JEVIN AND LAUREN

Di ruangan rawat Mevin, denting jam menemani Mevin yang baru saja usai menelpon kekasihnya, Grace. Saat itu tangan Mevin gemetar menutup telepon, ia berbohong akan keadaannya. Tangannya dingin, detak jantungnya tak beraturan, ia terpaksa berbohong pada Grace mengatakan bahwa ia harus menjalani terapi, padahal belum saatnya untuk terapi, Mevin menyerakkan selimut yang menutupi tubuhnya, ia mengangkat kakinya satu per satu dengan tangannya. Napasnya memburu, ia hendak meraih sebuah gelas yang ada di nakas sebelah tempat tidurnya, tangannya terulur, bisa menyentuh gelas itu tapi tidak bisa menggenggamnya, tubuh Mevin terjatuh ke lantai begitu juga gelas berisi air itu. Pecahan kacanya berserakan bahkan ada yang mengenai kulit Mevin di bagian kaki, menggores kulit Mevin menimbulkan luka yang mengeluarkan darah. Mevin mengerjapkan matanya berkali-kali karena harus menahan air mata. Jantungnya berdegup kencang, seakan cemas dan ketakutan serta sedikit mual bak diserang kepanikan berlebih saat Grace menelfon.

“Mevin!” teriak Jovian panik yang saat itu baru saja memasuki ruangan rawat Mevin. Bagaimana tidak panik? Jovian melihat anaknya sudah tersungkur di lantai dengan wajah pucat dan bercak darah di sekitarnya.

“Mevin, kamu kenapa?!” tanya Jovian khawatir, tapi Mevin tidak bisa menjawab, Mevin hanya seperti orang linglung. Jovian pun mengangkat tubuh anaknya itu dan ia baringkan lagi di tempat tidur lalu Jovian hendak memanggil dokter untuk menangani Mevin, tapi Mevin memekik “Papa!” hal itu membuat Jovian menghentikan langkahnya. Jovian berbalik dan menghampiri Mevin.

“Kenapa? Kamu butuh apa? Mau apa, nak?” Mevin menggeleng, napasnya masih tersengal, dadanya masih naik turun. Maka Jovian berikan belaian di punggung Mevin agar anaknya tenang dan memberikan minum juga untuk Mevin, anaknya itu meneguknya dan Jovian kini duduk di sebelah Mevin, mengusap darah akibat goresan pecahan kaca tadi di kaki Mevin.

“Grace nelfon Mevin, hancur denger suaranya.” Suara Mevin terdengar berat. “Mevin mau bisa jalan, bisa jemput Grace ke Singapore dan bawa dia pulang,” lanjutnya.

“Nanti, ya. Ada saatnya kalau sudah ditakdirkan dan digariskan pasti ada jalannya. Asalkan kalian sama-sama tulus, akan ada jalannya, jangan kaya Papa ke Mama Petra dulu. Papa mau kamu bahagia, Vin. It’s okay kamu stay disini seterusnya, sama Mama Lea dan Papa Jeremy. Tapi, batin kamu juga harus bahagia, kamu juga perlu pikirin diri kamu sendiri juga. Kuncinya di hati kamu, berdamai sama keadaan, berdamai sama diri sendiri.” Jovian membelai puncak kepala Mevin kala itu.

“Grace sakit, dia diperkosa, dijual sama Papanya, dia nggak bisa nerima dirinya, dia depresi, dia self harm. Grace sempat overdosis di depan mata Mevin, Grace sekarat di depan mata Mevin, di pelukan Mevin, Grace takut untuk ketemu orang, Mamanya datang hanya untuk nampar dia dan bilang kalau dia aib keluarga. Jevin sempat kritis juga karena Jevin yang pertama tolongin Grace, Mevin kaya gini, dunia kenapa nggak adil sama Mevin sama Grace?” tatapan nanar Mevin berhasil membuat hati Jovian pedih. Ternyata hal pelik yang dialami Grace dan Mevin sama peliknya, tidak, bahkan lebih pelik daripada yang ia alami saat bersama Petra. Tidak ada kata yang terucap dari Jovian, ia terlalu kaget dengan kenyataan yang Mevin katakan, ia hanya meraih pundak anaknya dan peluk anaknya itu. Untuk kali pertama, Mevin menangis keras di pelukan Jovian, Papa kandungnya. Hati Jovian rapuh dan tersayat.

