Imannuel Miracle Graviano Adrian

Ini kisah tentang bagaimana seorang anak bernama Imannuel Miracle Graviano Adrian dan hari kelahirannya ...

Tanggal dua puluh dua di bulan Desember pukul tujuh malam...

Bicara perihal pekerjaan Mevin, saat ini adalah saat yang Mevin tunggu, saat dimana ia akan pulang ke Yogyakarta untuk kembali ke pelukan istrinya yang akan melangsungkan persalinan anak pertamanya. Mevin kali ini tengah mengemasi barang-barangnya ke dalam koper. Hari ini Mevin telah memesan tiket untuk kembali ke kampung halamannya. Pengabdian masyarakat di daerah ini sudah Mevin lakukan dengan penuh tanggung jawab.

Mevin yang bekerja sebagai dokter spesialis anak terbaik di Rumah Sakit tempat ia bekerja menjadikan kehadirannya juga merupakan salah satu hal yang penting di kegiatan pengabdian masyarakat yang dilaksanakan oleh yayasan Rumah Sakit tempat ia bekerja. Di daerah ini Mevin menangani anak-anak, memperhatikan kesehatan mereka, merawat anak-anak yang memang butuh penanganan kesehatan. Mevin banyak dicintai anak-anak bahkan seluruh pasien anak-anak di daerah ini sayang dan bisa merasakan ketulusan Mevin.

Dalam setiap pekerjaan yang Mevin lakukan, ia taruh hatinya di sana, ia lakukan dengan segala ketulusan dan memberi yang terbaik di setiap pekerjaannya. Hingga akhirnya banyak anak-anak yang memandang Mevin bukan hanya sebagai seorang dokter tapi teman. Beberapa diantara mereka selalu meminta bantuan Mevin untuk belajar, atau mengerjakan tugas, beberapa dari mereka juga kadang mengajak Mevin bermain. Ada seorang anak perempuan berusia delapan tahun yang dekat dengan Mevin, anak itu bernama Mikha. Hari ini Mikha mengetahui bahwa Mevin hendak kembali ke kampung halaman, akhirnya Mikha dengan berani datang sendirian ke balai warga yang menjadi tempat para dokter tinggal selama disana.

Mikha hanya memperhatikan dari ambang pintu, karena Mevin dan rekan-rekan dokter yang lain tengah berpamitan dengan warga yang ada disana, tak jarang beberapa warga menangis memeluk mereka. Mevin kali ini ditugaskan bersama James dan Yemima juga. James adalah sahabat Mevin sejak SMA. Sedangkan Yemima adalah rekan Mevin saat menempuh pendidikan di bangku kuliah. Yemima memang sempat memiliki perasaan dan sempat dekat dengan Mevin tapi hanya sebatas sahabat, tidak lebih, Diantara keduanya tidak pernah ada deklarasi hubungan yang special.

Yemima sedari tadi memperhatikan Mikha di ambang pintu balai warga itu yang tak henti menatap Mevin dari kejauhan. Yemima pun berjalan menghampiri Mikha.

“Halo, lagi liatin apa, nak?” tanya Yemima ramah sambil mengambil posisi jongkok di depan Mikha. Anak perempuan itu hanya menunduk dan menggeleng pelan, “bapak ibu dokter pulang, ya? Hari ini, ya?” tanyanya dengan nada sedih.

Yemima pun memegangi kedua pundak Mikha yang membuat Mikha menatap Yemima dengan kedua matanya yang berkaca-kaca. Akhirnya Yemima merasa tersentuh melihat binar mata anak perempuan itu lalu memeluknya, “sehat terus, ya, belajar yang rajin. Nanti bapak ibu dokter kapan-kapan kesini lagi, oke?” kata Yemima. Anak perempuan itu tidak menjawab melainkan memeluk Yemima erat dan terisak. Ternyata, dari kejauhan Mevin melihat mereka berdua. Mevin pun berjalan pelan menghampiri Yemima dan Mikha.

