sepi, tapi untuk saat ini Mevin tidak bisa. Sebab, jauh di lubuk hatinya, ia membutuhkan Grace, Miracle membutuhkan sosok ibu. Grace berjanji akan memberikan ASI eksklusif untuk anak mereka karena Grace ingin yang terbaik, tapi sekarang malah hal lain menimpa Grace.

Yang menyeruak di sana hanyalah rasa pedih. Mevin pun duduk di bangku panjang, menunggu kedatangan Mamanya untuk menjemput Miracle. Mevin membiarkan Miracle tinggal bersama kedua orang tuanya untuk sementara karena Mevin juga masih harus bekerja. Ia kalang kabut, cemas saat meninggalkan Miracle tapi juga belum bisa tenang mengingat keadaan Grace. Perihal perkara rumah tangga yang memicu perpecahan, jauh, Mevin tidak sebrengsek itu untuk menyakiti atau mendua. Tapi, ujian rumah tangga Mevin dan Grace lebih cenderung ke hal-hal yang sulit diprediksi. Terlalu banyak insiden yang terjadi.

Akhirnya setelah lama menunggu, Mevin melihat kedua orang tuanya datang. Lea dan Jeremy berjalan cepat dan langsung menghampiri Mevin.

“Mama!” kata Mevin menyambut kedatangan Mamanya itu, Lea langsung mencium kening Mevin dan meraih Miracle untuk ia gendong. Jeremy memeluk Mevin sejenak juga, menanyakan keadaannya.

“Gimana? Kamu mau disini? Miracle biar tidur di rumah papa mama?” tanya Jeremy.

“Iya, sekalian besok kerja. Nggak papa, kan? Mevin titip Miracle, ya, Pa. Ini tasnya semua perlengkapan dan susu, segala macemnya ada disini.” Mevin mengambil tas yang berisi perlengkapan anaknya itu lalu menyerahkannya kepada Jeremy.

“Iya, yang kuat ya, Grace pasti sembuh.” Jeremy meraih tas itu dan mengelus punggung Mevin sejenak.

“Makasih, Pa. Makasih, Ma.” Mevin usahakan senyuman terbaik untuk kedua orang tuanya itu. Maka berpamitanlah kedua orang tua Mevin itu dari sana membawa Miracle bersama mereka dan meninggalkan Mevin di sana. Mevin kembali mendekat ke jendela kaca dimana ia bisa melihat Grace di sana.

“Grace, janji sembuh, ya?” tak disangka, air mata Mevin menetes begitu saja saat selarik kalimat penuh pilu itu ia ucapkan lirih.

YEMIMA JOSEPHINE

Seorang wanita bernama Yemima Josephine, yang kerap disapa Yemima itu pernah menyukai senyum simpul yang Mevin miliki. Bahkan ia sempat hampir memiliki dan menjadi ratu di hati sang tuan. Hanya hampir, tidak pernah terlaksana. Debar-debar yang Yemima rasakan kala itu hanya sementara, begitu juga dengan Mevin. Keduanya sempat dekat selama ada di bangku kuliah. Tapi kedekatan itu tidak berlangsung lama. Sangat dekat tapi tidak pernah bersatu, begitulah mereka saat itu. Lalu keduanya dipertemukan lagi di Indonesia. Beberapa tahun lalu saat Mevin mengalami kelumpuhan sementara, Yemima lah yang menjadi dokter dan yang menangani fisioterapi yang Mevin lakukan. Tapi rasa diantara Yemima dan Mevin benar-benar sudah hilang. Benar-benar tidak ada lagi, hanya sebagai rekan kerja secara profesional.

Hari ini, Yemima berjanji untuk bertemu Mevin di suatu café. Keduanya sudah membuat janji untuk bertemu, Yemima memang yang memintanya. Yemima tidak memberitahu terlebih dahulu kepada Mevin apa tujuannya mengajak Mevin bertemu. Siang itu, Yemima menunggu Mevin sembari menikmati segelas macchiato dan toast. Yang ditunggu datang, Mevin yang baru saja usai melakukan visit pasien datang menghampiri Yemima. Saat Yemima melihat kedatangan Mevin, Yemima sedikit melambaikan tangan agar Mevin melihatnya, benar saja Mevin langsung menghampiri wanita itu.

“Hey, sorry kalau lama,” kata Mevin.

“Enggak, santai aja, habis ini nggak ada acara, kan?” tanya Yemima, Mevin menggeleng.

“Nggak ada, cuma mau jemput Miracle di rumah Papa sama Mamaku. Ada apa?” tanya Mevin lagi.

“Aku pindah tugas, dan aku bakalan pindah dari Rumah Sakit ini, tapi aku masih nunggu sampai anakku libur semester. Gimana keadaan Grace?”

Mevin menyandarkan tubuhnya di kursi lalu menghela napas sejenak, “belum ada kemajuan,” tuturnya lesu.

“Aku aja pusing banget, nggak bisa selalu repotin Papa sama Mama. Banyak hal yang harus mereka urus juga, udah semingguan ini Mama nggak urus beauty barnya, terus Mama juga kayaknya lagi sakit, namanya orang tua, takut nular juga ke Miracle.” Mevin melanjutkan kalimatnya.

“Vin, kalau Miracle aku jagain dulu kalau Mama kamu nggak bisa, gimana? Anakku kan sekolah, kalau Mama kamu lagi nggak bisa jagain, aku bisa kok. Selagi aku masih disini,” ucap Yemima.

“Jangan, aku nggak mau repotin kamu.”

“Kamu lebih repot, Mevin. Beneran deh, aku juga nggak ada kerjaan, kan? Anak aku juga masih kelas satu, dia pasti seneng juga kalau ada temennya di rumah, ya walaupun sebentar aja sih, ada suster yang anter jemput anakku kadang, atau bisa juga nanti suster jaga Miracle, aku yang jemput anakku.” Yemima masih memberi penawaran, tapi Yemima benar-benar tulus melakukannya. Mevin nampak berpikir sejenak, setelah berunding lama akhirnya Mevin mengiyakan apa kata Yemima. Yang Mevin tahu, sejak kuliah dulu, Yemima memang perempuan yang baik. Untuk masa lalu yang sudah lewat biarlah itu jadi kenangan masa lalu, untuk kebaikan yang Yemima tawarkan saat ini, biarlah Tuhan yang membalas kebaikan hati Yemima.