LAST HUG

Fajar menyingsing, ini hari keberangkatan Grace ke Singapore. Mevin masih duduk di ruangannya, usai melakukan praktek dan visit pasien, ia masih berdiam diri menunggu keberanian dirinya menemui sang kekasih.

Bagaimana tidak takut? Setelah ini mereka akan terpisah jarak, belum tahu untuk berapa lama. Mevin memejamkan matanya, memijit keningnya dengan ibu jari dan telunjuknya, menghela napas panjang sebelum berkata dalam hati, “I’ll hug her.” Mevin menanggalkan jas putihnya, bangkit berdiri dan saat Mevin hendak keluar ruangan, betapa terkejutnya Mevin saat mendapati beberapa orang berdiri di depan pintu seakan bersamaan hendak mengetuk pintu saat Mevin keluar darir ruangannya.

“Koko Mevin!” seru Kenzie gadis kecil yang sudah menganggap Mevin seperti kakak laki-lakinya sendiri itu sambil mengangkat tangannya, di tangan kanannya menggenggam sebuah bouquet bunga.

Mevin tersenyum dan langsung menggendong Kenzie dan tersenyum. Disana ada Lea, dan juga Jeremy.

“Papa, Mama, kok bisa kesini?” tanya Mevin, sementara Kenzie sudah melingkarkan tangannya di leher Mevin.

“Iya, Grace berangkat hari ini, kan? Ada yang mau ketemu Cici Grace juga,” kata Lea sambil mencubit pelan pipi Kenzie yang membuat gadis kecil itu terkikik.

“Kita temuin Grace, ya, oke? Semangatin dia,” timpal Jeremy juga saat itu. Raut wajah penuh haru dari Mevin tidak bisa terhindarkan.

“Kenzie bawa bunga buat cici cantik, kata Tante Lea sekarang Kenzie boleh jenguk cici Grace,” ucap Kenzie dengan raut wajah girang.

Mevin mengangguk, “boleh banget,” ucapnya lalu mengecup pipi Kenzie maka gadis kecil itu menempelkan kepalanya dengan Mevin. Mereka pun berjalan menuju ruangan Grace dengan Kenzie yang masih di gendongan Mevin. Sesekali Mevin juga mengarahkan ujung hidungnya ke pipi Kenzie membuat gadis kecil itu terkikik gemas.

Memasuki ruangan Grace, Mevin menurunkan Kenzie, gadis kecil itu membuka pintu kamar rawat itu lalu berlari kecil masuk ke sana. Ada Grace disana sedang duduk di tepi tempat tidurnya, Grace terperanjak lalu bangkit berdiri.

“Om Jeremy, Tante Lea, Mevin...Ken―”

“Cici Grace!!” Kenzie langsung berlari dan menubrukkan dirinya kepada Grace, disambut pelukan hangat oleh Grace yang berlutut untuk mensejajarkan tubuhnya dan Kenzie.

“Makasih Kenzie udah dateng kesini,” kata Grace tersenyum, kedatangan anggota keluarga Mevin dan Kenzie bak penghibur bagi Grace saat ini.

“Ini, bunga buat cici cantik, semoga cici suka, hihi―” kata Kenzie dengan gemasnya. Grace pun menggendong Kenzie dan mendudukkan gadis kecil itu di tepi ranjang di sebelahnya, Grace mengambil bouquet bunga itu dan menunjukkan wajah bahagianya.

“Terima kasih ya, sayang.” Grace membelai rambut Kenzie. Jeremy dan Lea pun mendekat ke arah Grace, tak lupa Grace mencium tangan kedua orang tua kekasihnya itu.

“Tante, Om, terima kasih udah dateng, Grace jadi merasa punya keluarga, padahal Grace bukan siapa-siapa, sekali lagi terima kasih ya, Tante Lea dan Om Jeremy. Tuhan yang balas kebaikan keluarga Tante dan Om,” kata Grace diiringi mata yang berkaca-kaca.

