IN MY DREAM

Aku mengendarai motorku diantara riuh hujan dan gemuruh petir dibawah langit senja, di persimpangan ini aku berhenti, berteduh dibawah naungan bangunan kosong dimana ada beberapa orang berteduh juga bersamaku. Kepulan asap aku keluarkan dari mulutku yang menghisap pod sebelum sejenak langsung hilang di antara dinginnya udara sore itu. Untuk sesaat aku tercekat, seseorang mengambil pod yang kuhisap, membantingnya ke tanah.

Aku geram, wajahnya tidak bisa ku lihat dengan jelas, seorang wanita menarikku. Ia menarikku jauh dari kebisingan tepi jalan, menyebrang hiruk pikuk yang ramai. Digenggamnya tanganku melalui kendaraan yang berlalu lalang, tanpa menoleh. Aku pun tidak mengeluarkan kata apapun.

Wanita ini terus menarikku menuju sebuah hamparan rumput luas, sampai di sana ia berbalik badan, tersenyum, memberikan senyum terbaiknya dan membelai rambutku perlahan.

“Stop kayak gitu, Mevin. Mama enggak suka lihat Mevin merokok atau sejenisnya, ya?” Dia―malaikat yang paling baik dalam rupa seorang Mama, sosok yang melahirkanku.

“Mama?” Aku mendekat ke arahnya, ia merentangkan tangannya membuka lengan lebar-lebar. Ini bukan Mama Lea, bukan.

“Mevin butuh peluk, nak? Sini peluk Mama Petra.” Ucapannya tidak sempat aku jawab karena aku langsung merubuhkan pertahananku di pelukannya, aku menangis sejadinya. Aku menangis keras-keras, tidak peduli dengan apapun, persetan bagi siapapun yang berkata seorang pria tidak boleh menangis. Bagiku ini manusiawi.

“Jaga diri, jangan lakuin sesuatu yang menyakiti dan merugikan diri kamu sendiri. Kejar bahagia Mevin, keluarga Adrian sayang sama Mevin.” Ucapan mama diiringi usapan lembut di punggungku. Mama juga mengecup pipi dan dahiku berulang kali.

“Terima kasih juga Mevin sama Papa Jovian udah akur, terima kasih Mevin udah mau mengampuni, bukan hanya sekedar memaafkan. Terima kasih anak Mama sudah jadi pribadi yang jauh lebih baik, Mama bangga sama Mevin. Anak Mama, Elleandru Mevinio Adrian. Anak lelaki mama satu satunya yang sudah tumbuh dewasa dan dipaksa dewasa oleh keadaan, yang tidak membalas apapun kesakitan yang ia terima selama hidup. Anak Mama hebat.” Mama merenggangkan pelukan setelah mengucapkannya. Aku tidak bisa membendung air mata sialan ini, aku terlihat rapuh di depan Mama, aku terlihat hancur―aku sungguh hancur. Seperti ini rasanya dipeluk sosok yang melahirkan kita?

“Boleh Mevin ikut Mama Petra?” tanyaku, tangan Mama menyentuh pipiku lembut.

“Mevin mau?”

Aku mengangguk setuju sambil menyeka air mataku. Mama tersenyum.

“Belum saatnya sayang, belum. Mevin harus sembuh dan bikin bangga Papa Jovian, Mama Lea sama Papa Jeremy.”

“Tapi Mevin butuh Mama.”

“Belum saatnya, Nak.” Aku tertunduk lesu, Mama menyentuh tanganku, diusapnya lenganku pelan, lalu diusapnya kepalaku juga perlahan.

“Mama pergi dulu, udah cukup lihat Mevin. Udah jadi penawar kangen Mama. Mevin lanjutin hidup dengan baik, ya?” Aku menggeleng cepat, menahan pergelangan tangan Mama agar tetap ada di pipiku. Mama tersenyum lagi, Mama mengangguk pelan. Aku kehabisan kata-kata, aku meraung dalam tangis lagi.

“Maa!!” Perlahan bayangan sosok Mama pudar, perlahan Mama tidak bisa lagi aku lihat. “Ma! Mama! Jangan pergi! Mama Petra! Mama!” teriakanku bahkan membuat leherku tercekat.

Mevin membuka matanya, napasnya tersengal-sengal, Mevin menyadari ia ada di rumah sakit sekarang. Air matanya lolos dari ekor matanya. Mevin mengatur napasnya lalu memejamkan matanya.

“Mevin bakalan inget pesan Mama.” Mevin bergumam dalam hati. Jeremy yang tidur di sofa yang tak jauh dari Mevin terbangun dan langsung menghampiri anaknya itu.

“Mevin? Kenapa, nak? Mevin kenapa?” tanya Jeremy panik yang memegang kedua pundak Mevin. Anak lelaki itu memandang Jeremy dengan mata yang berkaca-kaca dan sekuat tenaga menahan bibirnya yang bergetar.

“Mevin kenapa?” tanya Jeremy sekali lagi.

“Mevin mimpi ketemu Mama Petra, Mevin mau ikut Mama Petra tapi kata Mama belum saatnya. Mama...” Mevin langsung pecah dalam tangis, hati Jeremy teriris bukan main, Jeremy pun langsung mendekap anaknya itu. Mevin pecah dalam tangis di pelukan Jeremy. Tak bisa bohong, mata Jeremy sudah basah oleh air mata, tapi ia dekap erat dan hangat anak lelakinya itu.