I Can't Give You Child
Jeviere beberapa hari ini sudah menghabiskan waktunya sendiri di rumah setelah Jesse memintanya untuk tidak mencarinya, memilih untuk membersihkan rumah terlebih dahulu. Ia merapikan segala sesuatu dan melakukan apa yang biasa Jesse lakukan. Biasanya ia dan Jesse berbagi tugas untuk membersihkan rumah saat libur, tetapi kali ini harus Jeviere sendiri. Tidak ada ocehan Jesse dan gelak tawa Jesse, kelakar mereka berdua yang saling beradu memecah keheningan. Jeviere mendorong vacum cleaner dan merapikan segala sesuatu yang ada di meja. Sampai Jeviere tiba di depan figura besar yang menggantung di tembok―foto pernikahannya dengan Jesse—ia mendekat dan jemarinya bergerak menyentuh figura tersebut. “Jess aku kangen, bahkan aku masih belum paham apa alasan kamu pulang ke rumah papa mama kamu,” gumamnya dalam hati.
Jesse meyakinkan dirinya bahwa Jeviere masih bertahan dan tidak akan sekalipun beranjak dari perasaan keduanya yang saling beradu padu serta menyatu dalam naungan pernikahan yang mungkin dijalani tanpa cinta di awal. Seiring berjalannya waktu, perasaan yang terjalin pun membuat keduanya saling mempertanyakan perasaan dan kelanjutan hubungan, segala agreement dan kesepakatan yang sudah dibuat ingin Jeviere singkirkan jauh-jauh agar tidak ada yang menghalangi perasaannya kepada Jesse.
Kali ini Jesse sudah berada di ambang pintu kediamannya dengan Jeviere, ia sempat mengatur napasnya yang berderu sebelum membuka kenop pintu rumah itu, ia mengumpulkan keberaniannya lalu masuk ke rumah itu. Ia melangkahkan kaki dan melihat seisi rumahnya karena ia tidak langsung mendapati Jeviere disana. Ia berjalan menuju ke kamarnya namun masih saja Jeviere tidak ada disana. Lalu Jesse berjalan menaiki tangga dan menuju ruang kerja Jeviere. Benar saja, disana ada Jeviere dengan keadaannya yang hancur dan berantakan. Buku-buku berserakan, vas bunga yang pecah, lantai yang berantakan dengan beberapa lembar kertas berserakan, Jeviere tertunduk dan terduduk di lantai di depan rak bukunya, punggungnya bergetar. Jesse berjalan mendekat ke arah pria yang masih menjadi suaminya itu. Tangan Jesse bergerak pelan dan bergetar saat menyentuh kepala Jeviere, pria itu langsung mendongakkan kepalanya. Mata merah dan basah milik Jeviere mengerjap beberapa kali melihat satu sosok yang ia rindukan ada di depannya sekarang.
“Jesse!” serunya dan langsung memeluk erat wanita di depannya.
“Kamu pulang, Jess? Kamu pulang?” Jeviere mengecup pipi Jesse beberapa kali namun Jesse masih diam.
“Jess, jangan tinggalin aku. Aku nggak butuh perjanjian apapun itu, aku butuh kamu.”
“Lepas.”
“Nggak akan, aku nggak mau lepasin kamu,” jawab Jeviere lalu merenggangkan rengkuh dan menangkup kedua pipi Jesse saat itu.
“Jangan nunggu aku,” Jesse hendak menyingkirkan tangan Jeviere namun Jeviere menahannya.
“Kenapa?”
“Aku nggak akan kembali, nggak ada yang diharapin lagi dari aku.”
“Ada, hubungan kita.”
“Stop it, Jev.” Jesse menepis kasar tangan Jeviere lalu bangkit berdiri namun Jeviere dengan sigap memeluk Jesse dari belakang. Tentang Jesse dan Jeviere memang belum menemui ujung, dipertemukan lalu dijauhkan saat sama-sama bersedia menjatuhkan hati membuat mereka berusaha sekuat mungkin mempertahankan. Namun ada satu hal yang Jeviere belum tahu tentang Jesse.
