JEVIN, MEVIN DAN YOEL

Mevin tiba di kediaman Jevin, melihat disana Jevin sedang duduk di sofa bersama Yoel, anak tengah Jevin. Mevin pun mengetuk pintu dan membuat Yoel serta Jevin menoleh.

“Eh, udah dateng lo,” kata Jevin.

Mevin pun mendudukkan dirinya di space kosong di sebelah Yoel sehingga kini Yoel ada di tengah Mevin dan Jevin.

“Lagi diomelin Papajev?” tanya Mevin sambil merangkul keponakannya itu.

Yoel menggeleng, “bukan diomelin tapi lagi lihat ini, hehe,” katanya sambil menunjukkan sebuah album foto yang memperlihatkan banyak foto Jevin dan Mevin di sana. Ada foto saat Mevin dan Jevin masih bayi, balita, sudah sekolah, dari SD sampai SMA.

“Kenapa? Nggak mirip ya padahal kembar?” tanya Mevin yang membuat Yoel menggaruk kepalanya kikuk, sementara itu Jevin hanya terbahak. Mata Yoel masih basah karena baru saja tadi ia melihat video pernikahan Lauren, kakak Mevin dan Jevin, tante dari Yoel dimana di video tersebut nampak Jevin memberikan speech disusul Mevin untuk sang kakak. Yoel kagum bagaimana kelembutan hati mereka dan suasana haru saat pesta pernikahan itu berlangsung.

“Lah, anaknya diem bapaknya ketawa ngakak, gimana dan?” Mevin bingung.

Jevin merangkul Yoel juga dari sisinya, Jevin sedikit membungkukkan tubuhnya agar bisa melihat Mevin, “kemarin si Yoel dari rumah Papa sama Mama, terus diceritain tentang kita. I mean… you kenapa kita kembar tapi nggak mirip, yoel knows the fact right now, Mev. Terus tadi lihat video kita di nikahan Ci Lau.” Jevin berkata sambil mengacak rambut Yoel pelan.

“Oh ya? Dikasih tahu siapa, Yo?” Mevin sedikit terkejut.

Yoel hanya tersenyum tipis dan mengangguk, “Diceritain Opa sama Oma kemarin, Om Mevin, Yoel nggak nyangka se pelik itu perjalanan keluarga ini. Yoel kadang malu masih suka berantem besar sama Ko Eugene. Yoel malu jadinya kalau nggak akur sama Ko Eugene, Om sama Papa aja dari kecil akur walaupun….” Kalimat Yoel tertahan.

“Walaupun bukan saudara kandung?” tanya Mevin lembut. Yoel mengangguk lesu.

“Kayaknya kita harus akur sama semua orang deh, Nak. Tapi Om sama Papa juga ada berantemnya kok dulu, parah, bikin Opa sama Oma nangis sama ngelus dada haha.” Mevin terkekeh membuat Jevin menyandarkan tubuhnya di sofa dan tangannya terulur menepuk pundak Mevin keras.

“Pasti Papa kan yang nakal?” kata Yoel yang disambut tawa dari Mevin dan dengusan geli dari Jevin.

“Bapaknya terus yang diroasting, Yo.” Jevin mencibir.

“Nggak selalu Papa kamu, kadang Om juga. Ya makanya Om paham banget sama kamu sama Eugene kalau ribut, ya nggak beda jauh sama Om sama Papamu.” Mevin menambahkan.

“Tapi kata Opa sama Papa masak Yoel bukan anak Mama Letta sama Papa Jevin,” ujar Yoel cemberut.

Mevin dan Jevin terkekeh bersamaan, tidak bisa menahan tawa, sementara Mevin langsung menjitak kepala Jevin dan Jevin hanya meringis.

“Jangan didengerin, ya jelas anak Papa Jevin sama Mama Letta, terus anak siapa astaga Yoel,” ujar Mevin sambil mengacak rambut keponakannya itu.

“Waktu kamu lahir aja Papa kamu nangis mulu, gimana ceritanya bukan anak Papa Jevin. Itu hidung kamu aja cetakan Papamu banget, wajah kamu tajem banget kayak Papa Jevin gitu. Kelakuan beda tipis kok ya masih bisa mikir bukan anak Papa Jevin, ampun,” kata Mevin setelahnya.

Yoel memajukan bibir bawahnya meledek Jevin sementara Jevin menjulurkan lidah meledek balik anaknya itu. Mevin hanya tertawa saja melihat tingkah Ayah dan anak ini.

“Tapi emang bener, Om. Papa nangis waktu Yoel habis lahir?” bisik Yoel kepada Mevin. Dengan pasti Mevin mengangguk tanpa ragu.

“Jev, Yoel tahu nggak kalau waktu dia⎯” Belum selesai kalimat Mevin dirapalkan sepertinya Jevin sudah bisa membaca isi pikiran Mevin dan Jevin memotongnya, “tahu dia, waktu dia lahir gue nggak bisa lihat, dia udah tahu,” kata Jevin sambil nyengir. Di saat seperti ini Jevin tetaplah Jevin, cengengesan meskipun ada sedikit rasa sendu.