“Mikha? Kok nangis?” tanya Mevin, Mikha dan Yemima pun merenggangkan pelukan, Mika yang menatap Mevin langsung bergegas menghampiri Mevin dan memeluk Mevin.

“Pak dokter mau pulang hari ini, ya?” tanya Mikha, Mevin merendahkan tubuhnya berlutut agar bisa memeluk anak perempuan itu. Yemima bangkit berdiri dan tersenyum kepada Mevin sembari berjalan meninggalkan mereka di sana.

Saat Yemima kembali ke rombongan yang sedang membereskan perlengkapan bersama beberapa warga, James berbisik kepada Yemima, “dokter anak yang disayangi semua anak emang beda, ya?” Yemima hanya terkekeh dan mengangguk, “nggak bisa bohong, Mevin sesayang itu sama anak-anak.”

“Pak dokter, nanti Pak Dokter kesini lagi?” tanya Mikha yang masih memeluk Mikha.

“Iya, doakan Dokter ya biar nanti Dokter bisa kesini lagi ketemu Mikha,” kata Mevin, keduanya merenggangkan pelukan. Perlahan Mikha terisak di hadapan Mevin, “loh, kenapa? Mikha kok nangis?” tanya Mevin sambil menyeka air mata yang jatuh di pipi Mikha.

“Nanti kalau sudah besar, Mikha mau jadi dokter seperti Dokter Mevin, Mikha harus bisa obatin Mama biar Mama tidak pergi tinggalkan Mikha seperti Ayah. Katanya dulu Ayah tidak bisa diobati dokter, Papa pergi tinggalkan Mikha, kakak dan Mama. Nanti Mikha mau jadi dokter seperti Dokter Mevin yang selalu obati pasien dan disayang sama semuanya.” Hal itu diucapkan Mikha dengan derai air mata, Mevin yang mendengarnya seakan tertampar, seakan berkaca pada masa lalunya, bagaimana ia ingin menjadi seorang dokter karena kehilangan Mamanya. Bagaimana Mevin ingin menjadi dokter agar keluarganya tidak ada yang sakit, bagaimana Mevin ingin menjadi dokter agar tidak ada kepergian lagi. Mevin merasakan matanya panas, ia mengerjap beberapa kali menahan air matanya.

“Mikha, dengerin dokter. Mikha pasti bisa jadi dokter seperti dokter Mevin, bahkan lebih dari dokter Mevin, Mikha harus percaya itu. Mikha harus rajin belajar, ya?” ucap Mevin lembut sambil membelai pipi Mikha.

“Nanti kalau Mikha sakit, nggak bisa ketemu dokter Mevin, nanti yang ngajarin Mikha menggambar siapa? Tapi dokter harus bekerja lagi, Mikha mau ketemu dokter lagi pokoknya, boleh kan?”

Mevin mengangguk sambil tersenyum haru, ia memeluk Mikha lagi untuk sesaat.

“Mikha sehat terus ya dan belajar yang rajin, oke?” kata Mevin, ia rasakan anak perempuan itu mengangguk perlahan.

Saat itu, Mikha berpamitan dan hendak kembali ke rumah. Mevin sempat meminta Mikha untuk menunggu hujan reda tapi Mikha menolak, ia berkata bahwa Mamanya sendirian di rumah dan cuaca hujan kalau rumah bocor tidak ada yang membantu Mamanya. Hal itu juga membuat Mevin semakin tersentuh. Hari itu, langit juga menangis saat semua tenaga medis pamit dari sana, seluruh warga merasa kesehatan mereka banyak diperhatikan dan dibantu. Hari itu, Mikha dan Mevin saling berpamitan, Mikha berjalan dibawah derasnya hujan dan angin yang agak cukup kencang sambil memegangi payung yang menutupi dirinya. Mevin masih menunggui Mikha sampai anak itu berlalu, tapi beberapa kali Mikha selalu menoleh ke belakang dan melambaikan tangan kepada Mevin.