Jeviere menahan Jesse, ia menaruh dagunya di pundak Jesse memeluk Jesse seakan tak ingin ditinggalkan lagi. Ibu jari Jeviere beberapa kali mengusap jemari Jesse yang ia sentuh sekarang lalu mengecup pundak Jesse berkali-kali.
“Jangan pergi lagi, aku nggak bisa.”
“Jev, ada hal yang kamu nggak ngerti!” tutur Jesse sedikit membentak lalu melepaskan paksa tangan yang melingkar di perutnya lalu berbalik badan menatap Jeviere.
“Kamu nggak pernah ngomong dan kamu paksa aku ngerti?! Kamu nggak pernah ngomong!” nada Jeviere meninggi, Jesse memejamkan matanya kaget. Jeviere berbalik badan dan berkacak pinggang namun enggan menatap Jesse.
“Ngomong sama aku, alasannya apa.” Jeviere memelankan nada bicaranya.
“Kamu nggak akan ngerti, yang harus kamu lakukan cuma tinggalin aku,” Jesse bergumam lirih.
Jeremy langsung mengepalkan tangannya dan menghantam sebuah cermin yang menggantung di dinding.
PRANGG!
Cermin itu retak, darah segar langsung mengalir di jari tangan Jeviere yang mengepal tadi.
“Jev!” Jesse berteriak sambil menutup kedua telinganya dengan tangannya. Jeviere masih memberi beberapa hantaman lagi ke kaca tadi. Jesse sudah menangis tersedu.
“Udah, Jev. Udah!”
PYAR!!
Cermin itu jatuh ke lantai,
“Jeviere! Don't be stupid, stop, udah!” teriak Jesse yang membuat Jeviere menghentikan kegiatannya yang diluar kendali itu.
“Jeviere udah! udah, sayang, please” Jesse berlari dan memeluk Jeviere dari arah depan pria itu, memeluk Jeviere erat.
“Jangan, Jev. Jangan.. jangan ya...” Jesse berkata sambil menangis keras di pelukan Jeviere. Tangan Jeviere masih sedikit bergetar, tetesan darah berjatuhan ke lantai, rasa perih di tangan Jeviere belum ada apa-apanya dibandingkan rasa perih dalam hatinya.
“Maafin aku, Jess. Aku nggak becus jadi suami,” kata Jeviere. Jesse menggeleng cepat beberapa kali sambil masih memeluk Jeviere erat.
“Bukan salah kamu, bukan,” katanya.
Akhirnya Jeviere membalas pelukan Jesse erat. Setelah itu Jesse mengajak Jeviere ke kamar mereka dan duduk di sofa yang ada di kamar mereka untuk mengobati tangan Jeviere.
Jesse mengambil obat dan kapas, dioleskannya perlahan ke bagian tangan Jeviere yang luka. Jesse menggigit bibirnya seakan menahan sesuatu yang ingin keluar dari mulutnya. Jeviere tidak melepaskan pandangan lekatnya dari Jesse. Ia memerhatikan setiap pergerakan Jesse. Wanita di depannya ini adalah senyaman-nyamannya tempat ia pulang dan beradu dekap.
Saat Jesse ingin menempelkan plester ke tangan Jeviere, pria itu menahannya. Jesse menatap Jeviere bingung, namun tanpa kata Jeviere mendekatkan dirinya, mengikis jarak yang ada. Jantung Jesse dan Jeviere saling berdetak kencang hingga detik selanjutnya Jeviere memeluknya dan melingkarkan tangannya di perut Jesse dan menarik tengkuk leher Jesse dan langsung melumat bibir Jesse lembut dan perlahan.
Jesse tidak melawan, kecupan dan lumatan yang Jeviere berikan dibalas Jesse juga saat itu, perlahan keduanya semakin menuntut lebih, bibir Jeviere memanjakan birai Jesse dengan lembut, saat disapa lembut bibir Jesse dengan lidah Jeviere, Jesse membuka sedikit mulutnya dan langsung digunakan Jeviere untuk melesatkan lidahnya e dlam sana dan bergerak brutal, badan mereka semakin menempel. Tangan Jeviere bergerak kemanapun ia mau, jari nakalnya bergerak menuju paha lalu naik, Jesse yang hanya menggunakan rok pendek sedikit menggelinjang saat itu. Jari Jeviere memberi sapaan di pusat tubuh Jesse dan bermain disana bergesek pelan masuk menelusup ke panties Jesse. Membuat Jesse sedikit menggeliat, kesempatan saat kepala Jesse mendongak diambil Jeviere untuk menciumi bagian leher Jesse. Bibir dan lidahnya lihai menjalari bagian leher Jesse. Tangan Jeviere yang satu lagi bergerilya menanggalkan kemeja yang Jesse gunakan, hanya menyisakan bra hitam disana. Dikecup dan sedikit dihisapnya bagian leher Jesse membuat sang empu merasakan gelenyar dalam dirinya ditambah jari Jeviere yang belum bisa tenang sedari tadi.
