HE SAID SORRY

Perih dan pedih yang melanda hati Eilene dan penyesalan tiada henti semakin tidak menentu, dan benci yang menderu dalam hatinya akan sosok Raymond hanya bisa ia pendam, sang pembuat kebencian mendalam dan yang sudah menghancurkan hidupnya memilih untuk melepaskannya begitu saja tanpa tanggung jawab atas janin kembar yang sekarang ada di kandungan Eilene. Awalnya Raymond tidak mau mengakui bahwa bayi dalam kandungan Eilene adalah hasil perbuatannya. Hari demi hari berlalu, pagi itu langit agak mendung, awan hitam menggantung, hari itu Eilene berniat pergi ke dokter kandungan untuk sekadar kontrol ditemani Adelle, sahabatnya.

Raymond benar benar sudah tidak menghubungi Eilene lagi, keduanya berjalan masing masing tidak lagi beriringan. Eilene sudah lelah, ia seperti berlari tanpa tahu arah, seperti mengejar angin. Namun kala itu betapa terkejutnya Eilene saat ia membuka gerbang rumahnya, Raymond sudah ada disana berdiri bersandar di mobilnya sambil memainkan handphone nya. Saat menyadari Adelle dan Eilene keluar dari gerbang Raymond langsung mengantongi handphone nya dan menghampiri Adelle dan Eilene.

“Eilene!” Raymond langsung menghalangi jalan Eilene.

Eilene menghela nafas dan memalingkan wajahnya, “Apa lagi sih?! Lo mau ngapain Eilene lagi?” bentak Adelle kasar.

Tangan Raymond meraih tangan Eilene, digenggamnya kedua tangan Eilene, namun Eilene itu menepisnya kasar dan langsung memberikan tatapan tajam ke Raymond.

“Aku mau ngomong sama kamu, Eilene.”

“Nggak ada waktu!” balas Eilene ketus.

“Udah deh mending lo pergi sana! Mau apa lagi sih?” timpal Adelle.

“Please, I beg you,” pinta Raymond, kali ini ia terlihat benar-benar serius, Eilene melirik kearah Adelle memberikan kode agar Adelle menunggu di dalam. Adelle pun masuk meninggalkan Raymond dan sahabatnya disana walaupun dengan perasaan cemas.

“Mau apa?”Eilene melepaskan genggaman tangan Raymond dengan paksa. Pria itu menatap mata Eilene dalam, Eilene menyadari mata Raymond yang sembab dan merah, aneh, tidak seperti biasanya.

“Kata maafku nggak akan cukup buat bayar semua ini, semua yang udah aku lakuin. Aku tahu kamu juga nggak bakalan percaya sama aku sama sekali.” ucapan Raymond membuat Eilene sedikit kaget. Aku? Kamu?

“But let me take my responsibility of these all things that I’ve done, please. Aku serius kali ini, aku sungguh-sungguh kali ini, biarin aku tanggung jawab atas semua perbuatanku, aku udah hidup dalam penyesalan selama ini, jangan bikin aku semakin kesiksa karena nggak bisa mempertanggung jawabkan semuanya, Eilene, please.” suara Raymond menjadi sedikit bergetar.

“Kemaren kamu bilang suruh gugurin, sekarang kalau kamu kaya gini kamu pikir aku percaya?!” ditatapnya lekat lelaki di depannya itu dengan tatapan penuh kebencian.

Tiba-tiba Raymond berlutut di depan gadis yang ia sakiti berkali kali itu, tetesan air mata mulai turun seiring dengan turunnya rintik hujan dari langit yang seakan menemani tangisan penyesalan Raymond. Eilene terkejut dengan tingkah Raymond yang tidak biasanya seperti ini.

“Raymond! Apaan sih!” pekiknya.

“Aku nggak akan pergi dari sini sebelum kamu mau terima permintaan maafku dan biarin aku tanggung jawab atas ini semua.” balasnya, Raymond mendongakkan kepalanya menatap gadis di depannya, beberapa kali ia mengusap wajahnya agar bisa melihat gadis itu dengan jelas, Eilene tidak tahu harus bagaimana, sakit yang Raymond ukir sudah teramat dalam.

“Apa yang mau kamu pertanggung jawabin, Raymond? Aku udah keguguran. Aku mau ke dokter cek kondisi aku, bukan anak kamu, bukan anak kita.” ucapan Eilene itu membuat Raymond semakin kaget, ia bangkit berdiri dan langsung mencengkeram bahu Eilene, keduanya semakin basah diterpa hujan yang turun.

“Jangan bercanda!” ucap Raymond dengan nada tinggi. Eilene menatap tajam mata Raymond dengan mata yang sudah basah.

“Bercanda? Bukannya aku yang kamu buat bahan bercanda selama ini?!”balasnya. Raymond menghantamkan satu pukulan ke kaca mobilnya lalu mencengkeram bahu Eilene lagi.

“Kenapa kamu baru ngomong?!”

