Keputusan Mevin

Seorang wanita yang pernah mempertaruhkan nyawanya untuk melahirkan bayi kembar yang salah satunya harus pergi kini tengah menemani seorang anak lelki yang menggantikan posisi mendiang anaknya itu. Lea semalam suntuk menunggui Mevin dengan sabar dan membuahkan hasil.

Anaknya sadar pada pukul tujuh pagi, tepat dimana hari ini adalah hari kedatangan Jovian, Ayah kandung Mevin ke Indonesia. Entah kenyataan apa yang harus Lea dan Jeremy terima setelah ini, tidak tahu akan sehancur apa kalau Mevin mengiyakan ajakan Jovian untuk tinggal bersama di Australia, walaupun sebenarnya itu juga untuk melakukan pengobatan. Lea tidak siap ditinggal lagi oleh Mevin.

Tapi hal itu Lea tepis sejenak, semua demi kebaikan dan kesembuhan Mevin. Hal itu yang utama sekarang, bukan ego untuk siapa yang berhak mengurus dan merawat Mevin. Karena, pada dasarnya yang paling berhak adalah Jovian. Lea menangis haru saat mendapati Mevin membuka matanya, Jeremy yang saat itu sedang dalam perjalanan ke kantor memutar balik mobilnya dan langsung kembali menuju rumah sakit.

Lea genggam tangan anaknya itu serta belai kening Mevin yang masih terbalut perban akibat ada luka di kepalanya.

“Anak Mama, akhirnya Mevin bangun, ya, Nak ....” Lea berkata dengan suara paraunya, tangannya membelai pipi anaknya itu matanya berkaca-kaca, ia mendekatkan dirinya kepada Mevin dan mengecup pipi anaknya itu.

“Mama jangan nangis,” kata Mevin lirih nyaris tak terdengar. Lea mengerjapkan matanya berusaha menahan air mata yang hendak jatuh. Lea tidak ingin memperlihatkan sisi lemahnya. Tangan Mevin terulur bergerak perlahan menyeka air mata yang jatuh di pipi Lea.

“Ma, jangan nangis, Mevin sedih. Mevin masih disini.” Hal itu nyatanya malah membuat Lea menangis begitu saja disana. Hal itu membuat Lea menangis tersedu disana sambil memeluk Mevin. Lea tidak bisa membendung air matanya lagi.

“Mama takut, Nak. Mama takut, Mama belum siap kalau ada apa-apa sama Mevin. Mama sayang Mevin, Mama sayang Me... Vin ....” Bahkan untuk berkata-kata pun Lea terbata karena tangisnya.

“Kemarin Mevin kira juga itu akhir dari kehidupan Mevin. Ma, Mevin juga takut, tapi Mevin tahu, Tuhan baik. Belum saatnya Mevin pulang, kan?”

Mendengar hal itu, Lea mengangkat wajahnya, menatap setiap inchi wajah Mevin, membelainya, ia mengangguk, “iya, belum saatnya, belum, sayang,” katanya.

Ketangguhan mereka teruji tapi terbukti, ketabahan mereka dicobai tapi selalu temui jalan keluar lagi.

Suasana haru saat itu dibuyarkan oleh suara ketukan pintu, Lea menegakkan badannya dan berbalik badan melihat dua pria ada di sana. Jovian dan Jeremy―keduanya adalah sosok Papa bagi Mevin. Lea sempat kaget bahwa mendapati Jovian sudah ada di sana, tidak peduli mengapa mereka datang di saat yang bersamaan. Mevin pun kaget mendapati Papa kandungnya ada di sana. Lea berjalan mundur, seakan mempersilakan Jovian mendekat ke arah anaknya.

Sementara Jeremy berjalan mendekati Lea dan merangkulnya. Jeremy dan Lea menyaksikan momen haru saat itu dimana Jovian memeluk Mevin, keduanya tumpah ruah dalam tangis. Jovian maupun Mevin saling memberi pelukan erat.

“Maafin Papa baru dateng, maafin Papa.” Jovian berkata lirih.

“Mevin nggak bisa jalan, nggak bisa, Pa ....” Tangisan Mevin terdengar menggema. Lambat laun yang awalnya samar kini mulai pecah dan terdengar lagi, apa lagi kalau bukan tangisan Lea di pelukan Jeremy. Wanita itu menyaksikan pertemuan Jovian dan Mevin untuk yang kesekian kali tapi rasanya masih sama, terharu dan takut beradu menjadi satu.

Maka setelahnya, Jovian membantu Mevin untuk duduk di tempat tidur, mengangkat tubuh anaknya perlahan lalu Jovian duduk di sebelah anaknya itu. Jeremy dan Lea mendekat ke sana, berdiri di sebelah tempat tidur Mevin.

“Nak, ada yang mau Papa Jo omongin ke Mevin,” kata Lea saat itu yang membuat Jovian membulatkan matanya.

“Sekarang, Lea?” tanya Jovian, Lea mengangguk.

Mevin nampak bingung, sedangkan Jeremy hanya bisa merangkul dan memberikan usapan bak penenang di bahu Lea.