“Mhh Jeviere nghh, stophh,” desah Jesse saat pusat tubuhnya dimainkan habis-habisan oleh jari Jeviere yang bergerak cepat disana.
“Don’t ever leave me mhh,” pinta Jeviere dalam desahnya. Napas Jesse tidak beraturan, sungguh, sebenarnya Jesse sudah jatuh dengan teramat dalam kepada Jeviere.
“Jeviere lepas sshh,” Jesse mulai tidak bisa mengatur napasnya. Jeviere tidak menghentikan kegiatannya, wanita dalam pelukan Jeviere sudah menangis tidak karuan namun Jeviere masih kehilangan kendali atas dirinya.
Dikecupnya bergantian leher dan bagian dada Jesse, sang puan mulai kehabisan tenaga melawan Jeviere. Akhirnya,Jesse sedikit menjauh, membuat jarak sedikit membentang diantaranya dan Jeviere.
“Stop it, there’s no reason for you to stay with me. Ada hal besar yang bakalan jadi pertimbangan kamu buat tetep sama aku.” Kalimat yang terdengar pilu itu Jesse ucapkan lirih di sela pagutan mereka yang terasa menyakitkan itu. Jeviere menggeleng.
“Jeviere! Cari aja istri yang sempurna buat kamu! Aku nggak sempurna, nggak akan pernah bisa!” pekikan Jesse terdengar nyaring, jantungnya sendiri pun berdegup kencang tak beraturan. Perasaan Jesse tidak bisa digambarkan saat itu, ia menjauhkan diri dari Jeviere dan beranjak hendak keluar kamar. Namun dengan sigap Jeviere mencegatnya, mengunci pintu dengan cepat dan melemparkan kunci itu ke atas lemari.
“Jeviere! Buka nggak?!” teriak Jesse nyaring. Jeviere hanya menggeleng. “Buka!”
“Jangan pergi, Jess.” Digenggamnya tangan Jesse erat saat itu namun ditepis Jesse seketika. Tangan mereka saling bergelut yang satu ingin menahan yang satu ingin menghempaskan.
“Apa susahnya lepasin aku?” Jesse mendelik menatap Jeviere. Sorot mata pria itu membawa keteduhan, “Mempertahankan kamu lebih berarti daripada dengan gampangnya aku lepasin kamu. kamu―satu yang tersemat dalam hidupku, Cuma kamu yang aku punya saat ini, hidupku mau jadi apa, Jess kalau nggak ada kamu?”
Jesse terduduk di lantai, Jeviere masih disana berdiri mematung, Jesse menangis namun suaranya memohon tersamarkan oleh getaran tubuhnya kala itu. Pada mata Jeviere semakin ia menatap wanita yang ia cintai semakin ia menelanjangi diri sendiri dengan setiap perbuatan tak acuhnya selama ini terhadap Jesse. Ia kurang peka bahkan tak jarang menganggap Jesse tidak ada. Mata Jesse yang lebih terang dari sorot bintang menjadi redup oleh tangisan malam itu.
Jeviere pastikan malam ini Jesse tetap disana, ada di dalam dekap Jeviere. Pria itu berjalan mendekat, meraih tubuh Jesse membantunya berdiri. Jeviere menggendong Jesse dan mendudukkan Jesse di tempat tidur. Ia satukan kening mereka tanpa jarak, hidung mereka saling bersentuhan, bibir Jeviere mulai merapal kalimat permohonan agar sang puan dapat tinggal.
Pernah ada nada rumpang yang Jesse nyanyikan dan dirampungkan oleh Jeviere, ketidaksengajaan kebersamaan membuat keduanya hidup bersama.
