HOLD IT

Siang hari yang terik, Shannon berada di pinggir jalan dan hendak menyebrang. Lampu hijau menyala tinggal lima detik lagi, Shannon sempat bingung apakah ia harus menyebrang dan berlari sekarang atau nanti. Akhirnya Shannon pun nekat melangkahkan kakinya. Tinn! Klakson mobil terdengar nyaring saat Shannon hendak menyeberang, tapi sigap ada tangan yang menariknya ke tepian lagi sehingga mobil yang hendak menabrak Shannon tadi berjalan berlalu begitu saja sementara Shannon masih memejamkan matanya ketakutan, tapi sekarang Shannon ada di pelukan seseorang. Ia masih ketakutan bahkan wajahnya memucat seketika.

“Shan, you okay? Shannon?” tanya seseorang yang mendekap Shannon kali ini. Mata Shannon perlahan terbuka, ia sedikit mendongak, mendapati Raymond ada di sana. Kaki Shannon langsung terasa lemas, tubuh Shannon hampir terjatuh terduduk begitu saja, tapi sigap Raymond menyangganya dan menahan tubuh Shannon.

“Duduk disitu dulu, ayo.” Raymond pun menuntun dan menggandeng Shannon untuk duduk di sebuah bangku di depan toko buku di depan kampus mereka itu. Raymond mengeluarkan sebotol air mineral dari tasnya dan membukakannya lalu memberikannya kepada Shannon.

“Diminum dulu, tenangin diri dulu. Netralin napas kamu.” Raymond berkata lembut sambil menepuk pundak Shannon beberapa kali. Shannon pun menuruti apa yang Raymond katakan. Shannon meneguk minuman itu lalu menetralkan dan mengatur napasnya.

“Kaget banget pasti tadi, ya?” tanya Raymond, Shannon hanya mengangguk. Raymond melihat jelas peluh membasahi wajah Shannon, ia pun mengeluarkan sapu tangannya dan menyeka wajah Shannon yang berpeluh.

“You’re safe now, nggak papa.”

Tangan Shannon pun refleks memegang pergelangan tangan Raymond dan membuat gerakan tangan Raymond terhenti. “Makasih kak, aku aja,” kata Shannon sambil meraih sapu tangan itu dan menyeka keringat yang membasahinya.

“Lain kali hati-hati, ya?” Shannon mengangguk.

“Belum sempat ketemu buat balikin ini, tapi malah sekarang ketemunya jadi aku kembaliin sekarang, ini.” Raymond mengeluarkan sebuah gantungan kunci, milik siapa lagi kalau bukan Shannon. Gadis itu menerimanya dengan senyum sumringah dan mengucapkan terima kasih lalu memasukkan gantungan kunci itu di tasnya.

“Kok tadi bisa ada kak Raymond, kakak mau kemana emang? Once again, thank you so much, Kak,” kata Shannon.

“Mau ke KOI, terus lihat kamu mau nekat lari nyebrang jalan,” kata Raymond tersenyum. Shannon hanya mengangguk dan tersenyum.

“Makasih, kak.”

“Sekali lagi bilang makasih dapet piring.”

Keduanya pun terbahak dan ngobrol untuk beberapa saat sampai Shannon sedikit lebih tenang.

“Kamu mau pulang?” tanya Raymond, Shannon mengangguk.

“Aku anterin aja, ya?” Raymond nekat menawarkan diri.

“Katanya mau ke KOI?”

“Ke KOI bisa kapan aja, kalau nggak sengaja ketemu kamu nggak bisa setiap saat,” katanya.

Shannon menahan senyum sambil memalingkan wajahnya ke sisi yang lain.

“Mau nggak?” tanya Raymond. Shannon kembali memusatkan pandangannya kepada Raymond lalu mengangguk meski malu di awal ia memantapkan dirinya.

Akhirnya hari itu untuk pertama kalinya Raymond mengantarkan Shannon pulang. Keduanya pun menuju ke parkiran dan Raymond mengantarkan Shannon pulang dengan motornya.

“Naik motor nggak papa kan?” tanya Raymond sambil mengulungkan satu helm untuk Shannon pakai.

“Ya nggak papa, emang kenapa?”

Raymond hanya tersenyum. Akhirnya keduanya naik ke motor Raymond dan Raymond mengendarainya dengan kecepatan sedang.

“Nanti kasih tahu beloknya jangan dadakan.” Raymond berkata sambil masih fokus ke jalanan.

“Okeeee!” balas Shannon sedikit berseru. Akhirnya motor beat Raymond berhenti di lampu merah. Beberapa kali Raymond melirik spion bertukar senyum tipis dengan Shannon membuat Shannon sedikit salah tingkah.

“Kalau capek nanti bilang, ya? Nanti mampir minimarket dulu kalau capek duduk di motor hehe,” kata Raymond sambil menoleh. Shannon hanya mengangguk, sepertinya Raymond tidak menyadari tingkahnya itu membuat jantung Shannon berdegup cepat. Hingga saat lampu hijau menyala, “pegangan, Shan.” Suara Raymond menusuk rungu Shannon dan membuat Shannon refleks berpegangan pada jaket Raymond. Saat ini juga Raymond sadar, degup jantungnya sama seperti saat ia bertatapan dengan Shannon setelah bertemu papanya kala itu. Ia merasakan lagi degup jantung yang seakan berpacu dengan denting jam. Sungguh, sangat berbahaya untuk hatinya.