Angin dan hujan yang ada saat itu nyatanya membawa cuaca yang kurang baik, embusan angin terlalu kencang sehingga membuat pohon-pohon berayun sedikit mengerikan. Saat Mikha berjalan, Mevin melihat sebuah pohon di dekat Mikha seakan hendak tumbang, benar saja, pohon besar itu sudah bergoyang karena embusan angin yang agak kencang. Dahan pohon besar itu sebentar lagi akan jatuh dan Mikha ada di bawahnya, maka Mevin langsung berlari di bawah derasnya hujan dan memekik nama anak perempuan itu, “Mikhaaaa!”

Anak perempuan itu berhenti dan Mevin langsung memeluk anak itu, hingga tubuh mereka sempat berguling sesaat tapi Mikha terlepas dari pelukan Mevin dan tersungkur agak jauh dari Mevin, sedangkan Mevin jatuh terlentang dan dahan pohon besar tadi menimpa tubuh dan tangan Mevin.

“Dokter Mevinnnn!!!!!” jerit Mikha panik dan histeris yang membuat sebagian orang dan dokter di balai warga itu langsung keluar menolong Mevin dan Mikha. Mevin tidak sadarkan diri, James dan beberapa warga serta dokter yang lain langsung membantu menyingkirkan batang pohon besar yang mengenai tubuh Mevin, sedangkan Yemima langsung meraih tubuh Mikha yang masih gemetar dan memeluknya membawa Mikha ke balai warga. Mevin mendapat luka di kepalanya dan tangannya tertimpa batang pohon besar itu. Hari itu, kepulangan ditunda.


Dua puluh tiga Desember hari itu ....

Sementara keesokan harinya di Yogyakarta, ada seorang ibu yang tengah berjuang untuk melahirkan anaknya, tanpa didampingi suami. Sejak beberapa hari terakhir, kandungan Grace yang membesar dan beberapa kali Grace sudah merasakan kontraksi. Beberapa kali Grace merintih sakit juga membuat Lea panik yang akhirnya membuahkan hasil keputusan Lea dan Jeremy, mertua Grace itu pun membawa Grace ke rumah sakit. Rasa sakit di perut Grace di suatu malam tidak mau berhenti, ia sudah tidak tahan lagi. Lea yang panik pun memanggil dokter untuk ke ruangan Grace. Harusnya juga saat ini Mevin sudah tiba di sini, tapi Mevin hilang kabar, sebagai orang tua, Lea dan Jeremy merasa khawatir setengah mati. Terlebih Grace, ia sudah memimpikan bahwa saat ia melahirkan akan ada Mevin di sampingnya menemaninya, tapi saat ini ia hanya ditemani oleh kedua mertuanya.

Akhirnya malam itu seorang dokter ditemani seorang suster datang. Dokter itu memberikan suntikan perangsang pada Grace, wanita itu sudah merasa detak jantungnya tidak karuan. Grace merasa sakit dan nyeri di bagian pinggang dan perutnya, sakit bukan main. Tak lama, air ketuban Grace pecah dan Grace sudah mencapai bukaan sempurnanya.

Hari itu, pukul tujuh malam dilakukan proses persalinan. Proses persalinan berlangsung, Jeremy dan Lea hanya bisa menunggu di luar ruang bersalin.

“Jeremy, anak kita nggak ada kabar,” kata Lea dengan sedikit terisak di pelukan suaminya.

“Tenang dulu, aku coba hubungi pihak rumah sakitnya Mevin juga masih susah di sana jaringannya juga susah, aku juga nggak bisa diem aja, tapi sekarang Grace lebih butuh kita. Berdoa buat Grace dan Mevin, ya...” Jeremy memeluk Lea dan mencoba menenangkan istrinya, meski sebagai seorang ayah ia juga merasa khawatir bukan main karena Mevin yang belum juga mengirimkan kabar.