“Kamu bakalan kecewa sama aku, Jev. Seumur hidup.” Jesse bergumam.
“Perlu terluka dan kecewa dalam hidup, Jess. Agar kita tahu makna kehidupan.” Balas Jeviere singkat lalu tanpa aba-aba Jeviere kembali melumat bibir Jesse,
“Jeviere, aku hmphh―” Jesse memekik sambil meremas baju Jeviere saat suaminya itu melumat bibirnya dengan tempo terburu-buru. Tak ada perlawanan dari Jesse hingga saat jari panjang Jeviere bergerak cepat di bawah sana di pusat pertahanan tubuh Jesse, wanita itu melemah. Jesse mulai kehabisan tenaga ia hanya bisa pasrah, ia membiarkan sang tuan merajai tubuhnya, terlalu lelah hati dan fisik Jesse saat ini.
Akhirnya sang puan yang sudah dibuai renjana nikmat kala itu menarik dagu Jeviere dan meraih bibir sang tuan, diusapnya lembut dengan telunjuknya sebelum dibiarkan bertaut dan bertukar saliva. Jesse memimpin permainan. Tidak ada lagu yang disenandungkan, hanya ada nama dalam setiap lenguhan. Nama masing-masing dalam setiap desahan.
Kehidupan kebersamaan mereka tautkan dalam setiap cecapan dan setiap tanda di tubuh Jesse saat itu menjadi saksi bahwa Jeviere masih ingin memiliki Jesse seutuhnya bahkan sepanjang usia. Sedikit resah tubuh Jesse kala itu hingga akhirnya Jeviere menidurkannya di tempat tidur, keduanya saling melucuti setiap helai benang yang mereka kenakan.
Sedih, amarah, tidak ingin kehilangan bersatu membingkai sorot mata yang saling bertaut itu.
“Jangan pergi, Jess. Jangan pernah tinggalin aku,” bisik Jeviere lirih di telinga Jesse, wanita itu hanya bisa memeluk leher Jeviere erat saat sang tuan merajainya dan memainkan lidah dan birai di ceruk lehernya membawa Jesse ke nikmat dalam pejamnya.
Dibiarkannya pusaka milik Jeviere bergesekan dibawah sana dengan milik Jesse yang tidak terbalut apapun lagi. Sela rambut Jeviere setelahnya menjadi media bagi Jesse menyalurkan nikmat yang perlahan mulai ia rasakan, tak butuh waktu lama. Balasan lembut untuk sang tuan diberikan Jesse di detik selanjutnya, pagutan dan lumatan serta sapaan lembut di birai Jesse dengan lidahnya yang lihai membuat Jesse membuka mulutnya memberikan akses kepada Jeviere untuk melakukan lebih.
Resah yang mengganggu kini terasa menakutkan saat Jeviere membayangkan hari setelah perpisahan dengan Jesse. Namun, keduanya sudah dikuasai perasaan yang saling hanyut satu sama lain. Lumatan dan pagutan Jeviere artikan sebuah perasaan tidak ingin kehilangan. Menaruh kepercayaan kadang menuai kecewa, mempertahankan agar utuh kadang mendapatkan hancur luruh. Mencintai Jesse menuai rasa bersalah untuk Jeviere namun pada decapan dan lidah yang bertaut serta saliva yang tertukar Jesse artikan sebagai penyatuan dua hati yang setelah ini harus berjuang lebih walau masih mempertanyakan takdir. Jeviere tanpa ragu menambah dalam lumatannya dan kini Jeviere dengan tubuh kekarnya mengungkung Jesse di antara dua lengannya, mata keduanya saling terpejam, namun ada bulir air mata yang lolos lewat ekor mata Jesse.
“Aku nggak bisa punya―” belum selesai Jesse menyelesaikan kalimatnya, Jeviere sudah berada di bawah Jesse dan membuka lebar paha Jesse lalu meraup pusat tubuh Jesse dan memainkan lidahnya dibawah sana di bagian sensitif Jesse.