“Kenapa kamu baru nyari aku sekarang?!” Eilene histeris dan pecah dalam tangisnya. PLAK!

Eilene melayangkan satu tamparan di pipi Raymond, tangisan pilu Eilene terdengar di bawah hujan sepertinya semesta pun tahu bagaimana pedihnya hati Eilene sekarang. Mereka berdua masih berada di bawah hujan, saling terdiam. Raymond berusaha meraih jemari tangan Eilene.

“Apa lagi sekarang? Aku udah hancur, aku udah kehilangan semuanya! Masih kurang?” sakit yang menggebu memaksa Eilene untuk tetap tegar, kandungannya memang tidak bisa diselamatkan saat karena suatu insiden kecelakaan yang tidak Raymond ketahui. Eilene kehilangan janinnya saat ia kritis. Pendarahan hebat dan benturan keras yang mengenai perutnya merenggut semuanya dari Eilene.

“Aku malu, aku harus keluar dari kantor! I’m unvirgin and I just did that fucking things with you! I’m pregnant, Raymond. But you always push me away. Kamu selalu paksa aku menjauh setiap kali aku minta tanggung jawab kamu, aku tahu aku salah tapi anak itu nggak salah, aku udah ikhlas misal aku jadi single parents. Disaat aku ikhlas dan siap Tuhan ambil anak itu yang nggak salah apa-apa. Udah cukup hancur belum aku? Belum ya? Haha ya belum lah.” Eilene tertawa sedetik setelahnya ia terisak habis-habisan. Sungguh bukan ini yang Eilene inginkan, entah sedalam apa yang sudah Raymond goreskan kepada Eilene. Dan setelah itu Eilene meninggalkan Raymond disana, ia kembali masuk kerumahnya dan meninggalkan Raymond bersama hujan yang menemaninya.

“Eh lo kenapa? Eilene!” Adelle yang kaget melihat sahabatnya itu masuk ke kamar dengan keadaan basah pun langsung menghampiri Eilene yang langsung duduk di tepi tempat tidur, Adelle mengambil handuk dan menyelimuti punggung dan pundak Eilene dengan handuk.

“Gue nggak ngerti sama Raymond, gue nggak paham mau dia apa, sekarang dia sampe berlutut sama gue, kedengerannya tulus tapi gue masih kebayang perlakuan dia ke gue selama ini. Gue nggak tahu harus percaya apa enggak sama dia, toh juga gue udah kehilangan semuanya.” Eilene menangis terisak. Adelle merangkul sahabatnya itu.

“Kenapa nggak lo coba aja? Lihat keseriusan dia, pelan pelan ikhlasin, coba terima Raymond lo bisa tinggalin dia kalau emang dia nggak serius sama ucapannya,” kata Adelle. Tangisan Eilene langsung pecah kala sahabatnya mengatakan itu, hujan diluar pun bertambah deras. Melihat sahabatnya menangis sejadi jadinya Adelle pun memeluk Eilene.

“Gue nggak kuat,” kata Eilene di sela sela tangisannya.

“Udah lo mendingan sekarang ganti baju dulu, basah tuh nanti lo sakit,” ucap Adelle. Eilene pun menuju kamar mandi dan mengganti bajunya. Eilene membasuh wajahnya di wastafel, ia menatap cermin di depannya, menatap bayangan dirinya. Ia memegang perutnya.

“Kenapa baru sekarang? Kenapa saat anak nggak bersalah ini udah pergi, Raymond, kenapa?” tubuhnya terasa lemas, Eilene bersandar pada dinding dan menangis, perlahan tubuhnya terjatuh ke lantai. Ia meringkuk dan membenamkan wajahnya pada kedua tangannya yang memeluk kedua lututnya. Semuanya hanya menjadi rasa perih dan benci, tidak ada penawarnya. Lukanya tersayat terobek hingga mati rasa seperti mayat. Namun dalam hatinya semakin perih. Tangisannya pecah tak terperi kala itu. Namun ketukan pintu dari luar membuyarkan tangisan Eilene.

“Eilene, keluar, Eilene please!” pekik Adelle dari balik pintu. Eilene langsung bangkit berdiri lagi, membasuh wajahnya di wastafel dan keluar dari kamar mandi.

“Apa?” tanya Eilene datar pada Adelle, namun Adelle lagsung menarik tangan Eilene, membawanya kearah jendela kamar, membuka gorden kamar itu.

“See, I think he is serious dan dia bener bener ada di titik penyesalannya, why don’t you try to trust him for now?” telunjuk Adelle menggantung menunjuk Raymond yang ada di luar diterpa hujan deras sambil terus mengetuk pintu gerbang rumah Eilene dan berteriak meminta maaf. Tubuhnya basah kuyup padahal air hujan deras mengguyur, Raymond tetap di sana. Tubuhnya bergetar karena sedikit kedinginan.

“Eilene.” Adelle berbisik lirih dan menepuk pundak Eilene. Keduanya bertukar tatap, Adelle menggerakkan kepalanya seakan memberi isyarat bagi Eilene agar menghampiri Raymond.