“Nangis aja, Mevin. Nangis, nak. Maaf Papa nggak pernah tahu hal seperti ini dari Mevin, luapin semuanya ke Papa. Jangan bikin Papa menyesal seperti waktu sama Mama Petra, Nak...” Jovian merasakan pundaknya basah oleh air mata Mevin saat ini, ia peluk anaknya itu yang menangis semakin keras. Baru kali ini Jovian melihat Mevin sehancur ini.

“Nggak kuat, Pa―” tangis Mevin. Ternyata di balik ambang pintu berdiri Jevin dan Lauren yang tadinya hendak melihat keadaan Mevin tapi keduanya melihat keadaan itu. Jevin kembali tutup pintu ruangan rawat Mevin itu. Hendak beranjak dari sana, Lauren langsung menarik tangan Jevin.

“Lepas!” pekik Jevin sambil menghempaskan tangan Lauren, Jevin berjalan cepat menuju parkiran mobil dan masuk ke mobilnya, hari ini memang Lauren dan Jevin sengaja untuk datang kesana berniat membuat quality time yang sudah lama mereka tidak rasakan bertiga. Tidak bisa dipungkiri hati keduanya juga hancur melihat Mevin menangis rapuh seperti tadi.

Saat sudah berada di dalam mobil, Jevin menghantamkan kepalanya ke setir mobil dan mengepalkan tangannya menghantam setir mobil itu lagi. Lauren kaget bukan main.

“Jevin!” pekik Lauren sambil menahan tubuh Jevin.

“Jangan kaya gitu!” kata Lauren lagi. Jevin menatap Lauren dengan mata berkaca-kaca.

“Ci, lo nggak sakit lihatnya? Gue sakit banget, Ci! Selama ini gue iri sama Mevin, iri karena semua orang fokus ke dia, gue iri sama dia yang pinter bisa jadi dokter, gue pernah ngatain dia anak pungut. Gila ya, sejahat itu gue sama anak sebaik dia. Dia nggak pernah benci gue! Argh!” Jevin geram dan marah akan dirinya sendiri, kini ia tertunduk, mengacak rambutnya kasar, sementara Lauren menggigit bibirnya dan menelan ludah karena tenggorokannya seakan tercekat saat itu juga. Lauren baru kali ini melihat Jevin seperti ini. Lauren juga sakit melihat keadaan yang tidak baik-baik saja ini. Saat Lauren menempelkan telapak tangannya di punggung Jevin dan menggerakkannya pelan untuk menenangkan Jevin, yang terjadi adalah Jevin yang menangis tersedu. Lauren tidak tega, ia tarik tangan adiknya itu, Jevin luruh di pelukan Lauren, Jevin menangis di sana―Lauren juga.

“Udah, kesalahan di masa lalu udah terjadi, lupain.” Lauren berbisik pelan. Jevin pun memeluk kakaknya itu erat menumpahkan tangis di sana.

“Di depan Papa Mama jangan nangis, di depan Mevin juga, nangis ke gue, dek. Ya?” kata Lauren lembut.

“Gue udah jadi saudara yang kurang baik ya buat Mevin, Ci?” Tangis Jevin.

“Enggak, Jevin saudara kembar Mevin yang baik, nggak egois dan tulus sama Mevin.” Balasan kalimat dari Lauren nyatanya membawa Jevin semakin porak poranda.

“Kenapa harus Mevin, sih? Kenapa harus dia dengan semua cobaan berat ini? Anak Papa sama Mama yang brengsek itu gue bukan Mevin!”

“Sstt… nggak boleh bilang gitu, dek. Jangan gitu …” suara Lauren semakin melemah, ia semakin merasakan Jevin memeluknya erat. Sejak dahulu memang Lauren seringkali menahan semuanya sendiri. Menjadi anak pertama yang dari lahir sudah mendapat banyak kesulitan memang sangat membuat Lauren terbentuk menjadi pribadi yang dewasa. Jauh di dalam lubuk hati keduanya, walaupun sudah ada di usia yang dewasa seperti sekarang, mereka tetap ingin keluarganya utuh, anggota keluarganya utuh dan Mevin tetap disini.