“Iya Om, Yoel tahu kok itu hehe, beberapa bulan bahkan Papa nggak bisa lihat Yoel setelah lahir.” Yoel berkata dengan nada lesu.

“Papa kamu kalau Om main ke rumah, selalu nanya ‘Mev, Yoel senyum nggak?’, ‘Mev, Yoel nangis nggak?’, ‘Mev, coba dong gue mau pangku anak gue’, dan lainnya. Om juga yakin dia juga kayak gitu ke Mama kamu. Tapi buktinya Tuhan baik sama keluarga kalian, ada keajaiban, Papa kamu sembuh dan akhirnya bisa lihat langsung kamu senyum, nangis, bisa gendong kamu, Papa Jevin itu sayang banget sama kamu, Yoel.” Mevin menuturkan ceritanya dimana memang benar adanya. Jevin kini mulai terdiam, teringat masa lalunya dimana ia mengalami satu keadaan yang membuatnya merasa sedang bermimpi buruk.

“Papa kamu aja kalau kamu sakit khawatirnya nggak main-main, Yo.” Mevin berkata lagi yang membuat Yoel menoleh ke arah Papanya, Jevin tersenyum dan mengangguk.

“Yoel belajar banyak dari Om Mevin sama Papa. How to love and care with each other. Yoel sama Koko aja kadang ribut yang sampai ribut banget marah-marah kayak waktu itu yang Om Mevin pergokin. Terus juga diem-dieman di rumah, banyak deh tingkah kalau lagi ribut. Tapi sekarang Yoel mikir lagi, kalau lagi emosi sama Koko atau udah tercium bau-bau mau gelut sama Koko kayaknya mau diem aja biar nggak berkepanjangan. Lihat Om sama Papa akur-akur aja ya malu lah, hehe,” kata Yoel, anak lelaki berusia enam belas tahun itu kini tersenyum menatap Mevin dan Jevin bergantian. Sebuah tepukan di pundak Yoel dari Mevin diberikannya, tanda Mevin bangga kepada keponakannya itu.

“Cerita panjang yang Om Mevin sama Papa lewati juga ngajarin Yoel banyak hal. Sedikit banyak Yoel mulai ngerti cerita di masa lalu keluarga ini. Dan, Yoel… speechless, kenapa Papa sama Om Mevin kuat banget? Om Mevin pernah kecelakaan dan bikin Om Mevin lumpuh, Papa pernah juga nggak bisa melihat, Tante Grace harus berobat ke Singapore, Mama divonis nggak punya anak. But God still bless this family, God bless each one of you. God protect and show His way and His miracle.” Yoel menggelengkan kepalanya pelan, matanya berkaca-kaca.

Jevin menarik satu sudut bibirnya, bangga dengan penuturan anaknya yang terkenal banyak tingkah dan Gebrakan ini. “God will always bless us, Yoel. Everytime, everyday, God protect and bless us.” Jevin menambahkan sambil mengusap punggung anaknya itu.

“Yoel jadi malu, sukanya bikin ulah, bikin masalah, bikin gebrakan. Sekarang Yoel mau anteng aja, kehidupan Papa sama Om udah pelik dari dulu, jangan sampai di masa sekarang kalian juga mumet karena Yoel.” anak lelaki itu berkata sambil sedikit menggembungkan pipinya.

Mevin merangkul Yoel lalu berkata, “Be yourself, Christiano Yoel Geneva Adrian. Yang terjadi dulu ya udah, itu semua udah lewat, yang terjadi sekarang yang harus dihadapi. Gebrakan kamu juga bukan yang tingkah anak nakal, masih wajar lah, bukan yang ngelakuin hal yang merugikan orang lain. Jangan lupa selalu bersyukur dengan apa yang kamu punya. Doakan Mama sama Papa juga, oke?”

Yoel mengangguk, “Yoel berdoa kok Om, kadang Yoel sebut satu-satu anggota keluarga kita. Keluarga besar, nggak Cuma Papa, Mama, Icel sama Koko hehe…”

“Pinternya anak Papa! Tapi biar disuntik Om Mevin kalau berulah nakal!” Jevin berkata sambil mencubit pipi anaknya itu.

“Papaaa!” gerutu Yoel.

“Lo juga, ah,” kata Mevin menepuk lengan Jevin.

“Om, Papa, makasih ya pelajaran hidupnya, Yoel beneran kagum sama kalian. Pokoknya di mata Yoel, Om sama Papa tetap saudara kembar, apapun yang terjadi kembar. Anaknya Opa Jeremy yang kembar, Om Mevin sama Papa Jevin.” Yoel berkata sambil membubuhinya dengan senyum tipis. Ada senyum yang tersirat dengan rasa bangga dari Jevin maupun Mevin. Jika ditilik ke belakang memang cerita hidup semua anggota keluarga Adrian tidak ada yang mudah, tapi semua itu selalu mengajarkan suatu hal baru. Begitu juga dengan kita, pasti ada pelajaran yang terselip di setiap perjalanan yang kita lalui. Semua tergantung kita menyikapinya.