JANGAN PERGI SEBELUM MAMA
“Seharusnya lo bisa jalan, bisa ke Singapore dan peluk Grace, minta maaf sama dia. Argh!” Gerutu Mevin. Seumur waktu hidup Mevin, tidak pernah ia menjatuhkan diri sedalam ini dalam perasaan cinta.
Seumur hidup Mevin hanya Grace yang membuatnya jatuh dan merasa luruh seluruh dalam setiap belaian kasih sayang yang diberikan. Keduanya sama-sama memiliki luka di keluarga. Mevin dengan latar belakang yang ditinggalkan sosok Mamanya sejak ia lahir, tidak diurus oleh Papa kandungnya, dibesarkan di keluarga yang lain. Serta Grace yang mengalami kehancuran keluarganya di saat ia sudah dewasa, diabaikan Mamanya, dijual oleh Papanya sendiri, menghidupi diri sendiri dan menafkahi diri sendiri dengan usaha sendiri.
Mereka berdua jauh dari kata baik-baik saja sebenarnya. Ketabahan Mevin dan Grace diuji, sama-sama diuji. Selalu ada rengkuh untuk berbagi lelah selama mereka berdua, tapi sudah beberapa lama ini keduanya berjalan masing-masing. Sibuk menata hidup dan hati mereka masing-masing. Sama-sama terluka ternyata juga bukan pilihan yang baik untuk bersama, sama-sama terluka juga bisa hanya menambah duka kala berdua dan menjatuhkan hati lebih dalam lagi.
Pesan Grace di chat yang mengatakan bahwa Grace “hancur” nyatanya cukup membuat Mevin sedih dan merasa bersalah. Berjalan bersama hanya mengundang duka dan rasa sakit, tapi berjalan masing-masing nyatanya Mevin yang tengah hancur itu juga menghancurkan Grace yang belum sembuh.
Tak ada pilihan terbaik untuk saat ini. “Ko Mevin!” panggil Kenzie yang terdengar menusuk rungu Mevin tapi untuk menjawabnya saja Mevin tidak sanggup.
Mevin tengah berada di kamar mandi, masih dengan kursi rodanya, ia menatap dirinya di cermin wastafel yang ada, ia basuh wajahnya yang sayu lalu tatap dirinya di cermin lagi. Mevin seringkali melewatkan jam makannya dengan sengaja. Mevin tidak pernah melakukan kekerasan apapun kepada siapapun, tapi kepada dirinya sendiri, tanpa ia sadari yang ia lakukan membuatnya sakit dan rapuh.
Sekarang ia paham betul bagaimana rasanya ada di titik terendah seperti Grace selama ini, Mevin sakiti dirinya dengan pukul kaca yang menggantung atau langsung memukul tembok. Sengaja tidak makan, atau memang kehilangan nafsu makannya. Mevin kehilangan empat angka dari berat badannya, hal itu sangat terlihat jelas di perubahan di tubuh Mevin yang menjadi agak kurus.
Mevin sedikit memejam saat ia merasakan pusing di kepalanya karena sebenarnya ia berbohong kepada Mamanya mengatakan bahwa tadi malam dan tadi pagi sebelum ke rumah sakit ia sudah makan, kebohongan yang sering Mevin lakukan belakangan ini, bukan tanpa alasan, jelas psikis dan batin Mevin masih belum bisa seperti semula, bahkan mungkin sulit dikembalikan.
Kini Mevin merasa pusing semakin melanda bahkan hingga ke otot matanya, sesuatu di dalam perutnya seakan naik dan memaksa keluar, tubuhnya dingin, semua terasa berputar, dadanya sesak, ia dekatkan dirinya ke wastafel dan ia berpegang di sisi tepi wastafel. Sesuatu dalam perutnya seakan terasa sakit tapi sangat susah untuk ia keluarkan, beberapa kali Mevin mencoba membuka mulutnya memberikan akses agar semua isi perutnya keluar tapi tetap saja susah.
“Koko Mevin!” panggil Kenzie sambil mengetuk pintu kamar mandi. Tapi Mevin tidak menjawabnya, rasanya tidak karuan. Akhirnya karena keringat dingin mulai bercucuran, Mevin nekat membuka mulutnya dan memasukkan satu jarinya memasuki mulutnya hingga ke pangkal tenggorokannya.
Benar saja, saat itu Mevin mengeluarkan semua isi perutnya, beberapa kali muntah, ia menyalakan keran air, berkumur tapi lagi dan lagi ia memuntahkan semuanya, peluh semakin membasahi wajah dan tubuhnya terasa seperti hampir pingsan.
“Koko kenapa? Ko!!” panggil Kenzie sambil mengetuk pintu kamar mandi.
“Koko nggak―” “―arghh!” rintih Mevin, lagi, ia memuntahkan isi perutnya lagi lebih banyak dari sebelumnya, maka ia membasuh wajahnya, ia kehilangan keseimbangan, tubuh Mevin jatuh rebah, ia terjatuh dari kursi rodanya, kepalanya menghantam tepian wastafel sebelum jatuh keras ke lantai dan membuatnya mengeluarkan darah.
Suara jatuhnya tubuh Mevin membuat Kenzie kaget, karena saat itu juga Kenzie membuka kenop pintu kamar mandi Mevin.
“KOKO MEVIN!! AAAAA!!” teriak Kenzie panik dan langsung menangis histeris karena yang ia lihat saat ini adalah Mevin yang tergeletak dengan darah yang bercucuran di lantai dan mengenai beberapa sisi wajah Mevin. Kenzie jatuh ke lantai dan menangis meraung yang membuat Lea dan Jeremy datang langsung.