“Jev, don’t pretend like mmhh ahh, you just need to leave me akhh!” Suara sang puan yang bergetar membawa hati Jeviere diiris nyeri. Untuk sesaat, Jeviere tidak memedulikan racauan Jesse. Ia membawa Jesse ke awan-awan, dicecap dan dimainkan dengan lidah, jilatan yang membuat Jesse menggila kala itu diberikan Jeviere dengan hujaman tanpa henti. Jari panjang Jeviere masuk saat Jesse sudah melenguh berulang kali.
“Mmmhh, Jeviere I love you nghh” jari Jeviere bergerak cepat saat itu, Jesse meracau, meremas rambut Jeviere bahkan membusungkan dadanya, ia hampir sampai.
“Don’t stophh ahh Jeviere mhhh,”
“As your wish, as long as you stay with me, Jess.” Jeviere menggerakkan jarinya cepat membuat pertahanan Jesse runtuh.
“Akhh, ahhh! Jev i wanna cum ahhh!”
“Just let it,”
“Ahhhhh!” nafas Jesse masih tersengal namun Jeviere menarik tubuh Jesse membantunya duduk di tepi tempat tidur, Jeviere memosisikan pusakanya di depan wajah Jesse. Jesse mengatur napasnya dan menghela napas panjang, Jeviere membelai lembut puncak kepala Jesse lalu tanpa aba-aba Jesse memasukkan kejantanan Jeviere ke dalam mulut hangatnya, tak lama setelah Jesse mengulum kejantanan Jeviere, pria itu mengubah posisi, Jeviere duduk di tepi ranjang dan Jesse berlutut di depannya dengan masih mengulum milik Jeviere.
“Ahh Jess you are so mmhhh” desah Jeviere kala itu. Sunyi dipecah decapan, hening dilawan dengan suara desah dan lenguh yang beradu. Jeviere menggigit bibir bawahnya membiarkan miliknya bersemayam di mulut Jesse. Gerakan Jesse yang semakin brutal membuat Jeviere semakin tidak karuan. Dijilatnya dengan gerakan memutar lalu dikulumnya lagi milik Jeviere hingga ke pangkal tenggorokannya. Membuat sang tuan terbang. Ia tidak ingin menjemput pelepasannya dulu, ia tahan tubuh Jesse ia membuat Jesse terlentang di tempat tidur lagi, sang puan masih memenjarakan dirinya dalam kukungan Jeviere. Sang puan masih bersedia memberikan napas yang bahkan sebenarnya sudah dibungkam kenyataan jahat, ia paksakan dirinya tetap bernapas di antara kenyataan yang menggerogoti kekuatannya.
Memadu kasih memagut rindu dalam dua birai yang saling bertaut memanjakan mereka berdua malam itu. Tangan Jeviere tidak henti meremas dua gundukan kenyal di dada Jesse. Wanita itu membiarkan tangan Jeviere menjalar pada pinggang, dada dan perutnya berurutan dengan sentuhan lembut yang membawanya terbang. Sebuah sapaan halus pada bagian pinggang dan rematan yang disusul setelahnya membuat lenguhan pada diri Jesse lolos dan melenguhkan nama Jeviere dengan merdu. Jeviere meraup payudara Jesse bak anak kecil yang kehausan, gigitan dan permainan lidah yang brutal diberikan Jeviere saat itu, sebuah tanya berbisik di telinga Jeviere saat itu,
“Kamu cinta sama aku?” tanya Jesse. Jeviere kembali mengukung tubuh Jesse dan menatapnya lekat.
“Kalau enggak, aku udah pergi, sejak awal pernikahan kita.” Jeviere mengucapkan kalimat dengan semangat yang hampir patah. Sang tuan penuntun permainan saat itu sempat gelisah sebelum meraup lagi birai Jesse saat itu, jarinya melesat ke bawah sana menjajak milik Jesse yang sudah basah. Namun tetap ia mainkan habis-habisan. Jesse sudah semakin mendesah makin brutal saat seluruh perasaannya luruh di dalam pagutan hebat yang lebih berapi daripada sebelumnya―selaras beriringan dalam sebuah lenguh, keduanya jatuh lebih dalam lagi.