“Keluarga tidak harus yang sedarah, kami keluarga kamu, anggap begitu, ya Grace, ya?” kata Jeremy sambil menepuk pundak Grace pelan.

“Grace, jalani pengobatannya, ya, semua ada jalannya. Kita semua dukung kamu,” lanjut Jeremy.

“Iya, Om, pasti.” Grace tersenyum. Lea pun berjalan mendekat dan memeluk Grace lagi.

“Jangan pernah ada kepahitan sama Mama atau Papa kamu, semua biar jadi urusan Tuhan, pembalasan itu bukan bagian kita, ya, nak?” bisik Lea yang membuat Grace mengeratkan pelukan sesaat dan mengangguk.

“Iya, tante. Doain Grace ya, Tante.”

“Pasti, nak.” Lea merenggangkan pelukan dan mencium pipi kanan dan kiri Grace, sungguh, ini adalah pelukan yang sudah lama Grace rindukan dari sosok ibu. Pelukan Lea hangat, tidak salah jika Grace hampir menangis di pelukan Lea.

“Koko Mevin kenapa disana terus?” celetuk Kenzie sambil memiringkan kepalanya berusaha melihat Mevin yang hanya berdiri mematung di ambang pintu. Jeremy dan Lea pun sedikit merenggangkan jarak, Mevin pun tersenyum kikuk lalu masuk ke sana, tiba di hadapan Grace, lidah Mevin kelu. Sungguh ia tidak tahu harus berkata apa.

“Cici Grace mau kemana? Nanti kalau Cici Grace udah pulang kita main bertiga sama Koko Mevin, ya!” kata Kenzie.

“Emang Kenzie mau main kemana sama Ko Mevin sama Cici Grace?” tanya Lea. Kenzie memanyunkan bibirnya sedikit seperti nampak sedang berpikir lalu mengacungkan jari telunjuknya, “Timezone!”

“Iya, boleh, tapi sabar nunggu cici Grace pulang, oke?” kata Grace sambil mengacungkan kelingkingnya kepada Kenzie, si kecil tersenyum dan mengangguk lalu mengaitkan jari kelingkingnya, Grace pun memeluk Kenzie sesaat.

“Yaudah, hati-hati, ya, hubungi Tante dan Om kapan saja, kalau butuh bantuan jangan segan,” kata Jeremy.

“Tuhan memberkati keluarga Om dan Tante berlipat-lipat.” Grace tersenyum haru. Maka Lea dan Jeremy yang menggendong Kenzie pun berpamitan dari sana.

“Ayo salam cicinya dulu, peluk cicinya, Kenzie pamit dulu,” perintah Lea kepada Kenzie yang langsung dituruti gadis kecil itu. Sekali lagi, Grace memeluk Kenzie, bahkan Kenzie mengecup pipi kanan dan kiri Grace sekarang.

Bye cici, Kenzie tunggu cici pulang ya!” kata Kenzie, Grace mengangguk lalu berlalu lah Jeremy yang menggendong Kenzie dan Lea yang berjalan sambil melingkarkan tangan di pinggang Jeremy, meninggalkan Mevin dan Grace disana.

“Aku mau jalanin apa disana aku pun nggak yakin, nggak yakin sama diriku sendiri, rasanya kaya berjalan sendiri, nggak tahu arah―” Pandangan Grace lurus ke depan tidak menatap Mevin yang kini duduk di sebelahnya.

Mevin tidak menjawab, ia hanya meraih tangan Grace lalu mengecup punggung tangannya, hal itu membawa Grace menatap pria yang ia sebut kekasih itu.

“Kamu belum capek sama perjalanan ke depannya?” tanya Grace, Mevin hanya menggeleng.

“Kalau kamu capek bilang, ya.”

“Aku yang harusnya nanya itu, udah capek sama keadaan? Perjalanan aku dan kamu masih panjang.” Grace melepaskan genggaman tangan Mevin.