Kepanikan melanda serta suasana mencekam kala teriakan Jeremy dan Lea terdengar hampir bersamaan meneriakkan nama anaknya itu, Lea langsung meraih tubuh Enzi yang masih gemetar dan menangis itu, Lea peluk erat Enzi dalam gendongannya.
“Mevin!” Lea masih meneriakkan nama Mevin, ia menangis juga disana. “Koko Mevin... Koko Mevin kenapa? Enzi mau sama Koko!” teriak Enzi dalam tangisnya. Sementara Jeremy menyingkirkan kursi roda Mevin dengan kasar lalu meraih tubuh Mevin, tidak butuh waktu lama, Jeremy langsung membopong tubuh Mevin, “ke rumah sakit!” pekik Jeremy dengan wajahnya yang mulai memucat karena panik.
Lea mengikuti di belakang. Lea menyambar kunci mobil sambil masih menggendong Kenzie.
“Enzi, aunty anter pulang aja, ya?” kata Lea sambil mengusap air mata yang masih jatuh di pipi gadis kecil itu.
“Nggak mau, Aunty! Zi mau sama Koko Mevin, Zi mau temenin Ko Mevin. Zi mau ikut Uncle mau sama Koko!” tangis Enzi, tangannya terulur seakan ingin meraih tubuh Mevin yang kini sedang diangkat oleh Papanya itu.
“Enzi...”
“Nggak mau, Zi mau sama Ko Mevin! Koko Mevinn!!” tangisan Enzi bahkan nafas yang sedikit tersengal itu membuat hati Lea luruh seluruhnya. Ia memeluk Enzi dan langsung membawa Enzi ke dalam mobil. Tubuh lemah Mevin ditidurkan di jok belakang, Lea mendudukkan Enzi di depan di sebelah Jeremy, memasangkan seat belt untuk gadis kecil itu dan Lea bergegas ke kursi belakang, menidurkan kepala Mevin dan menyadarkan kepala Mevin di tubuhnya.
Persetan dengan darah yang masih mengucur itu. Lea menangis tanpa suara, Jeremy mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi. Beberapa kali Kenzie menengok ke belakang dengan takut, ia meremas seat belt menahan tangis dan takut melihat kondisi Mevin. Lea berdoa sepanjang jalan, bibirnya bergerak tanpa suara tapi bergetar bukan main.
Ia rangkul tubuh Mevin bahkan genggam tangan Mevin yang dingin saat ini. Lea pejamkan mata, *“God, please protect my son... don’t ever let him go, please safe him.. please.. please...” *
“Ma...” rintih Mevin sesaat tanpa membuka mata, bibirnya memucat.
“Mama disini, Mama disini, sayang, Mevin bertahan nak...” Lea panik, ia tangkup pipi Mevin dengan satu tangannya, tangan satunya masih ia gunakan untuk menggenggam tangan Mevin erat.
“Jeremy! Cepet dikit, Jer!” kata Lea panik dengan suaranya yang parau. Jeremy tidak menjawab, sesekali satu tangannya ia gunakan untuk menyentuh pundak Kenzie agar gadis itu tenang, Jeremy juga mencoba menghubungi Hazel dan Shasha serta Jevin untuk menyusul ke Rumah Sakit. Hazel dan Shasha adalah orang tua Kenzie tapi hubungan dua keluarga yang tidak sedarah ini sudah seperti keluarga kandung.
Gadis sekecil Kenzie bisa menangis histeris melihat keadaan Mevin, ia bisa merasakan ketulusan yang Mevin berikan kepada setiap orang di sekitarnya. Lea masih kalut, ia hanya bisa menangis saat ini, air matanya jatuh tanpa henti dan tanpa komando.
Sungguh, hati ibu mana yang tidak hancur. Mevin yang ia rawat sejak lahir, menerima kasih sayangnya tanpa perbedaan dengan Lauren dan Jevin kini tengah hancur dan keadaannya menyayat hati Lea. Kalau Lea boleh memohon kepada Sang Kuasa, biar ia gantikan tempat Mevin dan semua kesakitan Mevin saat ini dengannya. Kini ia taruh punggung tangan Mevin di pipinya, Lea terisak bukan main karena kini Mevin tidak merespon apa-apa lagi Mevin benar-benar tidak sadarkan diri.
Tidak sampai hati Lea melihat anaknya bersimbah darah saat ini, tidak pernah ia bayangkan Mevin harus mengalami banyak hal yang sebenarnya tidak ia inginkan pastinya sejak lahir. Tapi begitulah cara kerja semesta. Tangan Mevin semakin dingin dan wajahnya memucat, pakaian Lea bahkan sudah berlumur darah yang terus mengucur dari kepala Mevin.
Sempat Lea rasakan Mevin seakan ingin genggam tangannya, bahkan sebelum benar-benar menggenggam, tangan Mevin sudah jatuh terkulai.
“Mevin!!” tangis Lea histeris sambil memeluk anaknya itu, ia menempelkan wajahnya dengan Mevin meski sudah terkena aliran darah, Lea tidak peduli.
“Mevin―nak, sebentar lagi, bertahan, ya, sayang... anak mama... anak Mama Lea... Mevin...”
“Mevin, bertahan, ya? Mama nggak akan pernah siap hadapi kehilangan, stay with us, please―jangan pergi, jangan pernah pergi sebelum Mama, jangan, Nak...”