Mendesah, suara decitan, kegiatan saling melumat―berlangsung di waktu yang bersamaan menjajak langkah kebersamaan mengikis kemungkinan perpisahan. Kini Jeviere menurunkan bibirnya yang sudah basah ke sela leher Jesse. Mampir disana untuk waktu yang lama serta bermain menggoda Jesse memberikan kenikmatan untuk Jesse, menjilat dan mempermainkan Jesse dengan lidah dan bibirnya hingga sang puan mendongak dan meremat punggung Jeviere menahan kenikmatan.
Senggama kulit keduanya membawa sebuah hentakan pada diri Jesse saat merasakan miliknya bersentuhan dengan milik Jeviere dibawah sana. Puncak dada Jesse juga bersentuhan dengan Jeviere membuat Jeviere tergoda untuk melanjutkan kegiatannya di bagian dada Jesse.
“Jev, babe ahhh don’t ssh,” Badan Jesse bagaikan tersengat listrik saat merasakan gigitan dan tarikan kecil di puncak payudaranya, rematan di payudara satunya yang berangsur, kepala mendongak, badan menggeliat membiarkan sang tuan merajai tubuhnya sekarang. Ia berikan seluruh akses kepemilikan atas tubuhnya kepada Jeviere.
“Jeviere―mmhh” lenguhan lain lolos dan diantara surai hitam Jeviere tangan Jesse sibuk meremat menyalurkan sebuah kenikmatan yang tidak bisa ia tahan lagi saat milik Jeviere memasuki milik Jesse membuat wanita itu merasa penuh.
“Jeviere, sayanghh mhhh” Mata sayu itu memejam, Jesse melenguh nyaring.
Jeviere menyeringai tatkala mendengar sang puan membisik lirih dan diikuti panggilan sayang yang menggetarkan jiwa. Gerakan apapun yang diberikan Jeviere bak candu untuk Jesse, membuat keduanya mau melakukannya dengan sukarela. Pada senggama selanjutnya dengan gairah penuh cinta dan api yang membakar keduanya, Jesse memeluk erat tubuh yang bergerak diatasnya. Jeviere bergerak pelan disana, desahan keduanya bersahutan, lenguhan keduanya berlomba memenangkan libido. Hati keduanya yang tak terarah mungkin akan bertumpu pada satu arah malam ini, keduanya memang tidak siap untuk kehilangan satu sama lain. Netra keduanya beradu sesaat. Peluh membasahi kening Jesse, diusap Jeviere dengan lembut.
“Just leave me if you don’t love me.” bisik Jeviere.
“Bilang ke aku kalau kamu nggak cinta sama aku, Jess.” Kalimat itu dikatakan Jeviere saat ia menggoyangkan pinggulnya dengan pelan, Jesse yang mengalungkan tangan di leher Jeviere hanya menatap nanar, karena memang ia mencintai Jeviere.
“Say that you don’t love me anymore.” Kata Jeviere lagi. Jesse meneteskan air mata, tidak menjawab malah melingkarkan kedua kakinya di pinggang Jeviere agar mempermudah Jeviere melakukan gerakannya, rahang Jeviere ditarik Jesse agar bersatu dalam pagutan brutal. Cengkraman kadang Jesse berikan di pundak dan punggung Jeviere, pria itu juga tak henti menghujam Jesse dengan kecupan di bibir dan leher bergantian.
Decit ranjang, nama masing-masing yang didesahkan, bunyi cecap dan kecipak terdengar menggema setelahnya. Jeviere kembali bergerak pelan bahkan memberikan beberapa hentakan untuk Jesse rasakan dan membuat wanita itu tersentak namun kembali memeluk Jeviere erat.
Sakit dibungkam pagutan birai dan lesatan lidah Jeviere maupun Jesse lembut, akses bebas itu membawa Jesse dibuai malam itu. Jeviere kadang menggoda bagian sensitif Jesse juga dengan jemarinya lalu menggerakkan pinggulnya lagi dengan cepat lalu memelan, sedikit memutar barang sebentar, tak dibiarkannya sang puan tenang barang hanya sesaat. Ia benar-benar ingin hanya ada kenikmatan dan sebuah keindahan malam bagi sang puan sekarang. Tempo dan gerakan pinggul dari Jeviere membawa Jesse terbang ke awan-awan.