Eilene pun langsung mengambil payung yang tergeletak di sebelah meja nya lalu keluar dari kamar, Adelle menghela nafas lega. Raymond kaget saat menyadari Eilene keluar dari gerbang dan memayunginya.

“Lo gila ya?!” kata Eilene ketus. Raymond tersenyum lembut, kali ini Eilene menatapnya tajam, mata Raymond terlihat sayu tapi senyuman kelegaan itu terlihat jelas di raut wajahnya.

“Aku serius kali ini, kamu boleh lakuin apa aja ke aku, sakitin aku atau laporin aku ke polisi sekalian kalau aku lakuin hal yang nggak berkenan lagi buat kamu Aku serius, Eilene. Aku mau tebus semua kesalahanku sama kamu dan sama anak kita yang udah bahagia di surga.”

“Sakit rasanya ngebayangin gimana kamu selama ini, itu lebih nyiksa aku, aku udah gagal, please terima aku buat nanggung semua yang aku lakuin, aku akan tulus sama kamu, kasih aku kesempatan, kamu mau nyakitin aku terus aku nggak peduli yang penting biarin aku tebus semua dosa dosa aku sama kamu,” lanjutnya, Raymond tertunduk, Eilene mendekat kearah Raymond, meraih tangan Raymond yang sudah dingin. Raymond juga memandang gadis yang di depannya ini tajam.

“Eilene, Aku akan yakinin kamu kalau semua hal yang menyakitkan itu nggak akan terulang. Pelan pelan aku akan sembuhin luka yang udah aku buat.” Raymond berkata dengan penuh ketulusan, ia menundukkan kepalanya, air hujan yang turun pun tahu bahwa air mata juga mengalir di pipi Raymond saat ini. Eilene mendekat dan mengepalkan tangannya, namun ia terhenti.

“Pukul aku sepuas kamu, pukul aku sampai bikin kamu puas luapin semuanya lewat pukulan pukulan kamu aku nggak akan ngelawan,” ucap Raymond sambil memejamkan matanya membiarkan gadis di depannya ini memukulnya.

BUG!

Satu pukulan yang tidak terlalu kencang mendarat di dada bidang Raymond. BUG! Pukulan itu semakin pelan. BUG! Terulang untuk ketiga kalinya namun semakin pelan. Dan tangan Eilene tidak beranjak dari dadanya itu. Raymond membuka matanya, dilihatnya Eilene sudah menangis terisak, tanpa aba-aba Raymond langsung menarik tangan Eilene dan mendekapnya erat, erat sekali. Eilene berusaha memberontak namun Raymond tetap menahannya dalam pelukan. Perlahan payung di genggaman Eilene jatuh, keduanya membiarkan diri mereka dibasahi oleh rinai hujan yang jatuh.

“Kenapa baru sekarang? Kenapa, Raymond?!” tangis Eilene berubah menjadi lebih kencang, tangannya masih memukul mukul dada Raymond. Ia terisak bukan main namun Raymond tetap diam membiarkan Eilene tetap memukulnya melampiaskan semuanya kepadanya.

“Maafin aku, maafin aku...” Raymond memeluk gadis itu seakan tak ingin melepaskannya lagi, kali ini menjadi turning point untuknya membahagiakan Eilene dan tidak menyakitinya lagi.

“Aku mau kamu jadi ujung ceritaku, aku pengen jadi rumah buat kamu, aku mau ada satu perempuan yang bener bener aku perjuangkan, maaf kalau menurut kamu aku jauh dari kata sempurna, bahkan jauh banget dari kata cukup. Aku bakalan sayang sama kamu sepenuhnya, enggak masalah buat kamu kalau kamu sayang sama aku seadanya. Aku akan tetep sama kamu selamanya, walaupun kamu cuma ingin sama aku sampe kemarin, aku nggak peduli seberapa benci kamu sama aku,” kata Raymond dengan nada penuh penyesalan dan ketulusan. Raymond mencium kening Eilene dan memeluknya sekali lagi. Sejak saat itu ada rasa yang tak biasa yang Raymond hadirkan, mengapa setelah Raymond menghancurkan hidupnya dan mematahkan hati Eilene ia baru kembali, kedatangan Raymond terasa lebih menyakitkan saat ini karena sikapnya yang berubah drastis.

Mengapa Raymond datang terlambat? Eilene berharap perkataan pria itu benar adanya dan akan terjadi. Tapi sampai kapanpun Eilene tidak bisa melupakan apa yang sudah Raymond perbuat kepadanya. Sialnya, Eilene menjadi membisu saat Raymond mendekapnya hangat, pelukan Raymond terasa sangat menyedihkan. Semua ini perihal waktu. Kesesakan dalam hati Eilene bertambah bertubi-tubi, seakan tak ada lagi celah untuk benci yang hinggap saat melihat Raymond. Eilene sudah terlalu letih dengan semua rasa pedih yang ia lewati selama ini.