Di dalam, Grace menangis menahan sakit dan merintih kala ia merasakan tulang-tulangnya seperti dipatahkan. Dokter itu meminta Grace mengatur napasnya. Terkadang Grace kesulitan bernapas. Ia mengejan sekuat tenaga saat ia merasakan sakit yang bukan main. Grace merasakan ada sesuatu yang keluar. Dokter itu memberi arahan kepada Grace untuk lebih tenang dan mengatur napasnya. Beberapa kali Grace mengejan sekuat tenaganya sampai akhirnya usahanya yang terakhir berbuah manis, tangisan bayi mungilnya terdengar menggema di sana.

Dokter itu berkata, “Syukurlah, bayinya laki-laki. Selamat Ibu Grace.” Sang dokter menyerahkan bayinya kepada suster di sebelahnya sebelum memberikannya untuk Grace baringkan di dadanya.

Grace menangis haru kala bayi mungil itu lahir ke dunia. Grace juga menangis menahan sedikit ketakutan dan kekecewaan karena ketidakhadiran Mevin disampingnya di saat terpenting mereka kali ini. Tapi, Grace kesampingkan dulu kekecewaannya kali ini, meski sebenarnya ketakutan yang paling banyak melingkupi dirinya. Grace belum memberi nama anak itu, ia masih ingin menunggu suaminya datang memeluknya, ia ingin nama untuk anaknya juga diberikan dari Mevin. Tangisan Grace kembali pecah saat melihat wajah bayi mungilnya yang sangat mirip dengan Mevin.

“Mevin ... kamu dimana? Anak kita udah lahir,” tangis Grace dalam hati. Hati wanita mana yang tidak takut dan hati wanita mana yang bisa tenang saat suaminya sedang bertugas jauh dan berjanji akan pulang tapi sampai hari selanjutnya pun yang ditunggu tak kunjung datang. Bayi ini lahir tanpa didampingi seorang ayah, tapi sebenarnya bayi ini lahir dengan perjuangan seorang ibu setegar Grace dan ketulusan seorang Ayah yang tengah berjuang di kejauhan sana.


Dua puluh empat Desember...

Setelah kejadian hari itu, Mevin ditangani oleh tenaga medis yang ada dan dengan peralatan yang bisa digunakan. Mevin mengalami patah tulang di tangannya serta luka di kepalanya. Untuk menggerakkan tubuhnya saja Mevin sangat kesusahan, geraknya terbatas, sangat terbatas. Maka di malam natal itu, Mevin memohon kepada Yemima dan James agar bisa membantunya untuk kembali ke Yogyakarta, karena ia mendapat kabar bahwa anak pertamanya sudah lahir, Mevin menangis dalam kesendiriannya, berdoa kepada Tuhan mengucap syukur atas kelahiran anaknya, serta penyesalannya tidak bisa ada di samping Grace seperti apa yang ia janjikan.

Doa itu Mevin biarkan membumbung tinggi bersama air matanya yang jatuh. Ingin meraung dalam tangis tapi ia tahan sekuat tenaga. Ia sudah menjadi seorang ayah, ia juga membaca pesan yang Mamanya kirimkan tapi memang Mevin tidak membalasnya, malam itu akhirnya mereka semua pulang dari daerah itu. Menempuh perjalanan yang hampir memakan waktu seharian penuh dengan berbagai alat transportasi. James dan Yemima selalu menjagai Mevin dan membantu Mevin berjalan, jangan sampai Mevin terluka lagi. Semua pesan dari Grace dan keluarganya tidak dibalas Mevin, biar mereka jauh dari kata khawatir jika Mevin menceritakan kejadian apa yang ia alami.