“Kedatangan Papa Jo kesini mungkin terlambat, tapi hancurnya Papa Jo, Papa Jeremy bahkan Mama Lea itu sama. Mama Auryn di Aussie juga sama, khawatir dan sedih. Makanya Papa datang kesini mau ajak Mevin ke Aussie, untuk berobat disana, pengobatan disana lebih memadai. Kalau Mevin mau, sampai Mevin sembuh, Nak. Tapi semua keputusan ada di kamu, Papa nggak maksain.” Ucapan Jovian membuat Mevin tertunduk lesu.

“Ikuti apa kata hati Mevin, nggak ada salahnya juga Mevin ikut Papa Jo, tim medis disana dan pengobatan disana lebih memadai juga, Nak. Semua buat kebaikan Mevin.” Jeremy berkata dengan suara beratnya. Mevin pun bergantian melihat satu per satu orang tuanya. Pada setiap binar mata Lea, Jeremy bahkan Jovian tersirat sebuah harap besar agar Mevin tinggal. Mevin tertunduk merasa hatinya nyeri dan pedih.

“Mevin senang Papa Jo ada disini, Mevin juga selalu bahagia kalau setiap hari bisa lihat senyum Papa Jeremy dan Mama Lea.” Kalimatnya terhenti karena saat ini Lea menatapnya nanar dengan mata yang basah, Lea memaksakan senyum kepada Mevin sekuat tenaganya.

“Papa Jo, Mevin sendiri belum bisa menerima keadaan Mevin sekarang, jujur aja. Mevin disini aja belum bisa berdamai sama diri sendiri. Obat untuk fisik Mevin memang ada banyak, dengan berbagai kualitas dan jaminan kesembuhan serta tim medis yang menangani. Tapi yang nggak kalah penting juga obat untuk diri Mevin sendiri, jiwa dan hati Mevin. Kalau ditanya, Mevin mau atau nggak tinggal sama Papa Jo, Papa kandung Mevin. Jawabannya, mau. Kalau ditanya apa Mevin nggak sayang Papa Jeremy sama Mama Lea, jawabannya, sayang. Apa Mevin nggak sayang Ci Lauren atau Jevin, jawabannya, sayang. Semuanya Mevin sayang tanpa alasan. Semuanya keluarga, susah untuk milih salah satu.” Kalimat Mevin terhenti sejenak, Jovian hanya menunduk sambil mengelus kaki anaknya itu.

“Sekarang semua keputusan di Mevin, Papa Jo nggak akan maksa. Semua keputusan ada di Mevin,” kata Jovian sambil tersenyum. Sejenak Mevin menatap Mamanya yang kini tengah membenamkan wajahnya di dada bidang Jeremy. Dan Jeremy juga menggiring tubuh Lea dalam dekapnya. Mevin tersenyum menatap Jovian, Papa kandungnya sambil tersenyum, Jovian membelai kepala Mevin pelan sambil tersenyum.

“Mevin mau disini, di Indonesia aja.”

  Bahasa cinta yang Lea dan Jeremy berikan mungkin tidak akan pernah sama seperti apa yang Jovian berikan, tapi semua itu sejatinya tidak pernah dipelajari semesta. Bahasa cinta dan ikatan antara orang tua dan anak mengalahkan segala hal yang terlampau pelik di dunia.

Ketangguhan Lea dan Jeremy banyak teruji selama berumah tangga dan mengurus ketiga anak mereka. Telinga yang mau mendengar segala keluh kesah anak-anak mereka Lea dan Jeremy selalu berikan. Begitu pula dengan Jovian, ia melakukan apapun dan memberikan Mevin apapun. Meski telambat, setidaknya Jovan menunjukkan tanggung jawabnya sebagai seorang ayah.

Sedikit sakit di hati Jovian mendengar keputusan Mevin. Jovian teringat kegagalannya sebagai sosok suami bagi mendiang Petra, Jovian teringat kegagalannya sebagai sosok Ayah bagi Mevin. Hidup Jovian di masa lalu dikukung oleh ketakutan dan keraguan yang ia buat dan bangun sendiri. Karena kesalahannya di masa lalu kepada Petra dan kepada Mevin mungkin tidak akan pernah menemui ujung maaf jika dijelaskan.

Jovian paham, Jovian mengerti dan Jovian akan selalu mengerti alasan mereka terikat satu sama lain. Memang pada ujungnya hati tidak pernah salah untuk menetap, dalam hal apapun itu, entah pasangan atau keluarga. Dikukung rasa cemas dan takut selama ini, akhirnya semua ketakutan Lea terjawab. Mevin memeluk Jovian, sebuah kelegaan bersemayam di hati Jeremy dan Lea. Maka saat itu Lea dan Jeremy memberikan waktu bagi Mevin dan Jovian lebih banyak untuk berdua.

You can stay here as long as you want, Jo. You can take care of Mevin,” kata Jeremy.

Thanks, ya.” Jovian tersenyum, maka Lea dan Jeremy bergantian memeluk Mevin sesaat sebelum memberikan waktu bagi Jovian dan Mevin untuk berdua.