“Udah sebenernya, tapi kalaupun pengen pulang ke rumah abadi belum dikasih sama Tuhan.”

“Grace!”

“Apa? Kenyataan, kan? Masih disuruh hadapin dunia yang jahat ini,” kata Grace sambil tersenyum diatas mata yang berkaca-kaca. Pada mata Grace, Mevin bisa melihat kegelisahan dan ketakutan yang sesungguhnya.

“Asalkan kamu nggak boleh jadi jahat kaya dunia jahat ke kamu, ke kita, ya?” Mevin membelai pipi Grace perlahan.

Grace hanya menggigit bibir bawahnya, butiran kristal itu sudah jatuh membentuk sungai kecil di wajah Grace. Mevin tidak menyekanya, Mevin malah menangkup pipi Grace dengan kedua tangannya, dikecupnya pipi kanan, kiri dan kening Grace.

Mevin menghadapkan wajahnya dengan Grace, hendak mengecup bibir wanita itu, namun saat netra keduanya bersua, Grace membuang pandangannya seakan ketakutan, Mevin pun merenggangkan jarak.

“Maaf, sayang. I won’t did that.” Mevin tersenyum sambil membelai rambut Grace.

“Aku pamit, sayang.” Grace mencoba tersenyum. Di hari kemarin Grace berjuang setengah mati melawan hati kecil dan isi pikirannya. Bekas cakaran dan sayatan itu masih ada menghiasi pipi, leher serta lengan Grace. Mevin pun menarik lengan baju Grace agar menutupi luka-luka itu yang ada di lengan Grace.

“Tunggu aku di sana. Akan ada waktunya aku kesana, memastikan kamu baik-baik aja.” Mevin berkata dengan nada teduhnya, seperti biasa.

“Sembuh itu bukan tentang menunggu kapan pulang ke rumah abadi, sembuh juga tentang perjuangan dan bagaimana menghargai hidup, sembuh adalah juga tentang bagaimana menemukan obat atas semua sakit yang kita rasa. Sebagian orang tidak bisa hanya berdiam diri menunggu obat yang ia cari datang, Grace.

Tapi, sebagian orang harus berjalan ke antah berantah, walaupun rasanya seperti tersesat di hutan belantara tanpa alas kaki. Terluka, lelah, itu proses untuk kita mencari obat itu, untuk fisik bahkan jiwa kita.” Mevin tidak hanya sekadar menggerakkan bibir, pikirannya menerawang jauh, hatinya sesak, mencoba tenang meski ingin menangis karena kini sang puan di hadapannya sudah tertunduk dan terisak.

Tak bisa berkata-kata lagi, tubuh lemah itu Mevin rengkuh, hitungan detik―sebuah tangisan pecah di pelukan Mevin, tangisan dari kekasihnya yang tengah berjuang menyembuhkan dirinya, mengampuni kedua orang tuanya, mencoba bertahan meski beberapa kali diambang kematian.

Mevin merasakan kemejanya di cengkeram erat Grace, kini Mevin juga memberikan balasan pelukan hangat untuk kekasihnya itu. “Bisa, sayang. Pasti bisa, believe in God.” Mevin berbisik di telinga Grace yang dibalas anggukan oleh Grace.

Sebagian orang tidak menghendaki perpisahan oleh jarak, sebagian orang juga tidak menghendaki perpisahan karena kematian, beberapa orang yang belum siap dipisahkan kadang harus menghadapinya, beberapa orang yang sudah mempersiapkan perpisahan dan memilih berpisah tapi masih disatukan dan diberi waktu kebersamaan. Kehidupan sejatinya sebuah misteri, hanya Sang perenda takdir yang tahu kapan perpisahan itu akan terjadi.

“Baik-baik di sana, aku selalu sebut nama kamu di setiap doa.” Mevin menutup kalimatnya lalu beberapa butir air mata juga membasahi pipi Mevin kali ini.