HOLDING HANDS

Malam itu, usai menikmati candle light dinner, Mevin mengajak Grace ke Gardens By The Bay Light Show. Waktu menunjukkan pukul 8.45 malam hari, tepat di jam show terakhir tempat itu. Gemerlap lampu, hiruk pikuk orang-orang, serta keindahan tempat tersebut di malam hari menambah bahagia perasaan Grace di hari ulang tahunnya. Tanpa kemewahan tapi kesederhanaan yang lahir dari keduanya, dari diri dan hati Grace serta Mevin sudah menjadi kado terindah bagi Grace.

Ditambah saat Grace sedang bersama Mevin, James dan Aveline melakukan video call dengan mereka. Grace merasa bahagia karena kedua sahabatnya itu ternyata tidak melupakan hari spesialnya.

Pada sisa malam hari itu, Mevin dan Grace berjalan bergandengan tangan, erat. Sesekali juga mereka berjalan dengan Mevin yang merangkul pinggang Grace serta Grace yang melingkarkan lengannya di pinggang dan memeluk Mevin serta menyandarkan kepalanya di dada bidang Mevin. Hangat.

Grace juga kadang menggandeng dan menarik tangan Mevin bak anak kecil yang kegirangan, Mevin juga menurutinya dengan semangat dan sumringah. Mevin mengambil gambar Grace juga beberapa kali tanpa sepengetahuan Grace. Mevin dan Grace juga mengambil foto mereka berdua. Malam itu hanya ada Grace, Mevin dan kebahagiaan.

Mata cokelat tua Grace kini tengah berhadapan dengan iris legam milik Mevin. Satu tangan Mevin membelai surai panjang Grace dan satu tangan Mevin membelai pipi hingga ke dagu Grace.

“Dateng kesini bikin aku males pulang, mau disini aja nemenin kamu.” Mevin berkata dengan nada lesu.

“Sama,” balas Grace sambil memanyunkan bibirnya.

“Tapi nggak bisa ninggal kerjaan lama-lama.”

“Mevin, makasih ya udah mau berjuang, tadinya dari awal aku sempat ragu, masa, sih orang kaya kamu beneran cinta sama aku beneran nerima aku dan berjuang buat aku, tapi Tuhan jawab itu. Lebih dari kata berjuang yang kamu lakukan itu, Vin. Untuk menerima diriku sendiri aja aku masih belum bisa, kok kamu bisa, kok kamu mau, kok kamu sudi?”

Mevin tidak menjawab, ia hanya tersenyum dan malah bergerak memajukan langkahnya dan mengecup kening Grace sesaat lalu membelai rambut Grace lagi, “percaya sama jalan Tuhan?” tanyanya. Grace mengangguk dan tersenyum.

“Yaudah, kita jalanin jalan Tuhan, oke? Do our best in every step and let God do the rest, for me, for you and for us. Ya?” Sekali lagi Mevin memberikan tatapan teduh yang menembus hati Grace hingga titik terdalam palung hatinya. Sungguh, pria di depannya ini adalah wujud nyata ilusi paling liar dalam pikirannya selama ini. Segala kelemahlembutan, kesabaran dan kebaikan ada pada Mevin.

“Aku besok pulang, ya? Karena cuma ambil waktu weekend ini,” kata Mevin sambil melanjutkan langkah lagi menuju mobil bersama Grace. Gadisnya itu sedikit tertunduk lalu memberanikan diri menatap Mevin.

“Iya, nanti aku pasti pengobatannya cepet, biar kita nggak berjarak lagi, aku janji!” Perkataan Grace itu malah membuat Mevin terharu bukan main, ia justru merasa bersalah karena membiarka Grace disini sendiri, tapi memang begitu jalannya, belum bisa bersama untuk waktu yang lama. Tapi Grace sudah menjatuhkan hati kepada Mevin, seseorang yang memang sudah siap menjatuhkan hati dan menyiapkan hati kapan saja jika harus dipisahkan jarak untuk sementara.

“Iya, pasti cepet, semangat ya, sayang.” Perkataan Mevin itu diakhiri dengan Mevin yang menutup pintu mobil untuk Grace.

“Vin,” kata Grace saat Mevin mengenakan seat belt. “Ya?”

“Mau temenin aku malem ini? Tinggal beberapa jam lagi kita bareng.” Sebuah pinta dititipkan Grace pada sorot matanya yang mengeja harap dalam setiap kerlingannya. Mevin tersenyum dan mengangguk.

“Mau, sayang. Mau banget.”