JENA SAYANG PAPA

Sore hari saat Jena ada disana, ia menghabiskan waktu dengan menunggui Papanya di Rumah Sakit bersama Mamanya. Senja kali ini rasanya damai sekali, seperti damainya Jena terlelap saat menjagai Papanya. Namun senjanya selalu terasa gelap selama Jena mendapati keadaan Papanya yang belum kunjung sadar.

Saat itu Jena terbangun setelah lama waktu berlalu Jena tertidur disana, membenamkan wajah di sebelah tangan Papanya. Jena terbangun karena mendengar alat pendeteksi detak jantung yang berbunyi, dilihatnya angka yang menunjukkan denyut jantung Jeffrey menunjukkan angka yang semakin kecil dimana detak jantung Jeffrey melemah. hal itu membuat Jena mengerjap dan mendongakkan kepalanya. Dadanya terasa sesak kepanikan, Jena langsung mendekat kepada Papanya.

“Pa, Papa kenapa? Papa!” kata Jena dengan suara parau. Setelah itu, dengan secepat kilat Jena pun langsung memanggil dokter untuk memeriksa papanya.

Saat beberapa perawat dan dokter datang ke ruangan itu, Jena dipaksa untuk menunggu di luar, Jena memberontak namun disaat yang bersamaan, Eilene datang, Eilene panik dan langsung menarik Jena agar membiarkan dokter yang hendak menangani Jeffrey masuk.

“Jena! Jena, kenapa, nak?!” cegah Eilene sambil menahan lengan Jena. Anaknya bersandar di tembok lalu jatuh terduduk sambil melipat kakinya, mengepalkan tangan sambil memukuli lututnya sendiri, menangis disana.

“Ma, Jena nggak mau Papa Jeff kenapa-kenapa, Papa nggak boleh pergi.”

“Sst, nggak ada yang akan pergi, Papa Jeff nggak akan pergi!” Eilene memeluk anaknya itu, Jena menangis sejadinya.

“Papa Theo udah pergi, Papa Jeffrey nggak boleh pergi! Jena belum sempat bilang terima kasih dan maaf,” tangis Jena semakin melirih namun semakin mengisyaratkan sebuah sakit dan pedih yang mendalam.

“Iya nak, iya. Papa Jeffrey gonna be okay.” Eilene menenangkan anaknya walaupun ia didera kepanikan dan kekhawatiran luar biasa hebat. Kekosongan dan kehampaan bermukim saat itu juga di benak Eilene, memporak-porandakan keadaan hatinya.

Saat dokter dan perawat keluar dari ruangan Jeffrey dirawat, Eilene langsung menghampiri dokter tersebut. Di sana sudah ada Jena, Eilene dan juga Dave.

“Keluarga pasien Jeffrey?” tanya sang dokter.

“Saya istrinya!” kata Eilene di sebelahnya sudah ada Jena dan Dave. Sebuah ketakutan besar bermukim di pandangan mata Eilene.

“Kondisi detak jantung pasien melemah, namun Bapak Jeffrey bisa melewatinya, kemungkinan sadar sangat banyak, jangan pernah berhenti berdoa.” kata-kata sang dokter terangkai menyiratkan duka dan sedikit harap. Eilene tersenyum menunggu sang dokter yang berlalu, Eilene berjalan beberapa langkah membelakangi anak-anaknya dengan langkah gontai, dadanya sesak, ia mengambil posisi duduk di bangku panjang. Hal itu membuat kedua anaknya bergerak cepat menghampiri Eilene. Dave dan Jena menarik tubuh Eilene dan mencoba menenangkan Eilene meski Eilene sempat memberontak saat tangan Jevin dan Jena menahannya.

“Ma!” pekik Dave dan Jena hampir bersamaan. Jena hanya menutup mulutnya dengan telapak tangannya karena terlalu sakit melihat keadaan Mamanya sekarang yang menangis sejadinya di pelukan Dave. Sekuat apapun Eilene menabahkan dirinya saat ini tak akan bisa membuatnya tenang.

“Mama, jangan nangis ....” kata Jena, Eilene melemah di pelukan Dave. Mimpi buruk ini nyatanya memang realita bagi keluarga Eilene. Jena mendekat ke arah Eilene dan Dave, Eilene pun memeluk kedua anak itu.

“Kalau aja Jena nggak jahat sama Papa,” gumam Jena lirih, kenyataan di depannya sekarang bak lara mendarah untuknya, ia kira saat itu ia bisa memeluk Papanya untuk mengucapkan terima kasih tapi ternyata keadaan berbeda. Ia tak kuasa, sungguh. Setiap malam ia habiskan untuk berandai tentang keluarga utuhnya yang kembali bahagia namun semua dihempas kenyataan―jauh.

Eilene merenggangkan pelukan, ia menatap kedua anaknya bergantian, ada Dave di sisi kanan Eilene dan Jena di sisi kiri Eilene. Eilene raih jemari mereka, satu tangan Eilene menggenggam jemari Jena dan satu tangan Eilene menggenggam jemari Dave.

