JUARA KEDUA
Selang waktu berlalu Petra berhenti bekerja di klinik dan fokus bekerja di Rumah Sakit baru tempatnya bekerja saat ini. Petra juga sudah menjadi istri sah Jovian. Mereka tinggal di satu rumah bersama, walaupun Jovian masih ngotot untuk tidur di kamar yang berbeda. Semua itu Petra jalani dengan biasa saja karena ia tidak ingin memaksakan kehendak. Bahkan pernikahan ini mungkin hanya akan bertahan satu tahun, setelah itu mereka akan mengurus perceraian.
Petra melirik jam tangannya sejenak sambil berdiri di ambang pintu Rumah Sakit tempatnya bekerja. Kota ini memang mengukir banyak kenangan, suara rayuan hiruk pikuk lalu lalang kendaraan dan kesibukan menghiasi setiap hari. Belaian gemerlap lampu kota menambah setiap orang terbuai untuk hanyut di dalamnya. Petra melangkahkan kakinya menuju mobil yang ia parkir. Pintu mobil dikatupkannya pelan sebelum ia menyalakan mobilnya.
Namun, seseorang mengetuk kaca mobilnya saat ia memasang seat beltnya. Petra pun menghentikan kegiatannya, ia membuka kaca mobilnya. Ia disambut seuntai senyum yang tidak asing untuknya.
“Jovian?” Petra memandang sepasang mata yang menatapnya sekarang itu, mata dengan iris cokelat gelap menatapnya balik dengan sumringah.
“Let’s have a dinner together,” kata Jovian, Petra masih termangu tidak percaya dengan apa yang ia dengar barusan.
“I’ll drive for us,” lanjut Jovian, Petra gelagapan mencoba menelaah kalimat Jovian barusan sambil menelan ludahnya.
Setelah satu jentikan jari diberikan Jovian, Petra sadar dari lamunannya. “Mobil kamu kemana?” tanya Petra pada akhirnya.
“Di rumah, aku naik taksi online kesini, biar bisa satu mobil sama kamu.” Setelah mendengar perkataan Jovian, Petra pun melepas seat beltnya dan pindah ke kursi penumpang. Jovian masuk dan mengambil alih kemudi mobil istrinya itu.
Saat ini Petra dan Jovian hanya saling diam di mobil, tidak banyak percakapan antara mereka. Petra sibuk melayangkan pandangannya ke luar jendela menatap hiruk pikuk kota yang masih ramai. Tidak biasanya Jovian mengajak Petra untuk makan malam, Petra menatap Jovian sejenak sebelum bertanya,
“Tumben, dalam rangka apa?” tanya Petra.
“Udah tiga bulan married,” jawabnya sambil menoleh dan tersenyum.
“Nggak biasanya, bukannya pernikahan ini hal yang kamu hindari?”
Jovian menghentikan mobilnya di lampu merah.
“I’ll try, nurutin Ayah juga.” Sungguh, Petra mengingat segala perasaan yang hanya sepihak, mengingat segala hal yang penuh sesak pedih yang ia balut tangis, terlebih ia paham dan tahu betul hati Jovian masih berpusat di Lea. Pandangan Petra menerawang dalam remang, paras Jovian masih bisa terlihat disana.
“Kamu habis nangis?” tanya Petra.
Jovian melongok menatap wanita di sampingnya, ia menggeleng lalu jemarinya ia ketuk-ketukkan di kemudi mobil dan membuang pandangan ke luar jendela. Sebenarnya, Jovian tidak bisa membohongi Petra.
“Kamu habis ketemu Lea?” pertanyaan Petra membuat Jovian mengangguk pada akhirnya.
Petra tersenyum, Jovian nampak kikuk.
“Nggak papa, selesaikan dulu masa lalu kamu, buat kamu juga mungkin Lea sajak yang nggak akan pernah usai, kan?” Petra membuang pandangan ke luar jendela.
