JANGAN PERGI, GRACE

Malam ini Mevin baru saja melewati hari yang melelahkan, ia baru saja menjemput Miracle dari rumah Yemima, suara tawa dan kekehan kecil dari Miracle jadi pengobat kelelahan Mevin. Dengan telaten Mevin membuatkan susu untuk Miracle, dekap Mevin juga tanggap dalam menjaga Miracle dalam pelukan dan gendongannya. Setiap menatap wajah Miracle, tak pernah sedetikpun Mevin tidak teringat Grace, mata Miracle sangat mewakili perawakan Grace.

Mevin masih menggendong Miracle di kamarnya, Miracle nampak tenang di gendongan Mevin dan tertidur pulas. Namun tiba-tiba, ponsel Mevin di atas ranjang berdering. Mevin berjalan mengambil ponselnya itu, nampak nama Jevin di layar ponselnya, Mevin pun mengangkat telepon itu. “Halo, Jev, kenapa?” tanya Mevin.

“Ke rumah sakit sekarang, Grace,” nada suara Jevin terdengar panik.

“Grace kenapa?!” tanya Mevin.

“Kesini aja, sekarang!” seru Jevin di seberang sana.

Jantung Mevin berdegup kencang, ia bisa mendengar suara Letta menangis di sana di dekat Jevin, tapi Mevin langsung tutup panggilan itu sepihak dan langsung mengambil gendongan Miracle dan menuju ke Rumah Sakit.

Perasaan Mevin sudah tidak karuan, baru saja Miracle sembuh dari sakitnya, jangan sampai ada hal-hal yang tidak Mevin inginkan terjadi kepada Grace. Ia ingin Grace pulang ke pelukannya, ia ingin Grace kembali ke rumah, ia ingin keluarga kecilnya utuh kembali. Tidak bisa berbohong, sepanjang mengemudikan mobil menuju rumah sakit, Mevin tak henti meneteskan air mata. Hingga akhirnya setelah hampir tiga puluh menit mengemudi, Mevin tiba di Rumah Sakit, Mevin gendong Miracle dan buru-buru berjalan cepat menyusuri koridor rumah sakit dengan langkah yang berat dan hati yang tidak karuan. Beberapa detik terlewati, Mevin berpapasan dengan Letta.

“Mevin!” seru Letta, Mevin terengah dan mengatur napasnya.

“Sini, Miracle biar gue yang gendong, langsung ke ruangan Grace!” kata Letta, Mevin langsung menyerahkan Miracle ke gendongan Letta dan Mevin langsung berlari sekuat tenaga menuju ruangan Grace. Tiba di satu koridor, langkah Mevin terhalang brankar rumah sakit yang didorong beberapa perawat.

“Stop!” sebuah suara memekik membuat para perawat menghentikan laju mereka, Mevin menoleh, ada Jevin berlari dari sebelah kanan, dengan mata yang memerah dan basah.

“Itu … Grace …” Jevin berkata lirih saat sampai di hadapan Mevin. Ruang pikir Mevin seketika kosong, kakinya lemas, perlahan ia menoleh melihat raga yang sudah tertutup kain putih itu.

“Mevin, ikhlas …” Jevin merangkul pundak Mevin tapi Mevin tepis kasar, perlahan Mevin maju dan membuka kain putih itu. Benar saja, raga belahan jiwanya ada disana, dengan mata tertutup dan wajah yang memucat. Mevin seakan tidak percaya, Mevin mendekat.

“Mevin, yang kuat,” kata Jevin, suara itu memelan di telinga Mevin namun Mevin masih disana, perlahan ia berlutut, memeluk erat raga istrinya itu. Tenggorokan Mevin terasa tercekat. Bibir Mevin kelu dan ia sulit bernapas. Dunianya seakan runtuh. Tak ada celah keheningan, yang ada tangisan Mevin langsung histeris dan semakin menjadi saat melihat Letta datang menggendong Miracle dari arah seberang.

“Grace!! Bangun!” Mevin meraung dalam tangisnya. Ia terus terisak, tangannya mengguncang pelan tubuh wanita itu yang tidak akan membalas dengan respon apapun itu. Jevin menarik tubuh Mevin menjauh.

“Mevin! Mevin!” Jevin menarik tubuh Mevin menjauh.

“Grace nggak boleh pergi! Ayo pulang, sayang! Ayo pulang! Aku sama Miracle ada disini!” Mevin meraih tangan istrinya itu yang sudah dingin, beberapa kali Jevin coba tenangkan tapi Mevin memberontak dan menjambak rambutnya. Jevin tidak bisa berkata apa-apa air mata akhirnya tumpah kala itu melihat kenyataan hari ini. Beberapa kali Mevin hendak mendekat dan meraih tubuh istrinya lagi namun Jevin menahannya hingga tubuh Mevin melemas, luruh di lantai bersandar di pelukan Jevin, ia memeluk dan mencengkeram baju Jevin dengan erat, meraung dalam tangis sejadinya di sana. Tidak pernah ada yang tahu, tidak pernah ada yang menyangka dan tidak ada seorangpun yang mampu menyingkap tabir kehidupan mendahului Tuhan, Sang Empunya seluruh kehidupan kita. Mungkin hari ini adalah sebenar-benarnya hari dimana Mevin harus membungkus pilu secara bersamaan dalam hatinya. Tangisan Mevin seakan bisa dirasakan Miracle saat itu, karena saat itu juga Miracle menangis di pelukan Letta, tepat saat brankar rumah sakit itu kembali didorong oleh para perawat dan perlahan meninggalkan Mevin yang masih menangis di sana.

“Grace!!!!” Mevin menjerit dan membuka matanya, Miracle yang tidur di sebelahnya masih terjaga dalam lelap dan tenang.. Mevin atur napasnya, peluh bercucuran di wajahnya, ia usap, menetralkan napasnya akibat mimpi buruk yang baru saja ia alami. Bahkan tanpa terasa, matanya basah, mengeluarkan air mata, ada kelegaan di dalam hati Mevin karena mendapati semuanya hanya mimpi, tapi secuil lara juga menilik dalam hatinya karena kerinduannya yang mendalam terhadap istrinya itu. Ia kembali merebahkan tubuhnya, menatap lekat buah hatinya yang tertidur di sebelahnya, Mevin kembali peluk dan kecup kening anaknya itu sebelum kembali memejamkan mata.