“Anak-anak Mama, jangan pernah benci Papa Jeffrey, ya?”

“Dave nggak pernah benci Papa Jeffrey.” Dave berkata dengan nada teduh.

“Jena yang selama ini benci sama Papa,” kata Jena sambil tertunduk dan terisak. “Jena keterlaluan sama Papa Jeff, Jena yang kurang ajar,” lanjut gadis itu.

“Dek, walaupun gue cuek, tapi gue paham gimana sayangnya Papa ke lo, Papa Theo memang Papa kandung kita, kepergian Papa Theo juga bukan karena Papa Jeff kok, lo buang pikiran jelek lo itu ke Papa Jeff, dek.” Mendengar penuturan Dave itu, Eilene merasa sesak. Mungkin ini saatnya Eilene harus memberitahu kebenarannya.

“Bukan Papa Jeffrey yang bikin Papa Theo pergi. Papa Theo pergi karena udah waktunya, bahkan Papa Jeffrey yang bantu bawa Papa Theo ke Rumah Sakit tapi semuanya terlambat, Papa Theo pergi selamanya. Mereka berdua sahabat sejak SMA, dulu Mama mantan pacar Papa Jeffrey karena satu dan lain hal kami berpisah, Papa Theo datang jadi pengobat luka Mama. Akhirnya Papa Theo sama Mama melahirkan anak-anak hebat seperti kalian. Sampai akhirnya Tuhan panggil Papa Theo lebih dulu karena serangan jantung. Papa Theo bilang dan pesan ke Papa Jeff kalau titip Mama dan kalian, Tuhan Maha membolak balikkan hati manusia, hingga akhirnya kami dipersatukan lagi. Bertahun-tahun kami berdua berusaha biar kalian menerima keadaan, Jena jangan kerasin hati Jena terus. Papa Jeffrey itu sayang sama Jena.” Ucapan Eilene pun terhenti sesaat ia menangis.

“Gue walaupun cuek, gue paham dan gue masih sering chat dan telfon sama Papa Jeff, jangan pikir gue sama Mama nggak tahu masalah rokok, dek. Lo kan yang ngerokok sampai Papa harus bohong di depan Mama. Sampai disaat urgent kaya gitu Papa dateng buat lo, sekalipun nyawa Papa taruhannya. Lo mau kehilangan sosok Papa untuk kedua kalinya?” Kata-kata Dave terhenti saat Eilene menggenggam tangan Dave erat.

“Dave,” bisik Eilene lirih.

“Biar, Ma. Biar Adek sadar kalau sikapnya udah keterlaluan. Jena, coba bayangin kalau Papa Jeff kenapa-kenapa, bisa bayangin hancurnya keluarga kita? Bisa bayangin hancurnya Mama kedua kalinya? Bisa nggak?” Nada Dave meninggi. Sontak Jena melepaskan genggaman Mamanya itu Jena langsung berlutut di depan Mamanya dan membenamkan wajahnya di lutut Mamanya.

“Jena, bangun, Nak. Jena!” Eilene memaksa Jena bangun tapi Jena menolak ia masih bersikukuh. Dave yang melihat keadaan itu pun hanya bisa ikut menangis.

“Maafin Jena, Ma, maaf―” kata Jena dengan isak tangisnya.

Eilene tidak bisa berkata apa-apa lagi, akhirnya Eilene menegakkan badan anaknya itu lalu memeluknya, keduanya tumpah ruah dalam tangis.

“Jena nggak mau kehilangan lagi, nggak mau, Ma!” tangis Jena keras.

“Janji jadi anak yang baik, ya? Jangan nyalahin Papa Jeff lagi, ya? Janji sama Mama?”

Eilene merasakan Jena mengangguk di pelukannya. Maka saat Eilene melepaskan pelukan, Eilene menghapus jejak air mata di pipi Jena, ia tersenyum lalu mencium dahi Jena, “terima kasih anak Mama,” katanya.


Suatu sore yang lain, Jena menunggui Papanya seorang diri saat ini, Jena tak henti rapalkan doa dan harap agar Papanya kembali membuka mata. Lama waktu berlalu Jena tertidur disana, membenamkan wajah di sebelah tangan Papanya. Sedangkan Dave sedang tertidur juga di luar ruangan itu. Waktu sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Jena yang masih terlelap merasakan sebuah sentuhan lembut di punggungnya yang berulang kali ia rasakan. Hal itu membuat Jena mengerjap dan mendongakkan kepalanya.

“Abang?” Jena menguap dan mengerjapkan matanya sambil merentangkan tangannya sedikit merengangkan tubuhnya.

“Ini, dari Papa Jeff, sebenernya kemarin mau kasih tapi lupa, gue pulang dulu karena pagi jam lima harus ke luar kota. Jagain Papa, ya?” Dave mengulungkan sebuah amplop untuk Jena yang langsung diterima adiknya itu.

“Abang hati-hati.” Jea berkata sambil tersenyum. Dave pun memeluk dan mengecup puncak kepala adiknya itu lalu meninggalkan ruangan.

