JEVIN SADAR

Dalam palung rasa sakit yang Letta derita sekarang, ia kesampingkan vonis dokter terhadapnya. Yang ia tahu dan yang ia inginkan hanya kesembuhan Jevin dan Grace saja untuk saat ini. Ia sudah benar-benar ikhlas atas penerimaannya terhadap semua hal kurang baik yang terjadi kepadanya. Tapi harapannya tak pernah padam. Tapi harus menunggu berapa lama? Harus berapa lama lagi? Kalau memang vonis dokter untuk Letta tidak bisa memiliki keturunan, biarlah terjadi demikian, tapi Jevin harus sembuh. Jevin harus membuka matanya lagi. Itu harapan Letta untuk sekarang.

Hari ini, Letta masih bermonolog seorang diri di sebelah Jevin yang masih terpejam. Ia genggam tangan suaminya itu. Letta mulai cerita sepihaknya ditemani bunyi denting jam dan juga bunyi alat-alat yang ada di sana. “Jevin, kamu inget nggak waktu kita pacaran dulu kita suka makan di lamongan lesehan? Inget nggak kamu yang nggak romantis ini nembak aku kayak ngajak beli cilor. Oh iya kamu inget waktu kita setiap ulang tahun Eve ke makam Eve? Iya, Eve yang sekarang lagi lihat kita dari surga, Eve pasti udah bahagia ya sekarang. Dia sahabat terbaik aku, dan seseorang yang nggak akan pernah kamu lupain kan? Sayang, Mama Lea sama Papa Jeremy rajin banget kesini temenin aku, gantian jaga, Mevin juga nanyain keadaan aku padahal dia sendiri lagi nggak baik-baik aja, kok bisa ya dia setegar itu...” Kalimat Letta memelan, ia seka air matanya sejenak.

Letta mencium punggung tangan yang sedang ia genggam itu, ia tempelkan punggung tangan Jevin di pipinya, “Sayang, aku tunda operasi besarnya. Aku mau kamu bener-bener sembuh nggak ada sakit sama sekali, baru aku operasi. Berapa lama waktu yang dibutuhin kamu buat sembuh aku tunggu sayang, aku tunggu. Ci Lauren sama Ko Willy juga sering nemenin aku disini. Jevin sayang ... jangan pergi ... ya. Aku masih butuh kamu, aku butuh kamu, semua nunggu kamu bangun, yang kuat sayang.” Banyak hal yang Letta pendam tapi kini ia ceritakan pada raga Jevin yang masih terpejam itu.

Letta pun memejamkan matanya, ia menempelkan dahinya di punggung tangan Jevin yang ia pegang, ia menunduk, memanjatkan doa kepada Tuhan untuk sejenak, “Tuhan ... aku percaya Tuhan adalah dokter di atas segala dokter, apapun yang terjadi pasti itu yang terbaik untuk semuanya. I pray for my husband and also Grace, I surrender all to You. Give me strength to through this storm ... please God ... please.”

Letta juga tak lalai sebut nama Grace dalam doanya, karena Letta bisa melihat bagaimana Grace dan Mevin saling mencintai, juga perjalanan mereka yang tidak mudah. Tak ada rasa benci terhadap siapapun karena Letta tahu untuk setiap hal sudah digariskan dan direncanakan termasuk insiden ini. Usai berdoa dalam pejamnya, ia mengecup pipi Jevin. Namun, saat hendak kembali duduk, Letta melihat mata Jevin mengerjap dan Letta pun sempat kaget tapi ia meyakinkan dirinya. Suara lirih Letta memanggil lirih nama Jevin.

“Jevin? Sayang.. Jev?” Jantung Letta berdegup saat bola mata Jevin mengarah kepadanya.

“Sayang ... Letta ...” mendengar kalimat itu, Letta tak bisa bendung air matanya dan rasa haru yang menyeruak. Maka dahi Jevin jadi tempat bersemayam bibir Letta sejenak, lalu Letta menjauhkan sedikit wajahnya. Letta menekan bel untuk memanggil dokter, Letta masih hanyut dalam rasa haru, ia tak henti meneteskan air mata dan mengusap pipi Jevin. Maka, saat itu terdengar beberapa tenaga medis datang dibarengi Lea dan Jeremy, Letta diminta untuk menunggu di luar.

“Letta, Jevin kenapa?” tanya Jeremy panik.

“Jevin kenapa lagi?” tanya Lea juga. Letta menggigit bibirnya, terisak sesaat lalu memandangi kedua mertuanya bergantian, “Jevin sadar, Pa, Ma ...” Lea langsung memeluk Letta, Jeremy menghela napas panjang, beban di dadanya seakan terangkat hilang pudar begitu saja. Rasa syukur mereka panjatkan kepada Tuhan kala itu.

“Terima kasih Tuhan, terima kasih,” kata Jeremy lirih sambil memandangi Letta dan Lea yang tengah menangis dan saling memeluk.