“Aku udah putus juga sama Lea sebelum kita menikah, tadi aku ketemu cuma buat kembalikan semua barang dia yang masih ada di aku, di rumah kita.” perkataan Jovian dengan suara beratnya membuat Petra sedikit terbelalak.
“Kita pulang aja kalau suasana hati kamu nggak baik,” kata Petra sambil meraih jemari Jovian yang mulai bergerak di setir mobil lagi. Jovian memaksakan satu senyum lalu menggeleng.
“Nggak usah, kita dinner aja,” katanya lagi.
“Ya udah, asal jangan jelek moodnya.”
“Enggak kok. I’m good as long as with you. Tapi nanti malem boleh tidur sama peluk kamu nggak?” tanya Jovian yang membuat mata Petra terbelalak.
“I..iya...” kata Petra mengiyakan meski degup jantungnya sudah sangat cepat sekarang ini.
Ego yang saling berselisih dan berlomba untuk menang yang kian menjelma tembok pemisah antara keegoisan masing-masing kini menyeruak diantara keduanya. Petra memang mempertahankan perasaannya terhadap Jovian sedangkan Jovian hanya bagaikan sukarelawan yang tidak akan pernah menetap di hati dan perasaan Petra. Jutaan detik yang terlewati kala bersama menjadi saksi atas lika-liku perjalanan mereka. Tetapi jutaan detik tidak ada andil dalam mengubah jalan cerita Petra dan Jovian.
Mereka tidak sanggup berkisah tentang bagaimana goresan demi goresan didapati tatkala mencoba untuk menapak. Bagaimana cara tersenyum? Petra bahkan sudah lupa karena ia terlalu akrab dengan tangis dalam jalan cerita yang penuh ironis. Menghadapi kenyataan dimana Jovian sejatinya tidak akan pergi dari titik masa lalu bersama Lea.
Hari ini Petra menyadari bahwa bilamana menjalin hubungan dengan lelaki yang ia cintai belum tentu ia akan dicintai juga. Namun Petra juga tidak bisa membiarkan Jovian melenggang begitu saja tanpa meninggalkan jejak langkah sepanjang perjalanan mereka. Bagaimana mungkin Petra bisa bernapas saat menghela udara namun tak ada Jovian disampingnya? Ia merasa sesak saat Jovian tidak ada di sampingnya. Tapi mungkin bagi Jovian semua biasa saja.
Petra masih berharap Jovian dapat merubah haluannya. Berharap Jovian akan menghampiri saat melihat Petra menangis sendiri, nyatanya tidak. Petra dan Jovian awalnya adalah dua manusia yang tidak saling jatuh cinta, tak bisa untuk saling menyapa kala mereka bersama, karena setiap sapaan yang Petra berikan tak pernah terbalas oleh Jovian, sikapnya terlalu dingin terhadap Petra.
Petra tidak akan pernah menemui kata “Siap” jika nanti Jovian harus pergi dari hidupnya, akankah Jovian kembali kala melihat Petra menangis sendiri? Yang ada selama ini hanyalah Jovian yang berlari menghampiri Lea, bukan Petra. Tapi apakah akan ada yang berubah setelah berakhirnya hubungan Lea dan Jovian beberapa bulan ini? Bukankah butuh waktu untuk hengkang dari masa lalu?
Mungkin tak usah dipertanyakan lagi siapa yang paling tersakiti. Petra paham benar bahwa melupakan tak semudah saat kita jatuh cinta. Jovian masih ada di sana, belum beranjak. Bukan tidak bisa, tapi Jovian belum mau. Etahlah, mungkin masih menata pijakan dan langkah. Pada langit malam berwarna kelabu, dituliskan Petra segala hal yang membuatnya menyerah namun juga diiringi hal-hal yang membuatnya ingin bertahan dengan pernikahan atas dasar bukan cinta ini. Mungkin saat ini posisi Petra masih menjadi juara kedua dan Lea masih menempati tempat pertama, entah sampai kapan ia akan bertahan. Entah sampai kapan mereka akan temui ujung cerita.