JEREMY & LEA

Lea merasa heran dengan beberapa klien yang ia temui akhir-akhir ini. Kali ini permintaan Jeremy hanyalah sekadar nongkrong dan movie date di apartemennya. Namun, Jeremy bersedia membayar tiga kali lipat. Hal itu membuat Lea heran.

Lea dan Jeremy bertemu di sebuah kafe yang tak jauh dari tempat kerja Lea. One slice of red velvet cake yang dipesan Jeremy mengiringinya bercerita tentang kerumitan dunia kerjanya. One slice of tiramisu cake mengiringi cerita Lea tentang kekelaman dunia alternya beberapa tahun ini. Barisan kata dan kalimat terucap dari mulut mereka berdua tanpa henti. Gelak tawa kecil sampai gelak tawa yang membuat keduanya mengeluarkan air mata tak terhindar tatkala keduanya hanyut dalam obrolan di sebuah teras outdoor kafe.

Lea dan Jeremy bisa saling mengimbangi obrolan dalam pertemuan pertama mereka. Hembusan angin semilir berhembus menerpa surai hitam Lea yang membuatnya berulang kali merapikan rambut hitam panjangnya. Wajah ayu Lea terasa sejuk dipandang dan memberi sebuah getaran kecil di hati Jeremy. Pembicaraan tentang kehidupan perihal pekerjaan, ditinggalkan, dan luka masa lalu menghiasi malam ini.

Mata Jeremy tidak henti menatap wanita di depannya yang masih berceloteh seputar kehidupan perkuliahan sampai ia mendapat gelar Cumlaude. Namun, semua tidak berarti saat mendapati kabar kepergian kedua orang tuanya untuk selamanya. Entah angin apa yang membuat obrolan keduanya mengalir dan nyambung satu sama lain.

“Kenapa kamu sampai jadi akun alter gitu? Sampe open slot cuddlecare sama gfrent?” tanya Jeremy.

Lea menaruh garpu kecil yang ia gunakan untuk menikmati kue tiramisunya di tepi piring kecilnya.

Ia mulai angkat bicara. “The first thing, gue cuma mau bebas ajabebas berekspresi jadi diri gue sendiri. Di media sosial gue yang lain, gue cuma post gimana gue kuliah, tips and trick study in a college. Sekalinya gue nge-post sesuatu yang aneh langsung, deh, orang orang close minded jadi malaikat dadakan yang ceramahin gue dan kayak paling tau dosa-dosa gue.”

Lea menghela napas lalu bertutur lagi, “Gfrent, sih, gue sejauh ini ya cuma nemenin jalan, curhat, dibawa kondangan. Selebihnya cuddle yang bener bener cuddle, without sex. I don’t know you will believe or not but I just say the fact.”

“Terus perlakuan cowok-cowok selama ini gimana? Nggak menutup kemungkinan kamu bakalan ketemu cowok yang kurang ajar, kan, dunia kayak gini keras. Iya kan?” tanya Jeremy.

“I hit them, I kick them. Gue mantan murid taekwondo. Come on gue nggak yang nangis-nangis gimana gitu kalau ada yang kurang ajar. Dari dulu udah dilatih berani dan mandiri of course. Sebangsat-bangsatnya gue juga nggak mau, sih, having sex sama anak alter, lost in a lust doang. Kalau pun berduit, kayak sugar daddy ogah juga.” Lea melahap satu potong kecil lagi kue tiramisunya.

Jeremy hanya mengangguk sambil tersenyum yang membuat lesung pipinya tampak jelas. “Lo sendiri kenapa mau booking gue, tapi nggak ngapa-ngapain? Cuddle enggakJangankan cuddle, pegangan tangan aja enggak, tapi lo berani bayar gue mahal banget.” Lea balik bertanya.

“Awalnya coba-coba doang, apa, sih, alter? Temen pada main, kebetulan jomblo semua belum ada yang punya pacar. Eh sekali coba nemunya kamu. Ya sudah, saya juga cuma mau have fun without sex dan yang lain. Saya juga nggak mau ngerusak cewek, kecuali istri sendiri nanti. Haha.”