Jesse kembali merasakan tubuhnya dijalari sebuah gelenyar yang membawanya ke puncak tertinggi saat ini. Memekik dan melenguhkan nama Jeviere dengan bebas begitu juga dengan Jeviere yang melakukan hal yang sama. Tempo tak beraturan dan semakin cepat diberikan Jeviere saat keduanya sudah ada di puncak hampir sampai pada pelepasan dan peleburan semesta yang bersatu.
“Jeviere mmhh, jangan berhenti ahh”
“Jesshh”
“Mhhh don’t ever stop loving me, Jev, i beg you.. ahhh,” penyatuan senggama menjadi tempat Jesse mengadu, entah ia sadar atau tidak mengatakan kalimat itu dalam desahnya. Suara lenguhan disertai permohonan Jesse membuat Jeviere mengangkat wajah dan menetapkan tatap pada wanitanya itu. Mata sayu Jesse penuh permohonan. Menyelami iris mata gelap Jesse membuat Jeviere semakin luruh, ia tidak ingin ada di ujung perpisahan.
Jeviere mendengarnya dengan sedikit nyeri di hatinya namun ia berikan lagi hujaman lumatan di bibir Jesse peredam gerakan pinggulnya yang brutal saat ini.
“Together Jess,” desah Jeviere lagi dengan gerakan tempo cepat beberapa kali menumbuk bagian terdalam milik Jesse sampai akhirnya keduanya merasakan sesuatu luruh dan menyatu dalam tubuh keduanya, pelukan erat Jesse tidak lepaskan. Jeviere mengecup lagi bibir ranum Jesse lalu memberikan kecupan dua kali berturut-turut setelahnya. Lengkung simpul di wajah masing-masing mengisyaratkan kepuasan dan kebahagiaan. Jesse mengangguk, mengusap peluh Jeviere yang penuh peluh.
“I love you mmhh” bisik Jesse kala itu, entah sadar atau tidak Jesse mengatakannya. Namun Jeviere yang mendengarnya langsung menelusupkan wajah di sela leher Jesse dan memeluk wanitanya erat menjaganya dalam dekap.
Pukul setengah tiga dini hari
Jesse membuka matanya, didapatinya Jeviere masih mendekapnya hangat, namun perlahan ia menepisnya, ia beranjak dari ranjangnya, menyelimuti Jeviere agar suaminya masih terjaga dalam lelap. Ia raih bathrobenya dan menuju meja riasnya, ia mengambil sebuah kertas dan mulai menuliskan barisan kalimat disana.
“Untuk Jeviere, maaf sayang untuk semuanya, but you better leave me, aku nggak bisa punya anak. Dokter udah vonis aku, kamu berhak dapat wanita yang utuh dan sempurna. Bukan aku, Jeviere, terima kasih, sama kamu hariku nggak pernah kelabu. Cahaya cinta yang lahir dari hati dan sikap kamu adalah sebenar-benarnya bukti dari cinta yang aku cari. Aku nggak bisa punya anak, kamu bebas pergi cari kebahagiaan kamu, cari wanita yang bisa kasih kamu semua yang kamu cari. Dari aku, yang sudah mencintaimu―Jessenia Allegra Evangeline.”
Ditatapnya surat itu sebelum ia taruh di atas ponsel Jeviere, di meja itu juga ada foto pernikahan Jesse dan Jeviere, dilepaskannya dari figura yang ada di atas meja itu lalu ia genggam, ia masukkan ke dalam saku jaket yang setelah ini akan ia kenakan. Pada kalimat yang Jesse titipkan dalam secarik surat itu mungkin akan menjadikan Jesse pribadi jahat di mata Jeviere.
Jesse pun mengganti bajunya, mengenakan perca yang ia raih, menjinjitkan kaki hingga meraih bagian atas lemari mencari kunci kamar yang Jeviere lempar malam tadi. Yap! Ia mendapatkannya.
Dengan mengendap, Jesse membuka pintu itu, berjalan mengendap dan menutup pintu itu perlahan. Jesse menuruni tangga dengan santai karena yakin Jeviere masih terlelap. Namun saat ia ingin keluar dari rumah itu sebuah pekikan keras menggema meneriakkan nama Jesse. Beradu dengan suara hujan di luar sana, Jesse menengok mendapati Jeviere sudah ada di tangga dengan baju piyamanya.