Malam natal kali ini, Grace hanya ditemani seluruh keluarga Adrian tanpa ditemani suaminya, Mevin. Semua berkumpul di rumah sakit untuk menemani Grace, dan satu hal lagi, sebuah nama belum disematkan untuk bayi Mevin dan Grace, karena Grace masih menunggu kedatangan Mevin. Hatinya sakit, merasa dibohongi, tapi tetap saja ketakutan dan kekhawatiran terasa mencekam dalam relung hatinya. Tetap ia titipkan doa untuk keselamatan suaminya.


Akhirnya keesokan harinya tepat di hari natal, Grace dibantu Lea dan Jeremy hendak mengurus kepulangannya dari rumah sakit. Jeremy masih mengurus administrasi dan Lea yang menemani Grace untuk membereskan barang-barang. Aura sendu saat itu berkuasa, mengingat Mevin yang belum juga mengirim kabar.

“Grace pulang ke rumah Mama dulu aja, ya?” kata Lea.

Grace duduk di sofa yang ada di ruangan rawatnya itu tepat di sebelah Lea, mertuanya.

“Iya, Grace masih butuh temen, Grace butuh Mama. Tapi Mevin kemana ya, Ma? Grace takut, kecewa, semua jadi satu.” Grace berkata dengan suara yang parau, Lea meraih jemari menantunya itu lalu mengelus punggung tangan Grace.

“Sama, Mama sebagai Mamanya Mevin juga merasa hal yang sama. Mama nggak pernah bisa tidur beberapa hari ini, keinget kamu sama Mevin. Tapi cuma bisa berdoa.” Lea berkata dengan nada yang ia usahakan tenang meski ketakutan besar juga bermukim di benaknya mempertanyakan keselamatan anaknya.

“Kamu disini aja dulu, Mama nyusul Papa bentar nanti Mama balik lagi, oke?” lanjut Lea, Grace mengangguk dan duduk disana seorang diri. Ia menunduk sambil menyangga kepalanya dengan kedua tangannya. Hingga beberapa menit kemudian, ia mendengar langkah-langkah yang terpijak ke arah dekatnya. Perlahan Grace mendongakkan kepalanya saat merasa ada seseorang yang berdiri di depannya. Grace mengira itu adalah mertuanya, tapi saat Grace mendongak, ia mendapati seorang pria dengan balutan perban di kepalanya, perban di tangan dengan arm sling juga.

Grace bangkit berdiri perlahan, keduanya berkaca-kaca saat menatap satu sama lain. Keduanya saling diam sesaat, Mevin menelan ludahnya karena tenggorokannya terasa tercekat, wanita yang ia rindukan ada di depannya. Pria yang Grace tunggu kehadirannya sudah ada di depan matanya tapi dengan keadaan yang tidak Grace harapkan sebelumnya.

“Kamu kenapa? Ini kenapa? Kenapa kemarin Yemima yang ada sama kamu? Kenapa kamu nggak dateng di hari anak kita lahir? Kenapa ...” Grace mengikis jarak diantara keduanya, hingga kini keduanya berdiri berhadapan sangat dekat.

There’s an accident, maaf,” jawab Mevin sambil satu tangannya bergerak meraih pipi Grace. Sedangkan Grace menatap Mevin lamat-lamat, mengamati setiap luka yang ada di wajah Mevin, menahan tangis sekuat tenaga.

“Kamu kenapa bisa kayak gini?” tanya Grace, air matanya sudah berjatuhan. Mevin tidak menjawab, ia hanya menarik Grace ke dalam pelukannya dengan satu tangannya. Sang puan menangis di pelukan Mevin, “waktu melahirkan aku sendirian, aku takut, aku takut kamu nggak pernah kembali, aku nggak mau anak ini kehilangan ayah, aku takut Mevin, aku takut!” raungan tangis Grace tak lama terdengar di sana. Mevin juga meneteskan air mata tapi bibirnya terlalu kelu untuk berkata-kata. Grace sudah menangis histeris di pelukan Mevin. Ia menanti kedatangan suaminya dan kali ini suaminya datang dengan keadaan yang tidak baik-baik saja. Mevin juga berulang kali ucap kalimat memohon ampun dan maaf. Lebur perasaan rindu dan ketakutan keduanya dalam rengkuh dan tangis. Cukup lama mereka saling memeluk, hingga akhirnya saat merenggangkan pelukan, Lea dan Jeremy juga memasuki ruangan itu, Lea menggendong seorang bayi mungil.

