JEVIN LETTA

Letta yang sedari tadi merasakan nyeri di perutnya hanya bisa meringkuk di tempat tidur. Yoel dan Michelle sudah tertidur, sementara Eugene belum juga pulang dan Jevin berkata sudah dalam perjalanan pulang. Hari-hari awal period yang dirasakan Letta memang biasa seperti ini. Letta pun juga sudah memakai menstrual pads untuk mengurangi rasa nyerinya.

Tak lama kemudian ia mendengar pintu kamarnya terbuka, Jevin sudah berdiri di ambang pintu itu, “sayang, belum tidur?” kata Jevin sambil berjalan masuk ke kamar lalu melonggarkan dasi yang ia kenakan dan membuka dua kancing kemejanya.

Letta pun mencoba untuk duduk dan Jevin sigap menaruh bantal di punggung Letta untuk Letta bersandar, si suami sigap, Elleandru Jevino Adrian. Jevin ikut bersandar di headboard ranjang sambil merangkul Letta. Dengan nyaman, Letta menyandarkan kepalanya di dada bidang Jevin sambil memeluknya.

“Masih sakit perutnya?” tanya Jevin sambil membelai-belai rambut Letta, istrinya itu mengangguk.

“Terus aku tuh kayak cemas, dari tadi Eugene nggak bisa di telepon. Kayak kepikiran aja, perasaanku nggak enak. Bawaannya melow gitu, ngerti nggak sih?” kata Letta sambil menyamankan tubuhnya di rengkuhan Jevin.

“Biasa, perasaan melow mommy Letta kalau lagi period, nggak apa-apa. Palingan sebentar lagi Eugene pulang, shift malam kan dia?” balas Jevin, Letta mengangguk. “Mana yang sakit?” tanya Jevin. Letta menepuk perutnya, setelahnya, Jevin menempelkan telapak tangannya di perut Letta dan menepuk mengusapnya perlahan, lembut tanpa menyakiti wanitanya, Jevin juga membubuhi beberapa kecupan di puncak kepala istrinya itu.

“Kasihan mommy, minum obat pereda nyeri nggak?” tanya Jevin lagi.

Letta menggeleng, “enggak, itu bikin ngantuk, udah pakai menstrual pads yang hangat itu,” lanjutnya.

Beberapa menit Jevin dan Letta dalam posisi itu, Jvein adalah suami yang sabar dan lemah lembut meskipun kadang kalau sedang marah juga membuat siapapun yang melihatnya bergidik merinding. Jevin memeluk Letta dan mencium Letta beberapa kali, membuat Letta merasa nyaman.

“Mau kayak gini sampai tidur,” rengek Letta bak anak kecil.

“Bayi,” ledek Jevin.

“Biarin kan sama suami sendiri ini.”

Jevin mencubit pipi Letta pelan, “kesayangan aku.”

Letta mengusap perut Jevin dari luar kemeja suaminya itu, “roti sobek, hehe,” kata Letta yang membuat Jevin terkekeh.

“Mau?” tanya Jevin menggoda.

“Jangan memberi umpan kalau tidak mau terpancing,” balas Letta sambil mendongak dan mencubit hidung mancung Jevin.

“Kan aku yang nawarin.”

“Yaudah, emang boleh?”

“Haha, boleh, tapi aku ganti baju dulu sama cuci muka, ya?”

Letta mengangguk, pelukan dilepaskan, Jevin hendak beranjak tapi Letta menarik tangan suaminya itu membuat Jevin menoleh lagi, “kenapa sayangku?” tanya Jevin.

Letta mencium punggung tangan Jevin itu lalu mengusapnya dan menatap manik mata Jevin, “makasih, sayang.” Jevin tersenyum dan mengangguk, “I love you” kata Jevin tanpa suara. Letta pun melepaskan genggamannya, membiarkan Jevin beranjak, baru saja Jevin hendak melepas kemejanya, ponsel Jevin berdering.

“Halo… iya… saya Papanya Eugene…” “Hah??” “Baik, saya kesana sekarang juga.” Obrolan di telepon terdengar serius, jantung Letta berdegup cepat terlebih saat nama anak sulungnya disebut.

Jevin kembali merapikan bajunya. “Jev, Eugene kenapa?!” tanya Letta panik.

“Pakai jaket kamu.” Jevin berkata tanpa menatap Letta, ia masih fokus ke ponselnya.

“Eugene kenapa?” tanya Letta sambil beranjak dari tempat tidur dan mengambil jaketnya.

“Kita susul Eugene sekarang.”

“Iya. Tapi, anak aku kenapa?”

Jevin tidak menjawab, Jevin keluar kamar diikuti Letta. Jevin menuju kamar Yoel dan Michelle. Jevin berlutut di sebelah ranjang Yoel dan membangunkan anak tengahnya itu perlahan.

“Pa, kenapa?” tanya Yoel sambil merentangkan tangannya lalu mengucek matanya.

“Di rumah dulu sama Michelle, pintunya kamu kunci dari dalem aja, terus kuncinya dicabut. Papa sama Mama bawa kunci, oke?” kata Jevin sambil mengusap kepala Yoel.

“Papa mau kemana?” tanya Yoel bingung.

“Nyusul Ko Eugene, sebentar.”

“Koko dimana?”

Jevin tidak menjawab, ia hanya mencium puncak kepala anaknya dan keluar dari kamar Yoel, menarik pergelangan tangan Letta. Berulang kali Letta bertanya tapi Jevin tidak menggubrisnya.

Sampai akhirnya setelah sampai di mobil, usai memasang seat belt, Jevin menatap Letta, “kita susul Eugene ke kantor polisi.”

Aliran darah Letta seakan berhenti seketika, tenggorokannya tercekat, “Eugene kenapa?!” tapi Jevin hanya memeluk istrinya itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

“Jevin jawab aku!” Letta memberontak tapi Jevin malah mengeratkan pelukannya.

END

Nah ini lanjutannya di novel si eugene kenapanya hehe <3 Kenalan dulu sama keluarga Jevin jangan lupa<3