“Jess jangan pergi!” pekik Jeviere namun dengan cepat Jesse membuka kunci pintu dengan tangan gemetar, ia berlari tanpa alas kaki, keluar dari pekarangan rumah Jeviere dengan buru-buru, membiarkan tubuhnya dibasahi hujan deras. Langit gelap dan cahaya yang minim membuat langkahnya terseok, Jesse merapatkan jaketnya yang sudah basah, berlari dengan tenaganya yang tersisa, sementara itu Jeviere masih mengejar Jesse sekuat tenaga.
Jesse tiba di perempatan yang sepi hanya ada lampu jalan dengan cahaya redup, guyuran hujan sudah membasahi tubuhnya, Jesse bingung hendak berlari ke mana karena tenaganya sudah habis dan Jeviere masih mengejarnya. Ditengah derasnya hujan dengan lampu jalan yang sesekali berkedip, Jesse kembali berlari seorang diri dengan bayangannya. Langkah kakinya terseok saat bunyi klakson mobil menderunya. Setiap jejak yang ia tapaki juga ia berdoa dalam hatinya menyerahkan semua ketakutannya. Detak jantungnya tak beraturan, ia kembali berlari namun karena jalanan yang licin ditengah-tengah Jesse jatuh tersandung yang membuatnya tersungkur namun ia kembali bangkit berdiri, saat ia berbalik badan ia mendengar pekikan teriakan Jeviere memanggil namanya keras. Jesse melihat sebuah mobil dengan sorot lampu yang semakin mendekatinya. Jesse terlalu lemas dan hanya bisa pasrah. Mobil itu semakin mendekat ke arah Jesse.
“Jesse!” teriak Jeviere histeris.
“Aaaaa!” Jesse memejamkan matanya dalam sepersekian detik pun terdengar bunyi decit mesin nyaring diantara derasnya hujan. Suara dentuman tabrakan antara besi dan daging memecah hening menemani gemuruh riuh hujan dan gemuruh di langit saat itu.
Braakk!!
Tubuh Jesse terkulai saat dihantam mobil. Jeviere berlari sekuat tenaga, dengan langkah bergetar ia mendekati tubuh yang sudah terkulai di bawah hujan itu. Tangisan Jeviere meraung menggema beradu dengan gemuruh dan deras hujan. “Jesse!!” Jeviere berteriak sekencang yang ia bisa, ia luruh dan merangkak menuju beberapa orang yang mulai berkerumun itu. Air hujan membawa hanyut cairan merah kental yang berasal dari tubuh wanita yang Jeviere cintai. Seperti kunang-kunang yang selalu mendekat ke arah cahaya tanpa ia sadari cahaya lampu dapat membakarnya.
Mungkin Jeviere salah memaksa Jesse menaruh hati kepadanya tanpa ia sadari semesta bisa membawa pergi ia kapan saja. Jeviere meraih tangan yang berlumur darah itu, beberapa saat mata Jesse masih mengerjap. Jeviere menyandarkan tubuh penuh darah itu di pangkuannya. Air mata Jesse dan Jeviere luruh oleh hujan. Seuntai senyum terbentuk di bibir Jesse yang penuh darah, Jeviere tak henti menangis dan memeluk tubuh ringkih itu.
Tangisan Jeviere semakin menggema saat Jesse menunjukkan foto pernikahan yang masih ia genggam walaupun sudah berlumur darah segar. “Su..rat..” kata Jesse terbata-bata.
“Aku udah baca, aku nggak peduli. Aku mau kamu menetap bukan karena kasihan aku mau kamu, kita bisa adopsi anak. Apapun kekurangan kamu, aku terima. Karena kamu, Cuma kamu yang memanusiakan aku selama ini. Kamu yang menganggap aku manusia saat semua menganggap aku sampah. Jesse, please stay..”
“Kita pulang, ya? Bertahan ya, Jess?” lanjut Jeviere lirih.
Jesse tersenyum, matanya mengerjap sebelum tertutup, genggaman tangannya lepas dari genggaman Jeviere. Mata Jesse tertutup, namun bibirnya seakan masih tesenyum untuk Jeviere, tubuh bersimbah darah itu Jeviere peluk erat diantara kerumunan dan dibawah derasnya hujan di hari yang masih gelap itu.