“Mevin!” pekik Lea dan Jeremy hampir bersamaan. Hari kemarin adalah hari yang panjang bagi keluarga ini menanti kepulangan Mevin dan kini Mevin kembali pulang. Ketakutan akan kehilangan itu nyata adanya dan kini yang dinanti sudah kembali. Lea dan Jeremy langsung berjalan cepat menghampiri Mevin, bergantian memeluk Mevin.

“Anak Mevin sama Grace,” kata Lea sambil menyerahkan bayi mungil itu ke gendongan Grace.

Lea dan Jeremy sekali lagi memeluk anak mereka itu, tangisan Lea pecah disana. Lea dan Jeremy mendapatkan kembali anaknya dengan selamat meski dengan keadaan yang tidak baik-baik saja.

“Makasih Papa sama Mama udah jagain Grace, makasih ...” bisik Mevin di sela tangisnya saat ia dipeluk Mama dan Papanya itu bersamaan.

Saat pelukan direnggangkan, mereka mendekat ke arah Grace yang menggendong bayi itu, “anak ini belum dikasih nama, nunggu Papanya.” Grace menatap nanar ke arah Mevin.

Mevin mengelus pipi bayinya itu dengan jarinya secara lembut, Mevin tak bisa membendung air matanya.

“Imannuel Miracle Graviano Adrian,” kata Mevin.

Netra Grace dan Mevin bertatapan sejenak, hingga Mevin bergantian menatap orang tuanya dan Grace.

“Imannuel selain nama Papa Jovian, artinya juga Tuhan yang menyertai, Miracle karena anak ini wujud keajaiban dan anak ini jadi berkat buat aku dan Grace, wujud mujizat Tuhan yang nyata setelah kehilangan kemarin. Graviano, gabungan antara nama Grace dan Mevin juga kata Uno yang artinya satu karena dia anak pertama, Adrian, nama Papa Bos dan anak ini lahir ditengah keluarga Adrian.” Mevin menjelaskan arti nama yang sudah ia siapkan itu.

“Anak pertama Grace dan Mevin yang semoga selalu disertai Tuhan di setiap langkahnya, wujud nyata keajaiban dan mujizat Tuhan ditengah keluarga Adrian dan kami berdua secara pribadi.” Grace melanjutkan penuturannya. Senyum dan air mata haru bisa dilihat di wajah Lea, Jeremy, Mevin dan Grace setelah itu. Dengan keterbatasannya, Mevin belum berani menggendong anaknya itu, ia menundukkan tubuhnya, mengecup pipi bayi mungil itu lalu bisikkan kalimat singkat, “you are the best thing that happened di hidup Papa, may God bless you always, makasih udah kuat buat Mama dan Papa saat lahir, terima kasih sudah lahir ke dunia, Nak. God here I come to you with heart that full of blessings and grateful, thank you for protect and bless my son and my wife, please bless our family and may we keep our faith in You, into your mighty hands we surrender all things, Amen.”

Inilah kisah singkat bagaimana kelahiran seorang anak bernama Imannuel Miracle Graviano Adrian lahir. Perjuangan kedua orang tuanya, serta jika menilik ke belakang maka kita tidak akan pernah berhenti disuguhkan kekaguman akan perjalanan iman dan keyakinan cinta yang Mevin dan Grace renda dari awal hubungan mereka sampai Tuhan percayakan menjadi orang tua bagi bayi mungil yang disapa Miracle ini.