“Lah, lo masih jomblo, Jer?” Lea kaget.

“Iyalah, kalau udah punya pacar, nggak mungkin saya berani jalan sama kamu, Lea,” jawab Jeremy malu-malu.

“Terserah kamu mau gimana menjalani kehidupan alter ini. Pesan saya cuma, jangan sampai rugi dan menyesal aja. Kamu memang punya kehendak bebas melakukan apa saja, kata orang hidup cuma sekali, rugi kalau nggak coba hal-hal nyeleneh. Tapi, kalau hidup cuma sekali, kenapa nggak dimaksimalkan lakuin hal yang berguna dan menyenangkan, iya nggak?” Jeremy masih menyelami paras ayu Lea.

“Kamu cantik, pinter banget bahkan. Kamu nggak mau kerja di kantor saya aja?” lanjut Jeremy. Tanpa basa-basi Jeremy menawarkan pekerjaan kepada wanita alter yang tengah bersamanya kali ini.

“Tuh, kan, punya kantor sendiri. Kata lo di chat, kerjanya serabutan. Gue enggak percaya, sih, dari kapan tau juga.”

“Bukan kantor saya, kantor papi saya,” lanjut Jeremy nyengir dengan nadanya yang lembut.

Anyway, worried about tattoo and piercings? Kamu bisa pakai seragam kantor yang lengan panjang, gimana? Nanti saya sediain, saya beliin juga boleh.” Jeremy menatap wanita di sebelahnya tajam tanda serius.

Lea menghadap ke pemandangan di depannya, sebelum menunduk sedikit sambil mengaduk minumannya. Ia tersenyum simpul dan menggeleng pelan. “Hehe. Gue enjoy, kok, jadi barista nggak papa, santai. Makasih wejangannya. Anyway, lo dewasa juga.” Lea menunjukkan senyum manisnya. Hati Jeremy berdesir seketika.

“Tapi, sayang, tau, Lea. Kantor saya pun bisa nerima kamu dengan posisi yang nggak sembarangan kalau mau liat track record kamu dan semua prestasi kamu.” Jeremy belum kapok menawarkan kepada Lea.

Wanita itu tertawa kecil. “Nanti karyawan kantor lo pada heran. Nih, si Bos dapet cewek nggak bener dari mana?” sahutnya dengan nada bercanda.

“Nggaklah. Masa ngatain kamu cewek nggak bener,” sanggah Jeremy sebelum menyesap minumannya.

Lea menghela napas sebelum berkata, “Yah, belum tau, ya? Udah sering tau gue dikata-katain. Makanan sehari-hari,” jawab Lea. Lalu ia merogoh ponselnya, menyodorkan kepada Jeremy beberapa cuitan jahat dan keras yang orang-orang lontarkan kepada Lea. Bola mata Jeremy bergerak seiring membaca baris demi baris komentar jahat yang membanjiri unggahan Lea.

Ini, mah, udah ditidurin berapa orang. Pasti cewek nggak bener. Tatoan, piercings nggak punya masa depan. Ini udah dipake berapa orang ya. Fix, j a l a n g.

Jeremy geleng-geleng kepala setelah membaca beberapa komentar warganet terhadap Lea. Jeremy mengembalikan ponsel itu kepada wanita sang pemilik yang ada di sebelahnya. “Kenapa, ya, orang mudah banget buat menghakimi atas apa yang kelihatan? Toh, mereka sendiri juga belum sempurna, kok, bahkan jauh dari kata sempurna. Ketikan mereka aja mencerminkan mereka yang nggak punya masa depan kalau kayak gitu.”

Setelah mendengar ucapan Jeremy itu, Lea menoleh memandangi Jeremy yang tengah mendongak kepala memandang hamparan langit senja.

“Ah, biarin aja. Gue nggak mau jadiin itu semua beban pikiran. Hidup udah susah, jangan dibikin susah lagi gara-gara ketikan jempol nggak bertanggung jawab,” pungkasnya.