Perlahan, Jena buka amplop itu yang ternyata adalah surat dari Jeffrey, Papanya.

Untuk Jena, anak cantik yang dibesarkan dengan baik sama Papa Theo dan Mama Eilene. Jena... Papa Jeff minta maaf kalau kehadiran Papa di tengah Jena, Mama Eilene dan Abang Dave nggak bisa diterima Jena. Belum bisa diterima mungkin sama Jena, Papa nggak akan berhenti berdoa biar suatu saat Jena bisa terima kehadiran Papa. Dalam doa Papa setiap malam tetap Papa doakan Jena, Papa nggak putus asa biar Jena bisa terima Papa, karena Papa yakin masih ada harapan. Jena mirip banget sama Papa Theo, ya? Papa Jeff juga kehilangan waktu Papa Theonya Jena pergi selamanya, Papa juga menyesal harusnya Papa datang lebih awal. Jena nggak usah khawatir, sebenci-bencinya Jena ke Papa, kalau Jena butuh sesuatu please kasih tahu Papa biar Papa merasa berguna walau sedikit. Papa mau di kehidupan Jena, Papa juga punya peran seperti Papa Theo. Papa nggak mau rebut tempat Papa Theo, enggak sama sekali, Nak. Suatu saat nanti Papa pengen Jena bisa peluk Papa, erat dan tulus. Papa pengen rasain itu, suatu saat, ya, Nak? Papa sedih kalau lihat Jena sakit, sedih dan hancur waktu tahu Jena ngerokok saat itu. Jangan lagi, ya, nak? Itu bahaya. Jena jangan lari ke pergaulan yang salah, kalau Jena butuh temen cerita bilang ke Papa, Nak. Barang sekali, nggak papa. Jena, Papa sayang Jena dan Abang Dave. Kalau Papa Jeff ada salah maafin Papa ya, nak. Papa Jeffrey sayang banget sama Jena, Abang Dave dan Mama Eilene.

Jena menangis sejadinya di sana menenggelamkan wajahnya di samping tangan Papanya yang masih terkulai.

“Maafin Jena, Papa .... Maafin Jena ....” “Papa Bangun ....” “Jena minta maaf ....” Rentetan kalimat pilu itu dirapalkan Jena dengan diiringi tangisan dirinya. Jena menyadari sikapnya yang keterlaluan terhadap Papanya itu. Ia tidak akan pernah bisa memaafkan dirinya kalau sampai terjadi apa apa dengan Papanya kali ini. Saat Jena tengah menangis, ia merasakan sebuah belaian lembut di kepalanya yang nyaris tak berasa. Jena mendongakkan kepalanya.

“Papa?” ucap Jena lirih.

Sebuah senyum teruntai di wajah Jena saat melihat sang ayah yang membuka matanya pelan. Dadanya terasa sesak akan perasaan bahagia. Jena langsung mendekat kepada ayahnya. Netra keduanya bersinggungan, air mata lolos dari ujung mata Jeffrey.

“Pa, ini Jena, Papa bisa denger Jena? Papa udah sadar?” tanya Jena dengan suara parau. Tapi Jeffrey hanya memberikan tatapan kosong.

“Pa, ini Jena!”

“Jena?” tanya Jeffrey sambil mengernyitkan dahi. Hati Jena bak dihujam pisau tajam, inikah kenyataan yang harus ia hadapi? Memori Papanya hilang? Ingatan Papanya hilang termasuk tentang dirinya? Tangan Jena menggenggam tangan dingin Papanya. Tatapan kosong dan bingung diberikan Jeffrey kepada Jena, tapi Jena memberikan tatapan sendu dan pilu disertai harap sambil berkata,

“Iya, Jena ... anak Papa. Jena tahu Papa bakalan datang saat itu buat Jena, karena Jena tahu, Papa selalu pegang janji Papa. Terima kasih ya, Pa. Jena sayang Papa Jeffrey.”

Janji itu memang Jeffrey tepati, untuk menyelamatkan anaknya, tapi Janji untuk memeluk anaknya belum bisa Jeffrey tepati, kehilangan ingatan adalah hal yang tidak pernah Jena bayangkan akan terjadi kepada Papanya, sekuat tenaga Jena paksakan diri tersenyum meski air mata sudah mengalir.

“Jena sayang Papa, sama seperti Jena sayang ke Papa Theo.” Usai ucapkan kalimat itu, Jena memeluk erat Papanya dan menangis di sana. Hari-hari selanjutnya Jena berjanji kepada dirinya sendiri bahkan di hadapan Tuhan bahwa ia akan mengubah sikapnya, ia akan memberikan kasih kepada Papanya itu sebagaimana seharusnya dilakukan seorang anak. Sebuah kelopak harapan merekah, Jena masih punya harapan untuk membalas semua perbuatannya kepada Papanya. Ia akan mengubah sikapnya sebisa mungkin, asalkan ia tidak kehilangan sosok Papa lagi, perlahan Jena merasakan usapan lembut di punggungnya. Jena mengeratkan pelukannya ia memeluk Papanya sekali lagi.

“Jena sayang Papa Jeffrey.”