Keduanya saling menatap. Jeremy membaca lebih jauh pikiran Lea lewat kerlingan matanya. Ia paham betul, sebenarnya ada sedikit tekanan di hati Lea tatkala menerima komentar-komentar jahat tersebut. Ada rasa pilu yang Jeremy rasakan.

“Yaaa, gue juga nyesel, sih, kenapa gue kemarin stres banget sampai milih tato sama piercings. Tapi, kan, bukan berarti gue nggak bener. Lagian gue nggak tau definisi bener dan nggak bener, tuh, apa gitu, loh patokan dan standar orang. Yang jadi standar kita belum tentu sama di mata orang, sampai kapan pun nggak akan bisa imbangin.”

Jeremy menengok ke arah Lea dan bertanya balik, “Kamu sendiri ngerasa yang kamu lakuin baik atau buruk?”

“Baik buat gue. Menurut gue, bukan menurut orang,” katanya singkat.

“Ya udah, saya yakin kamu juga bijak, kok, milih hal yang harus dan enggak perlu dilakukan di usia sekarang.” Kedua tangan Jeremy saling menggenggam lalu menoleh menatap Lea sambil tersenyum.

Lea sempat terpaku sesaat. “Anyway, kenapa belum punya pacar?” tanya Lea basa-basi.

“Belumlah. Lagian saya juga nggak tau kapan bisa buka hati.” Jeremy terkikik kecil.

“Kenapa?”

“Trauma sama kepergian. Dan belum ada yang bisa aja.”

“Belum ada yang bisa? Atau emang lo yang sengaja ngebuang kunci hati lo sendiri biar nggak ada yang masuk? Itu beda, loh, kalau berharap seseorang nemuin itu kunci juga susah. Lo juga bisa bergerak. Lo bisa nyari yang pas, jangan nunggu ada yang pas dateng. Sama-sama nunggu dicari. Lucu, ya, kadang.”

Jeremy bagai rumah yang dipagari rapat dan membuang kuncinya, belum ada yang bisa menemukan dan belum ada yang bisa masuk dengan seizinnya. Pernyataan yang diajukan Lea langsung menikam hati Jeremy, “Haha. Kok, bener, sih?”

“Nggak tau, nebak aja, sih. Hehe.”

Setelah lama berbincang, mereka berdua memutuskan untuk beranjak dari sana, kini Jeremy dan Lea pun kembali ke mobil Jeremy.

Nice to know you, Elleanor.” Jeremy mengacungkan jempol kepada wanita di sebelahnya. “Mau langsung pulang kan ini?” Jeremy bertanya lagi sembari menyalakan mobil.

Lea hanya mengangguk dan memasang seat belt yang membuat dirinya sedikit kesusahan. “Lea semangat, ya. Jaga kesehatan, saya yakin kamu orang baik,” kata Jeremy sambil membantu memasangkan seat belt Lea.

Keduanya saling tersenyum dan menatap satu sama lain. Kemudian Jeremy melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang untuk mengantar Lea pulang. Tak henti Jeremy dan Lea mengobrol satu sama lain untuk mengiringi perjalanan mereka. Jeremy tak henti berdecak kagum karena argumen dan pernyataan yang Lea lontarkan perihal kehidupan terlebih di usia krusial mereka sekarang walaupun usia mereka terpaut tiga tahun jaraknya. Namun, frekuensi mereka sama dan nyaman untuk berceloteh satu sama lain.

“Lea, jangan kapok saya take slot-nya, ya. Kayaknya besok-besok saya bakalan butuh kamu buat nemenin lagi, deh,” kata Jeremy sembari menghentikan mobilnya kala lampu lalu lintas berwarna merah menyala. Lea mengangguk. “Just hit me up through chat, dan makasih udah memperlakukan gue dengan amat sangat baik, Jeremy.” balas Lea dengan tersenyum, Jeremy sadar ia membalas senyuman itu, Jeremy juga sadar jantungnya berdegup hebat saat itu juga. Tangan Jeremy pun terulur sambil mengacak rambut Lea pelan, lalu turun mengusap pipi Lea pelan, saat itu juga Lea menyadari detak jantungnya tidak seperti biasanya dan pipinya menghangat.